GEREJA SEBAGAI “PAGUYUBAN” TERPANGGIL UNTUK TERLIBAT
TEMA: Gereja sebagai paguyuban terpanggil untuk terlibat dalam kesulitan hidup sesamanya sehingga Gereja dapat dipercaya jatidirinya di tengah dunia
TUJUAN: Agar umat beriman sampai kepada kesadaran letak “hidup paguyuban yang keliru” sampai tahu bagaimana mengubah kekeliruan itu
A. PENGALAMAN MANUSIAWI
“Komunitas Dokar” Pak Trembel
Pak Trembel memiliki dokar sebagai mata pencahariannya setiap hari untuk menghidupi 1 isteri dan 3 anaknya. Ia menetapkan tarif naik dokar dari Desa Gemah Ripah sampai Pasar Artomoro (sekitara 10 km) dengan tarif kelas I: 10.000, tapi kalau roda rusak, tidak perlu turun dan ikut memperbaiki, tarif kelas II: 7.500 kalau kereta rusak, harus turun tetapi boleh lihat saja, kelas III: 5000, harus ikut turun, harus ikut memperbaiki dan harus mendorong. Panurata pilih tarif kelas VIP, Jerawati kelas II, dan Trimbil kelas III.
Pertanyaan pendalaman cerita:
1. Kalau Bapak, Ibu dan Saudara-Saudari mau naik dokar Pak Trembel, kira kira mau naik kelas I, kelas II atau kelas III? Mengapa?
2. Apakah masih ada sifat, perilaku dan gaya hidup yang diperankan ketiga penumpang tadi: Panurata, Jerawati dan Trimbil? Manakah peran yang paling sering bermunculan dalam hidup bersama di keluarga, di lingkungan dan di paroki?
3. Apakah “komunitas dokar” itu dapat menjadi “cermin” kehidupan bersama kita dalam keluarga, lingkungan dan paroki?
4. Apakah komunitas dokar itu terbuka untuk saling mengasih?
5. Bagaimanakah Anda mengubah “komunitas dokar” tadi menjadi “komunitas Dokar” yang diwarnai kasih?
B. PENGANTAR UNTUK MENDALAMI SABDA TUHAN
Saudara saudari terkasih, “komunitas dokar” tadi mencerminkan sebuah komunitas yang dibentuk oleh tarif, meski ada kepentingan bersama, akan tetapi mereka sudah berada dalam kelas masing-masing dan memiliki “hak” yang jelas berdasarkan “tarif yang sudah dibayar”. Terbukalah kemungkinan Panurata, yang sudah membayar kelas 1 tidak peduli lagi, kalau dokar nanti rusak, apalagi memikirkan nasib kesejahteran kusirnya, Pak Trembel. Demikian juga kelas 2, Jerawati, juga tidak ambil pusing, karena sudah bayar, ya tinggal nonton saja kalau rusak. Sementara itu, Trimbil, penumpang kelas 3 merasa terpaksa harus menolong Pak Kusir karena bisanya bayar cuma kelas III. Panurata dan Jerawati bisa jadi mewakili orang kelas menengah ke atas, sementara Trembel mewakili golongan ekonomi kelas menengah kebawah, akan tetapi Trembel dapat juga belum bebas dari “keterpaksaan karena kondisi kesejahteraannya” yang terbatas .
Dengan lain kata, “komunitas dokar pak Trembel” menutup kemungkinan untuk saling memperhatikan baik antar penumpang maupun antara penumpang dengan kusirnya. Komunitas Dokar Pak Trembel tidak dapat dapat dipercaya bahwa mereka mau peduli dan terlibat dalam kesulitan hidup orang miskin. Bagaimanakah kita membentuk komunitas dokar yang “dapat dipercaya” bahwa mereka mampu terlibat dalam hidup orang miskin. Jadi, bagaimana kita mengubah komunitas dokar pak Trembel itu menjadi komunitas dokar yang “ditentukan oleh kasih”? Untuk kepentingan itu, marilah kita membaca perikop di bawah ini
Bacaan Luk 10:25-38.
10:25 Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
10:26 Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?"
10:27 Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
10:28 Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup."
10:29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?"
10:30 Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.
10:31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.
10:32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.
10:33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.
10:34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.
10:35 Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
10:36 Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?"
10:37 Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!"
PERTANYAAN PENDALAMAN SABDA TUHAN
1. Siapa sajakah yang TIDAK BERBUAT APAPUN SAAT MEREKA MELIHAT dan MELEWATI “seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho tetapi ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.”? Mengapa kira-kira mereka tidak berbuat?
2. Siapakah yang ambil tindakan saat MELIHAT orang yang menjadi korban penyamun itu? Apakah yang ia perbuat?
3. Manakah peran yang akan Anda ambil, sebagai imam, kaum Lewi atau orang Samaria? Mengapa Anda mengambil peran itu?
4. Dari sudut pandang orang samaria yang menolong, siapakah sesamaku? Dari sudut pandang “orang yang jatuh dan jadi korban penyamun”, siapakah sesamanya?
5. Apakah “orang miskin” itu sesamamu? Mengapa? Jadi, siapakah orang miskin?
6. Kalau kita sebagai anggota Gereja, namun tidak peduli dengan orang miskin yang kurang memiliki jaringan untuk memperoleh berbagai kesempatan mengembangkan diri, apakah kita dapat dipercaya sebagai Gereja yang hadir untuk menjadi tanda dan sarana keselamatan bagi dunia? Mengapa?
