Selasa, 15 September 2009

Jangan katakan aku sudah mengasihimu

Sahabatku,
Jangan katakan, aku sudah mengasihimu, bila suatu saat nanti aku selalu ingin tahu apa yang engkau perbuat, di manapun engkau berada, dan kapanpun waktunya, atau alasan apapun yang engkau pikirkan.

Jangan katakan, aku sudah mengasihimu, bila suatu saat nanti, engkau melihat diriku suka berbicara manis, namun kenyataanya hidupku, jauh dari yang kukatakan. Kalau aku berbicara bagus, namun ternyata, perbuatanku jauh lebih kasar terhadap orang lain.

Jangan katakan, aku sudah mengasihimu, bila aku tidak pernah membuat "jarak" agar engkau dapat mengambil keputusan sendiri. Kalau aku selalu menawarkan yang terbaik untukmu dan memaksa engkau menerimanya, sebenarnya yang terjadi, aku mengontrol dirimu!

Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila aku mulai curiga padamu, dan selalu mengejar-ngejar untuk menjawab SMS atau mengangkat dering HP, hanya dengan alasan "merasa nyaman" kalau dengan kabar beritamu. Bisa jadi itulah aku yang tidak damai dengan diriku sendiri, namun engkau yang kucari cari kesalahannya.

Jangan katakan aku sudah mengasihimu, saat aku membiarkan engkau menceritakan kejelekan temanm karibmu, kejelakan rumah tanggamu, kejelekan suami, isteri, anak-anakmu! Kalau aku membiarkan engkau bercerita terus, itu berarti aku malah memasukkan engkau dalam "kegelapan".

Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila ternyata aku tidak mau engkau kritik dan aku marah karena engkau menilai negatif tingkah lakuku. Bisa jadi, aku hanya orang yang selalu mencari "situasi nyaman", orang penikmat, yang tidak mau disalahkan meski jelas jelas aku ini bersalah!

Jangan katakan aku mengasihimu, bila ternyata aku tidak berani berkata "TIDAK", padahal aku tahu akibat yang harus engkau tanggung karena telah membuat keputusan yang keliru. Saat aku tidak berani berkata "TIDAK", itulah saatnya engkau harus berhati hati, bisa jadi aku terperangkap hanya mau menyenangkan hatimu, tapi aku tidak berusaha kerasa membangun kepribadianmu.

Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila aku sering bermurah hati padamu, memberikan banyak barang yang engkau perlukan, karena bisa jadi aku bermurah hati karena takut kehilangan relasi yang hangat denganmu. Bisa jadi aku bermurah hati padamu karena aku takut kehilangan kesempatan untuk mengontrol dirimu.

Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila aku begitu menggebu-gebu bersemangat membantumu, karena bisa jadi motivasiku belum murni. Apalagi kalau aku sudah sakit, tapi aku memaksakan diri untuk membantumu. Bisa jadi aku memaksakan diri karena aku takut kehilangan kesempatan menyenangkan engkau, padahal sebenarnya aku yang berharap mendapatkan sekedar ucapan terima kasih darimu.

Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila aku begitu bersemangat untuk "meminjamkan telingaku" dan mendengarkan isi hatimu. Bisa jadi semangatku itu muncul karena aku bangga menjadi "tempat ketergantungan orang lain", sehingga aku malah menggantikan peran Tuhan dalam hidupmu. Padahal hanya Tuhanlah yang mestinya pertama kali menjadi tempat curahan hati. Siapapun diriku, adalah manusia, yang tidak dapat diandalkan. Aku bukan "Tuhan", yang dapat diandalkan sepenuhnya. Karena itu, tetaplah untuk pertama-tama berbicara kepada Tuhan di saat-saat sedang mengalami banyak kegelisahan dan kesulitan, itulah yang benar. "Kebenaran itu tentu bisa jadi membuat luka", karena kita akhirnya rela untuk pertama tama belajar hidup beriman, yang diwarnai "ketidakpastian". Dalam ketidakpastian ada "harapan yang bisa diandalkan", itulah Tuhan yang sudah hadir dalam diri kita.

Kata Tuhan kepadaku, "Aku sudah hadir dalam dirimu, namun kapan engkau menyapa-Ku?" Aku pun menjawab, "Iya Tuhan, aku ternyata tidak berada di dalam rumahku sendiri, sehingga aku tidak tahu, kalau Engkau sudah datang di rumahku. Aku keluar dari rumahku dan jalan jalan ke sana kemari, mencari pujian, mencari penghiburan dan mencari kenikmatan di mana-mana agar aku merasa nyaman! Aku ternyata jarang sekali tinggal di rumahku sendiri, padahal Engkau sudah menanti di rumahku. Terimakasih Tuhan, Engkau setia menjaga rumahku. Aku akan tinggal di rumahku bersama-Mu!

Have a nice today!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buah Retret 2008: Memahami Kembali Sakramen Imamat bagi Hidupku

Sahabat-sahabatku,

Setelah mengikuti retret para imam bersama Fr. Fio Mascarenhas SJ dari India, 10-14 Nov 2008 di Purwokerto, saya tergugah untuk mengolah kembali pemahamanku tentang sakramen imamat. Setelah aku ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr Julianus Sunarka SJ, waktu itu, 18 Juli 2001, ternyata tidak otomatis membuat aku dapat menghayati hidup sebagai imamat secara penuh. Tidak otomatis itu letaknya bukan pada "pencurahan Roh Kudus", melainkan pada "aspek penghayatan."

