Selasa, 15 September 2009

Jangan katakan aku sudah mengasihimu

Sahabatku,
Jangan katakan, aku sudah mengasihimu, bila suatu saat nanti aku selalu ingin tahu apa yang engkau perbuat, di manapun engkau berada, dan kapanpun waktunya, atau alasan apapun yang engkau pikirkan.

Jangan katakan, aku sudah mengasihimu, bila suatu saat nanti, engkau melihat diriku suka berbicara manis, namun kenyataanya hidupku, jauh dari yang kukatakan. Kalau aku berbicara bagus, namun ternyata, perbuatanku jauh lebih kasar terhadap orang lain.

Jangan katakan, aku sudah mengasihimu, bila aku tidak pernah membuat "jarak" agar engkau dapat mengambil keputusan sendiri. Kalau aku selalu menawarkan yang terbaik untukmu dan memaksa engkau menerimanya, sebenarnya yang terjadi, aku mengontrol dirimu!

Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila aku mulai curiga padamu, dan selalu mengejar-ngejar untuk menjawab SMS atau mengangkat dering HP, hanya dengan alasan "merasa nyaman" kalau dengan kabar beritamu. Bisa jadi itulah aku yang tidak damai dengan diriku sendiri, namun engkau yang kucari cari kesalahannya.

Jangan katakan aku sudah mengasihimu, saat aku membiarkan engkau menceritakan kejelekan temanm karibmu, kejelakan rumah tanggamu, kejelekan suami, isteri, anak-anakmu! Kalau aku membiarkan engkau bercerita terus, itu berarti aku malah memasukkan engkau dalam "kegelapan".

Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila ternyata aku tidak mau engkau kritik dan aku marah karena engkau menilai negatif tingkah lakuku. Bisa jadi, aku hanya orang yang selalu mencari "situasi nyaman", orang penikmat, yang tidak mau disalahkan meski jelas jelas aku ini bersalah!

Jangan katakan aku mengasihimu, bila ternyata aku tidak berani berkata "TIDAK", padahal aku tahu akibat yang harus engkau tanggung karena telah membuat keputusan yang keliru. Saat aku tidak berani berkata "TIDAK", itulah saatnya engkau harus berhati hati, bisa jadi aku terperangkap hanya mau menyenangkan hatimu, tapi aku tidak berusaha kerasa membangun kepribadianmu.

Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila aku sering bermurah hati padamu, memberikan banyak barang yang engkau perlukan, karena bisa jadi aku bermurah hati karena takut kehilangan relasi yang hangat denganmu. Bisa jadi aku bermurah hati padamu karena aku takut kehilangan kesempatan untuk mengontrol dirimu.

Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila aku begitu menggebu-gebu bersemangat membantumu, karena bisa jadi motivasiku belum murni. Apalagi kalau aku sudah sakit, tapi aku memaksakan diri untuk membantumu. Bisa jadi aku memaksakan diri karena aku takut kehilangan kesempatan menyenangkan engkau, padahal sebenarnya aku yang berharap mendapatkan sekedar ucapan terima kasih darimu.

Jangan katakan aku sudah mengasihimu, bila aku begitu bersemangat untuk "meminjamkan telingaku" dan mendengarkan isi hatimu. Bisa jadi semangatku itu muncul karena aku bangga menjadi "tempat ketergantungan orang lain", sehingga aku malah menggantikan peran Tuhan dalam hidupmu. Padahal hanya Tuhanlah yang mestinya pertama kali menjadi tempat curahan hati. Siapapun diriku, adalah manusia, yang tidak dapat diandalkan. Aku bukan "Tuhan", yang dapat diandalkan sepenuhnya. Karena itu, tetaplah untuk pertama-tama berbicara kepada Tuhan di saat-saat sedang mengalami banyak kegelisahan dan kesulitan, itulah yang benar. "Kebenaran itu tentu bisa jadi membuat luka", karena kita akhirnya rela untuk pertama tama belajar hidup beriman, yang diwarnai "ketidakpastian". Dalam ketidakpastian ada "harapan yang bisa diandalkan", itulah Tuhan yang sudah hadir dalam diri kita.