C. PENEGUHAN untuk membangun niat bertobat!
1. Sikap Acuh tak acuh dari para imam dan kaum Lewi terhadap orang yang jelas kelihatan kasat mata menderita seperti dikisahkan dalam perumpaan “Orang Samaria yang Baik Hati”, bisa jadi menggambarkan salah satu aspek relasi antar manusia jaman sekarang. “Acuh tak Acuh” membuat relasi antar manusia “rusak” karena orang berpikir untuk diri sendiri. Akar dari gaya hidup “acuh tak acuh” adalah minimnya kualitas relasi manusia dengan Allah.
2. Relasi dengan Allah dapat ditingkatkan dengan belajar “berdoa”, belajar “mengalami salib” dan “belajar berani menjadi saksi iman” dengan segala macam resiko. Belajar berdoa itu bukan sekedar “basa basi” karena berdoa adalah SEBUAH TINDAKAN untuk berjumpa dengan ALLAh, karena kita anak-anak Allah dan ahli waris-Nya. Dalam doa kita akan mampu mengenal siapa ALLah yang mencintaiku dan mengenal siapakah sesamaku (cfr. Tom Jacobs, “Teologi Doa”, 2005). Orang yang mengenal Allah, adalah Bapanya yang mencintai, mengampuni dan menyertainya, akan tergerak hidup dalam pengharapan, akhirnya akan tergerak pula untuk menyangkal dirinya: mengosongkan diri, agar mampu membagikan “pengalaman dikasihinya” dengan sesama yang membutuhkan (kesaksian iman). Karena itu, semakin akrab kita berelasi dengan Tuhan, akhirnya siapakah sesamaku itu dikenal, yakni siapapun yang menjadi ciptaan-Nya, juga kalau orang itu jatuh miskin, korban penindasan, korban bencana, dsb. Mereka adalah satu dalam saudara karena diciptakan oleh satu Allah yang sama.
3. Jadi siapakah orang miskin? Orang miskin tidak lain adalah orang yang kurang memiliki BERBAGAI KESEMPATAN UNTUK MENGEMBANGKAN DIRINYA SEBAGAI MANUSIA YANG UTUH: yakni sebagai manusia yang memiliki otonomi dunia dan sebagai anak Allah yang makin sempurna. Kesempatan itu antara lain: kesempatan untuk memperoleh kebutuhan pokok hidupnya (sandang, pangan, papan), kesempatan pelayanan kesehatan yang memadai, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar, kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan kesempatan untuk menentukan dirinya sendiri, dan kesempatan untuk bekerja dan menghidupi dirinya sendiri, kesempatan minta tolong kepada orang lain. Akhirnya mereka kurang memiliki “JARINGAN LUAS” untuk mendapatkan berbagai kesempatan berkembang.
4. Namun siapakah yang membuat orang miskin tidak memiliki jaringan itu? Pertama-tama kita tidak akan menyalahkan orang miskin itu. Akan tetapi bahwa orang miskin kerapkali “kurang diajak untuk berdialog” dari pihak yang lebih kuat (pencipta kesempatan). Bagaimanakah kita akan menciptakan dialog dengan orang miskin kalau kita belum memiliki paradigma baru bahwa mereka itu “satu saudara” sebagai sesama ciptaan Allah yang satu dan esa!
5. Dengan segala kondisi yang terbatas itu, orang miskin selalu memanggil kita untuk menjadi sesamanya agar kita terlibat dalam hidupnya. Namun bagaimanakah kita mau mendengar panggilan orang miskin itu kalau kita masih selalu “mendengarkan” suara-suara “yang menyenangkan, membuat nyaman dan membuat nikmat, serta memuaskan batin”. “Suara-suara” itu bisa jadi adalah “keinginan-keinginan diri kita” yang tidak teratur. Keinginan itu terasa makin “mendesak” untuk dipenuhi kalau kita tidak belajar untuk ‘MENGOSONGKAN DIRI”. Dalam PENGOSONGAN DIRI, kita menjadi murid yang belajar untuk menahan keinginan itu dan malahan melepaskannya apalagi kalau keinginan itu sampai “memabokkan” kita. Misalnya kalau kita sudah marah kalau tidak merokok sehari saja, “siapakah yang jadi tuhan” sebenarnya? Kalau seorang anak ditampar karena memecahkan gelas, siapakah yang lebih berharga: anak atau gelas? Kalau seorang ayah atau ibu marah-marah, karenan nilai ujian anaknya di bawah standar, sebenarnya anak itu dianugerahkan untuk dicintai atau diperlakukan sebagai sarana untuk “memuaskan hati orang tuanya”?
6. Pengosongan diri itulah yang memungkinkan orang “mampu saling mendengarkan” dalam sebuah paguyuban. Maka, manakah “KLANGENAN”, sesuatu yang istimewa dan membuat kita tidak bisa tidak harus menikmati tiap hari? KLANGENAN itulah yang harus dilepaskan, agar kita mampu mendengarkan jeritan orang minta tolong.
7. Manakah perbuatan konkret yang harus kujalani agar aku mampu melepaskan berbagai “KLANGENAN” yang menghambat relasiku dengan Tuhan dan sesama?
D. MEMBANGUN NIAT ATAU KEPUTUSAN UNTUK BERTOBAT
Tulislah niat Anda dalam potongan kertas ¼ folio, lalu tempelkan di tempat yang paling sering Anda kunjungi di rumah!