Roh Kudus itu dicurahkan kepadaku oleh Allah melalui penumpangan tangan Uskup yang dipercaya oleh Gereja sebagai penerus para Rasul. Roh itu dicurahkan secara sempurna. Akan tetapi karya Roh Kudus itu "belum lengkap", karena dibutuhkan "keterlibatanku" untuk mengambil keputusan : berkomitmen terus menerus bekerjasama dengan Kristus, sang Imam Agung. Komitmen kerjasama itu hanya mungkin terjadi kalau saya hidup dalam "persekutuan dengan Roh Kudus". Bagaimana saya bersekutu dengan Roh Kudus, karena hidupku lebih suka menghindari "salib" daripada memikul salib.

"Memikul salib" itu bukan pertama-tama penderitaan fisik yang luar biasa akibat penganiayaan. Memikul salib, sebagaimana dipahami oleh Paulus dalam Flp 2:6-11, artinya, kesediaan diri untuk "dipermalukan": membiarkan diri kehilangan berbagai hak asasi sebagai manusia: hak atas masa depan, hak untuk membela diri, hak untuk mengatakan kebenaran, hak untuk berkuasa. Akan tetapi lebih dari itu, Yesus membiarkan dirinya "tidak meminta haknya sebagai Anak Allah" bahkan mengambil rupa seorang hamba " yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:6-7) Itulah inti salib: pengosongan diri.

Bagaimana saya memikul salib, padahal salib itu menjungkirbalikkan "jalan pikiran" manusia yang lebih suka menjadi anak anak dunia. Jalan pikiran dunia adalah gerak naik, yakni meraih ambisi hidup serba nikmat, ambisi diistimewakan, dipuji, populer, menjadi hebat. Sementara jalan salib adalah jalan yang menurun: jalan pengosongan diri, di mana tidak lagi mencari kesempatan untuk hidup nikmat, tidak mencari pujian, popularitas, dan menjadi hebat, serta tidak ambisi berkuasa untuk menjadi memiliki segalanya. Karena itu, saya tidak mungkin mengandalkan kekuatan diri sendiri.

Salib Tuhan yang harus kupikul itu menantang diriku untuk mengakui "keterpecahan yang ada dalam diriku": di satu sisi memiliki niat untuk memanggul salib, namun di sisi lain ada kekuatan yang menarikku untuk menghindari salib. Tegangan itu tidak lain adalah "pertempuran antara Kuasa Roh yang menghidupkan, dan kuasa roh yang mematikan". Pertempuran itu sudah dimenangkan oleh Kuasa Roh Allah sendiri yang telah membangkitkan Kristus, setelah Ia mengalami kematian bersama dengan manusia yang berdosa. Kematian Kristus di salib menjadi "persembahan kemanusiaan yang abadi di hadapan Allah Bapa". Yesus yang wafat itu hadir di hadapan Bapa sebagai pribadi yang merepresentasi manusia yang telah berdosa. Allah menerima persembahan Kristus itu dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Karena itu berkat kematian Kristus semua orang yang mati terhadap dosa, entah dari bangsa manapun, dan dari jaman kapanpun, dianugerahi harapan akan keselamatan.

Kemenangan Kristus atas pertempuran itu terjadi karena peranan Roh Kudus dalam diri-Nya, karena Roh itu tidak lain adalah Roh Allah. Maka dalam persekutuan dengan Bapa dalam Roh Kudus, Kristus menang atas maut. Kalau Kristus, Sang Imam Agung. dan sebagai Anak Sulung, telah mendahului kita memenangkan pertempuran dengan roh jahat, mengapa saya sebagai imam, kerap kali masih ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus memberiku kekuatan untuk mengatasi "keterpecahan pribadiku" sehingga aku mampu konsisten untuk memanggul salib.

Keragu-raguan itu sebenarnya tanda bahwa aku tidak sungguh sungguh percaya kepata Allah Bapa, apakah Ia sungguh mau menganugerahkan Roh-Nya. Tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, adalah sebuah sikap yang sebenarnya curiga kepada Allah. Belum memohon pun,saya sudah meragukan, apakah Allah memang mau menganugerahkan Roh Kudus itu. Dalam Lukas 11:13 Yesus menyakinkan kita, "Jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Sabda Yesus ini meneguhkan dan memberikan kemantapan: Jangan ragu ragu untuk meminta karunia Roh!"

Dengan komitmen "terbuka untuk meminta", Sakramen tidak lagi dipahami sebagai "keran air yang siap mengucurkan rahmat ilahi", melainkan Sakramen adalah sebuah tanda kehadiran kasih Allah yang menantangku untuk menjawab: buat keputusan untuk meminta Roh agar hidupku mampu memikul salib. Membuat keputusan menjadi hal yang sulit bukan main kalau ada keterikatan emosional dengan kepentingan diri, fasilitas, dan jabatan. Di situlah letaknya penghayatan imamatku ditantang: mau menjadi pribadi yang hidup untuk mempersembahkan dirinya khusus bagi Allah dan sesama, atau menjadi pribadi yang hidup bagi dirinya sendiri.

Akhirnya menjadi imam itu bukanlah sikap "menggengam tangan". Karena "menggenggam" itu berarti ada "sesuatu yang istimewa dan kupertahankan mati-matian, jangan sampai lepas dan tidak bisa kupegang lagi". Karena itu menjadi imam bagiku sekarang adalah komitmen untuk belajar membuka genggaman tanganku agar terbukalah telapak tanganku, sehingga apapun yang kugenggam boleh diambil siapapun. Dengan cara hidup seperti itu, terbukalah kesempatan untuk selalu meminta Roh Kudus agar terlibat dalam hidupku.

yang lagi belajar berproses
bslametlasmunadipr