Kata Tuhan kepadaku, "Aku sudah hadir dalam dirimu, namun kapan engkau menyapa-Ku?" Aku pun menjawab, "Iya Tuhan, aku ternyata tidak berada di dalam rumahku sendiri, sehingga aku tidak tahu, kalau Engkau sudah datang di rumahku. Aku keluar dari rumahku dan jalan jalan ke sana kemari, mencari pujian, mencari penghiburan dan mencari kenikmatan di mana-mana agar aku merasa nyaman! Aku ternyata jarang sekali tinggal di rumahku sendiri, padahal Engkau sudah menanti di rumahku. Terimakasih Tuhan, Engkau setia menjaga rumahku. Aku akan tinggal di rumahku bersama-Mu!

Have a nice today!

Sabtu, 23 Mei 2009

Kalau engkau sering mencela aku...

Saat engkau sering mencela aku, aku tertantang untuk melihat diriku harus selalu memperbaiki diriku

Saat engkau sering mengritik pekerjaanku, aku tersinggung, namun aku ditantang untuk bekerja makin sempurna!

Saat engkau mencela masakanku yang terlalu asin menurut lidahmu, aku rasanya memang merasa sia sia, namun aku tertantang untuk belajar masak bukan menurut lidahku, melainkan menurut selera lidahmu!

Saat engkau mencela suaraku yang parau dan "false" waktu menyanyikan lagu, aku merasa minder, namun aku kautantang untuk terus berlatih menyanyi!

Saat engkau mencela aku salah memilih jurusan, aku merasa tidak bebas untuk menentukan jalan hidupku, namun aku tertantang untuk menempatkan pilihanku dalam jaringan pilihan orang lain

Saat engkau tidak menyetujui jalan hidupku, aku merasa hidup ini terasa dalam penjara, namun aku tertantang untuk membebaskan diri, karena masa depanku tidak segalanya ditentukan orang lain, melainkan ditentukan keputusan hidupku sekarang ini!

Saat engkau mengatakan aku sombong, aku ingin marah, namun aku tertantang untuk belajar makin rendah hati.

Saat engkau mengatakan aku bodoh, aku tersinggung, namun aku kautantang untuk belajar lebih banyak lagi!

Semoga kita belajar untuk mengubah kelemahan sesamaku menjadi saat saat yang menantang aku untuk makin berubah menjadi lebih baik lagi!

warm regards!

Kalau engkau dipuji, cepat-cepatlah...!!

Kalau engkau dipuji karena gantheng, cakep, ramah, cepat cepatlah untuk tidak merasa sudah sempurna, karena ketampanan dan keramahtamahan lahiriah tidaklah menjamin engkau dapat fasilitas hidup semudah yang engkau bayangkan!

Kalau engkau dipuji karena kecantikanmu, cepat cepatlah untuk tidak GEER karena kecantikanmu tidak abadi dan tidak menjadi jaminan untuk kebahagiaanmu..!


Kalau engkau dipuji karena engkau sangat familiar, cepat cepatlah untuk melihat bahwa teryata engkau familiar tidak kepada setiap orang, karena engkau masih belum bisa familiar kepada musuhmu dan sainganmu!

Kalau engkau dipuji karena engkau kelihatan saleh dan religius, cepat cepatlah untuk melihat diri, bahwa banyak hidup beriman kita ini tinggal di bibir saja, dan tidak berbuahkan kasih dalam hidup bersama!

Kalau engkau dipuji karena engkau kelihatan menguasai materi yang disajikan kepada para peserta pelatihan, cepat cepatlah diketahui, bahwa masih banyak hal yang tidak sanggup kita mengerti dengan baik! Materi itu hanyalah sebagian kecil dari kekayaan pengetahuan di dunia ini!

Kalau engkau dipuji karena murah hati kepada orang yang miskin, cepat cepatlah engkau melihat dirimu sebagai pribadi yang belum sungguh sungguh sadar dan bebas berbagi kehidupan namun sering masih terpaksa untuk bermurah hati!

Kalau engkau dipuji karena engkau suka mendengarkan orang lain, cepat cepatlah engkau mengakui berapa banyak orang yang engkau dengarkan, mungkin orang yang sama minatnya, kepentingan, visinya denganmu!

Kalau engkau dipuji karena dapat bersahabat dengan banyak orang, cepatlah untuk mengakui ada banyak orang yang menjadi sahabatmu karena mereka menguntungkan dan memberikan banyak fasilitas hidup untukmu.

Kalau engkau dipuji, apakah engkau cepat-cepat melihat dirimu sendiri sebagai orang yang masih belum sempurna?

Renungan Hari Komunikasi Sosial sedunia ke-43

Kalau sms tidak dibalas, telp tidak diangkat, janganlah cepat cepat marah dan ngambeg, tapi bukankah "hp" di sana bisa jadi kehabisan pulsa, orangnya lagi tidur, lagi rapat, atau....ada banyak kemungkinan yang tidak kita ketahui...!

Engkau dapat mencari informasi sebanyak banyaknya melalui "browsing internet", namun pernahkah engkau ingat ada banyak orang yang tidak mampu mengakses informasi, bahkan yang paling dibutuhkan, karena kemiskinannya?

Engkau dapat berteman dengan banyak teman dan sahabat melalui situs jaringan sosial, namun apakah engkau melihat ada banyak orang kesulitan membangun jaringan, karena tidak punya akses informasi, dan karena tidak memiliki sarana internet?

Tahukah saudaraku, banyak orang miskin tidak tahu kemana mereka mencari pekerjaan, kemana mereka mendapatkan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, kemana mereka mencari kesempatan untuk berbicara, sementara mereka tidak memiliki sarana komunikasi itu?

Engkau dapat berkata apapun juga pada kenalan, sahabat, rekan kerja melalui email, chatting, fesbuk, namun, apakah kata katamu menjadi berkat, atau sebaliknya menjadi "beban" untuk hidupnya?

Tahukah engkau, semakin kita banyak berelasi melalui dengan banyak orang hanya melalui jaringan internet, pribadimu menjadi makin reaktif dan kurang mampu memahami orang di sekitarmu sebagai pribadi yang butuh kehadiran fisik dan hatimu?

Masihkah menemani anak belajar itu jauh lebih penting daripada chatting? Masihkah menemani anak makan bersama jauh lebih bernilai daripada "browsing"?

Apakah bermain dengan anak anak itu jauh lebih penting daripada bermain "blackberry?"

Masihkah menemani pasanganmu sekedar ngobrol ke sana kemari, jauh lebih penting daripada nonton TV bersama?

Maukah engkau mematikan hp saat engkau berdoa? Adakah kerugiannya?

Semoga kita makin bijaksana menggunakan alat komunikasi yang makin canggih agar cinta Tuhan tetap menjadi kenyataan dalam hidup bersama!

Sabtu, 24 Januari 2009

Summary Temu Komkat Regio Jawa 20-23 Jan 2009

SUMMARY

PERTEMUAN KOMISI KATEKETIK REGIO JAWA

HENING GRIYA, 20-23 JANUARI 2009



1. Latar belakang

Temu Komkat Regio Jawa ini yang diselenggarakan di Purwokerto pada hari Selasa sampai Jumat, 20-23 Januari 2009, merupakan tindak lanjut dari hasil pertemuan di Wisma Erema, Cisarua Bogor, 22-25 Januari 2008 dan hasil PKKI IX 2008 di Manado, yang bertemakan ”KATEKESE UNTUK MASYARAKAT YANG TERTEKAN” dan hasil TEMU KOMKAT REGIO JAWA DI BOGOR merefleksikan tema PEMBERDAYAAN KATEKIS SUKARELAWAN. Hasil temu PKKI IX tersebut pada intinya sebuah jerih payah untuk menempatkan karya katekese secara kontekstual, yakni pewartaan Injil yang dapat menanggapi berbagai keprihatinan dalam hidup kemasyarakatan dan bernegara, yakni kemanusiaan, politik dan hukum. Karya katekese yang kontekstual tersebut diharapkan dapat digulirkan kepada umat beriman menurut kelompok umur: anak-anak, remaja, kaum muda dan dewasa.



Sementara hasil dari TEMU KOMKAT REGIO JAWA DI BOGOR, hasil pertemuan itu antara lain:

a. Modul materi dan metode untuk pemberdayaan katekis sukarelawan. Modul ini dapat dikembangkan oleh masing-masing Komkat Keuskupan di Regio Jawa.

b. Meningkatkan pemberdayaan bagi katekis sukarelawan oleh masing-masing Komkat keuskupan.

c. Bentuk pemberdayaan katekis sukarewalan meliputi pelatihan dasar dan bina lanjut yang bekerjasama dengan tenaga pastoral lainnya.



Hasil kedua pertemuan itu direfleksikan bersama dalam pertemuan Steering Commitee di Puh Sarang, Kediri pada bulan Juli 2008. Dalam pertemuan itulah rasanya ditemukan sebuah kebutuhan untuk mewujudkan katekese yang menyapa dan menyentuh dalam perspektif manajemen pastoral. Kebutuhan katekese itu muncul karena keprihatinan soal ketidaksinambungan karya katekese yang masih dianggap kurang bermakna (insignifikan) dan kurang relevan (irrelevansi). Di lain sisi, sebaik apapun karya katekese, dibutuhkan sebuah ”self-assesment”, yakni kemampuan pribadi katekis mengolah pribadi, agar ia pun mampu mengolah pribadinya dalam tim kerja di Komkat Keuskupannya masing masing. Dalam rangka berjerih payah untuk mewujudkan katekese yang kontekstual: menyentuh dan menyapa, lalu diadakan temu Komkat Regio Jawa di Purwokerto, dengan mengundang narasumber: Bapak Didiek Dwinarmiyadi, yang kemudian juga mengajak Bapak Adi Widyarto. Keduanya adalah staff HRD Kompas, Jakarta.



2. DATA PESERTA:

Pertemuan Temu Komkat Regio Jawa ini diikuti 46 peserta (terdiri atas: 15 orang dari Keuskupan Agung Semarang, 8 orang dari Keuskupan Surabaya, 1 orang dari Keuskupan Malang, 4 orang dari Bandung, 7 orang dari Bogor, 9 orang dari Purwokerto dan 13 orang anggota Panitia Penyelenggara), 2 narasumber dan 1 orang dari Komkat KWI. (Catatan Daftar Peserta dilampirkan)



3. POKOK-POKOK PERTEMUAN

Tema TEMU KOMKAT REGIO JAWA ini adalah ”KATEKESE YANG MENYAPA DAN MENYENTUH BERDASARKAN PERSPEKTIF MANAJEMEN PASTORAL”.

(I) Pertemuan diawali dengan sharing karya unggulan dari ketujuh keuskupan.

(II) Pelatihan analisa ”SWOT” dan ”Managemen Pastoral” didampingi oleh Bapak Didiek Dwinarmiyadi. Pelatihan tersebut dibuat dari sudut pandang para peserta sebagai anggota KOMKAT KEUSKUPAN sehingga menemukan sasaran strategis karya pastoral! Pelatihan ini sebuah usaha untuk mewujudkan katekese yang ”menyapa”: yakni menentukan sasaran strategis agar menjawab keprihatinan yang konkret ada dalam hidup umat beriman. Maka katekese yang menyapa itu digulirkan dengan

(i) menetapkan sasaran strategis,

(ii) menetapkan indikator kinerja utama

(iii) penetapan target

(iv) pembuatan program kerja

(v) penetapan waktu

(vi) perancangan biaya

(vii) penentuan tanggungjawab

(III) Sementara itu ”katekese yang menyentuh” dijelaskan oleh Bapak Adi Widyarto Ps dengan menemukan potret diri melalui metode MBTI (Myerr Briggs Type Indicators), Emotional Intelligence dan Social Intelligence dan penentuan tujuan diri yang positif dari para katekis. Diharapkan dengan adanya kekuatan positif, para katekis juga menyentuh hati jemaat yang dilayani.



4. REFLEKSI KRITIS

(i) Berbagai keprihatinan dari Komisi Kateketik di Keuskupan-Keuskupan Regio Jawa baik terhadap kehidupan umat beriman dalam menghayati panggilannya untuk mewartakan Injil, maupun kritik diri Komkat atas kinerjanya dalam keterlibatannya untuk menggulirkan visi dan misi Keuskupan, ternyata ada tantangan besar yakni MEMBUAT SEBUAH PERUBAHAN. Perubahan itu pertama-tama mendesak untuk dilaksanakan oleh staff Komisi Kateketik, agar kemudian Komkat dapat dipercaya untuk mengajak para katekis di paroki-paroki untuk membuat perubahan dalam pengolahan pribadi maupun dalam kinerjanya. Arah perubahan itu adalah mewujudkan katekese yang menyapa dan menyentuh hidup umat.

(ii) Katekese yang menyapa hidup umat itu berkaitan dengan sebuah pengolahan kinerja Komkat. Kinerja yang lama lebih kerap ditentukan oleh berbagai asumsi, yang kurang mempertimbangkan data sebagai titik tolak untuk menemukan persoalan hidup umat. Cara kerja berasumsi itu berakibat program kerja dibuat, lalu baru ditentukan tujuannya. Cara kerja macam itu kurang dapat menjawab pertanyaan, ”program kerja Komkat itu menjawab dan mengatasi persoalan yang mana?” Akibat paradigma ”asumsi” itulah, program kerja Komkat itu dianggap ”kurang relevan” dan bermakna bagi hidup umat beriman. Itulah katekese yang kurang menyapa. Karena itu diperlukan paradigma baru, yakni membuat program kerja dengan berbasis data. Data itu dapat dicari melalui kuesioner atau penelitian. Kemudian data itu diverifikasi dengan metode analisa TOWS (atau SWOT) untuk menentukan manakah ancaman (Threats), peluang (Opportunities), Strenghts (Kekuatan) dan Weakness (W). Analisa SWOT dijalankan dengan lebih dahulu menegaskan identitas diri, yakni sebagai staff KOMKAT. Dari analisa itulah ditemukan manakah prioritas sasaran strategis, sebagai titik pijak untuk membuat program kerja. Dengan cara demikian, program kerja Komkat diharapkan akuntabel (tanggung gugat) dan kredibel (dapat dipercaya).

(iii) Di lain pihak, program kerja Komkat yang akuntabel dan kredibel itu tidak akan ”menyentuh” hidup umat beriman kalau para katekis kurang memiliki karakter yang kuat, artinya kemampuan mengolah pribadi baik emosi, pikiran maupun kehendak bebasnya. Pengolahan itu dibantu dengan metode MBTI (Myerr Briggs Tipe Indicators), pendekatan Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence) dan pendekatan Kecerdasan Sosial (Sociological Intelligence). Dengan pengolahan pribadi yang optimal akhirnya diharapkan para katekis memiliki niat pribadi yang luhur.

(iv) Dengan menggunakan kedua ilmu profan: management dan psikologi, kita para katekis ditantang untuk mewujudkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, yakni (a) memiliki komitmen diri yang mantap sebagai katekis sehingga pribadinya dapat dipercaya, (b) memiliki jalan pemikiran yang masuk akal dan terbuka untuk dipertanggungjawabkan dan (c) memiliki kompetensi diri yang mampu berelasi dengan berbagai macam pihak,yakni umat beriman dan masyarakat umum.

(v) Dengan memiliki komitmen diri, jalan pikiran yang masuk akal, maupun ketrampilannya membangun relasi yang baik dengan siapapun, para katekis sebenarnya ditantang untuk mewujudkan tugas perutusannya untuk pertama-tama bukan membaptis melainkan untuk mewartakan Injil (bdk 1 Kor 1:17). Injil, Kabar Gembira itu bicara soal Kerajaan Allah. ”Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh (Rm 4:17) Damai dan sukacita itu ditandai dengan hidup yang jujur dan penuh kasih kepada Allah dan sesama.

(vi) Pribadi yang jujur dan penuh kasih kepada Allah dan sesama itu adalah pribadi yang dapat dipercaya. Kredibilitas para katekis terletak bukan pada konsistensi pengajarannya saja, melainkan pada praksis hidup sehari-hari yang menunjukkan konsistensi antara ”apa yang diajarkan” dan ”apa yang dibuatnya”. Konsistensi itulah yang menentukan akhirnya bahwa ”pribadi dan hidup katekis” itu sendiri dapat menjadi metode pewartaan Injil yang paling bernilai (bdk. Pedoman Katekese). Dengan kata lain, para katekis dipanggil menjadi saksi iman, yakni berperan sebagai ”perantara” antara Allah dan manusia, serta sebailiknya (bdk Pedoman Katekese)

(vii) Tugas perutusan itu tidak mampu dijalankan oleh para katekis dengan mengandalkan diri sendiri, karena meskipun kita tahu apa yang baik, kita pun kerap kali memilih tindakan yang tidak searah dengan kehendak Tuhan. Itulah tegangan yang ada dalam pribadi manusia, termasuk katekis sekalipun. Tegangan itu terjadi karena ada kecenderungan dosa. Kecenderungan dosa itu tidak lain adalah godaan untuk mencari berbagai kemudahan hidup dan menghindari proses dan cepat ingin mengubah orang lain, godaan untuk mencari popularitas yang dikatakan sebagai orang hebat dan godaan untuk menguasai orang lain. Itulah jalan pikiran dunia yang berkebalikan dengan jalan pikiran Allah yang menuntut jalan perendahan diri, yakni pengosongan diri.

(viii) Pengosongan diri itu berarti kerelaan untuk tidak mencari kepuasan maupun reputasi diri dalam pengajaran. Bukankah Yesus sudah mendahului kita, yakni membiarkan diri-Nya dipermalukan, dan tidak mempertahankan reputasi-Nya yang setara dengan Allah? ”Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (Flp 2:5-8)

(ix) Dengan kehilangan reputasi, orang akan memasuki hidup dalam ”kegelisahan, ketidaknyamanan, dan ketidakpastian”. Dalam situasi itulah para katekis ditantang untuk memindahkan pusat andalan hidup dan karyanya dari diri sendiri kepada Allah. Allah yang hadir dalam diri kita, tidak lain adalah Roh Kudus yang senantiasa memberikan keutamaan bijaksana. Namun Roh Kudus itu tidak otomatis dianugerahkan kalau kita tidak meminta-Nya. Namun Yesus menjamin, Allah Bapa akan menganugerahkan Roh-Nya kalau kita meminta-Nya. ”Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Luk 11:13)

(x) Dengan spiritualitas pengosongan diri (kenosis) itulah, para katekis ditantang untuk mewujudkan perannya sebagai ”perantara” antara Allah dengan manusia, yakni dengan bekerja secara benar (managemen pastoral) dan bekerja dalam kebenaran (bersumber pada Kitab Suci, Ajaran Gereja dan Tradisi Suci). Dengan mewujudkan perannya sebagai ”perantara”, para katekis berpartisipasi dalam Gereja universal untuk mewariskan iman dari generasi ke generasi, sehingga ”depositum fidei” (kekayaan Iman) itu terus menerus diwartakan dalam usaha kontekstualiasi dengan situasi konkret hidup orang beriman.



V. HARAPAN

Peranan katekis sebagai ”perantara” itu ternyata tidak otomatis dapat diwujudkan dalam kinerja yang benar dan dalam prinsip yang benar, melainkan dibutuhkan sebuah ”on going formation” (bina lanjut) untuk para katekis. On going formation itulah yang menjadi kerinduan para peserta. On Going Formation itu mencakup antara lain: memperdalam managemen pastoral (khas katekese), managemen konflik, pendidikan humanis, pengolahan motivasi (komitmen), dan pembuatan data tentang persoalan umat. Dengan kerinduan untuk menjalani ”on going formation”, ada harapan besar, bahwa para katekis semakin mampu menjadi ”jantung Gereja”. Semoga ada banyak kejutan baru dalam Temu Regio Jawa mendatang!



Berkat Tuhan!

Sabtu, 13 Desember 2008

Pemikiran Dasar APP 2009

BAGIAN I
“BERAGAMA DAN BERIMAN :
MENGEMBANGKAN KESEJAHTERAAN HIDUP”

Pada hari Rabu, 25 Februari 2009, umat katolik seluruh dunia akan memasuki masa prapaskah sebagai persiapan untuk merayakan puncak iman kristiani yakni misteri penderitaan, wafat dan kebangkitan Tuhan. “Masa Prapaskah tahunan adalah masa rahmat, karena kita mendaki Gunung Suci Hari Raya Paskah. Masa Prapaskah mempunyai tugas ganda, yakni mempersiapkan para katekumen dan kaum beriman untuk perayaan misteri Paskah. Para calon dihantar oleh perayaan pemilihan katekumen, oleh perayaan tobat dan pengajaran untuk menghayati sakramen-sakramen inisiasi, sementara itu kaum beriman harus lebih rajin mendengarkan sabda Allah dan berdoa dan mempersiapkan diri dengan tobat atas pembaharuan janji baptis.”
Dalam rangka mempersiapkan perayaan Paskah dengan mendengarkan Sabda Allah, berdoa dan bertobat itulah, dibutuhkan sebuah katekese yang mengantar orang beriman sampai pada misteri Paskah. Katekese yang akan kita jalani dalam kebersamaan di komunitas-komunitas basis dalam tahun ini bertemakan, “Beragama dan Beriman: Mengembangkan Kesejahteraan Hidup”. Untuk menggulirkan tema itu, kita akan mendalami beberapa hal sbb.:
I. Misi Gereja yang pertama dan terutama
II. Kredibilitas jati diri Gereja di tengah dunia
III. Cara hidup Gereja sebagai “communio”
IV. Tema APP 2009 “Beragama dan Beriman: Mengembangkan Kesejahteraan Hidup”

1. Misi Gereja yang pertama & terutama
Misi Gereja yang pertama dan utama adalah menjadi tanda dan sarana keselamatan bagi dunia (bdk KV LG art.1). Berperan sebagai tanda dan keselamatan bagi dunia, tidaklah berarti Gereja mencari anggota sebanyak-banyaknya melainkan peran itu diwujudkan dengan memberitakan Injil. Tekanan misi Gereja itu sudah ditegaskan oleh Santo Paulus dalam Surat Pertama kepada Jemaat di Korintus, “Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil” (1Kor 1:17). Apakah artinya memberitakan Injil?
Paus Paulus VI menegaskan Ensiklik Evangelii Nuntiandi (1975), “Tujuan Gereja mewartakan Injil, artinya mewartakan dan mengajarkan sabda Allah, menjadi saluran anugerah rahmat-Nya, mendamaikan orang berdosa dengan Allah, dan meneruskan pengorbanan Kristus dalam Ekaristi, yang adalah pengenangan akan wafat dan kebangkitan-Nya.” (EN. 45), sebab jemaat kristiani tidak pernah tertutup pada dirinya sendiri. Jemaat Kristiani adalah persekutuan mereka, yang dengan ikhlas menerima Kabar Gembira dan “atas dasar Kabar Gembira itulah” dan karena iman bersama, berhimpun dalam nama Yesus supaya bersama-sama mereka mencari Kerajaan Allah! (EN.13). Penegasan isi Kabar Gembira ini meneguhkan visi Keuskupan Purwokerto, “Keuskupan Purwokerto adalah persekutuan Umat Beriman Katolik, yang dalam kesatuannya dengan Gereja Katolik sedunia, khususnya Indonesia,dan dalam kerjasama dengan umat setempat yang berkeyakinan lain, terpanggil untuk memelopori semakin tegaknya Kerajaan Allah dengan memperjuangkan dan menghayati nilai-nilai luhur kemanusiaan. Manakah wajah Kerajaan Allah yang mau kita tampilkan kepada dunia? Kerajaan Allah yang dipahami St. Paulus, “… bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.” (Rm 14:17)

Agar visi itu menjadi kenyataan Mgr Julianus Sunarka mencanangkan 6 misi yakni:
(i) Memperkuat iman umat Katolik
(ii) Mengembangkan Komunitas Basis Gerejani di kota dan desa.
(iii) Menyelenggarakan pendidikan kaum muda yang manusiawi dan kristiani.
(iv) Memperhatikan dan memberdayakan kelompok miskin dan tersingkir.
(v) Melakukan dialog antar umat beriman.
(vi) Mengembangkan Komunitas Basis Kemanusiaan.

Pelaksanaan atas keenam misi itu menentukan kesejatian hidup Gereja Keuskupan Purwokerto, yang “dapat dipercaya di tengah dunia, terutama di tengah masyarakat Jawa Tengah, sampai di tengah bangsa dan negara Indonesia.

II. Kredibilitas Jatidiri Gereja secara internal
Kesejatian hidup tidak lain pada pokoknya menjawab pertanyaan, “Manakah kredibilitas Gereja di tengah dunia?” Kredibilitas Gereja di tengah dunia tidak hanya ditentukan oleh pelaksanaan salah satu peran umat beriman yang diterima dalam saat pembaptisan, yakni menjadi imam, nabi dan raja.
Ketiga peran itu tidak terpisahkan satu sama lain,melainkan dilaksanakan dalam satu keutuhan sikap dan tindakan. Orang beriman tidak bisa hanya berperan sebagai imam, yang khusus menjadi pendoa, tanpa berperan sebagai seorang “raja” yang dengan murah hati mau terlibat dalam kesulitan hidup sesama. Akibatnya orang bisa kelihatan saleh hidupnya dari sisi penampilan, tetapi kurang memiliki jiwa murah hati. Bagaimana oranga bisa tergerak untuk bermurah hati dalam pelayanan, kalau tidak pernah mendengarkan sabda Tuhan. Maka, seorang pendoa ditantang untuk “mendengarkan Sabda” dan melaksanakannya, agar tidak terjadi kemunafikan. Berseru “Tuhan, Tuhan” tetapi diam saja ketika menghadapi orang yang berada dalam kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Itulah sebabnya begitu keras Yesus mengritik orang Farisi, “ Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21). Demikianlah juga, tidak ada artinya sama sekali kalau perbuatan saleh yang kita buat, misalnya,kemurahan hati dalam pelayanan kepada orang miskin sekalipun dsb- dikerjakan demi kepentingan untuk mencari popularitas dan kepuasan batin. Apalagi kalau “perbuatan saleh itu” digunakan dengan motivasi untuk kepentingan dalam kemudahan menguasai orang lain.
Jadi, ketiga peran sebagai imam, nabi dan raja, yang tidak dilaksanakan secara utuh, memungkinkan terbentuknya mentalitas formalisme agama, yang makin subur. Formalisme agama yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan beriman membuat Gereja makin sulit “dipercaya” jati dirinya! Maka pertanyaannya adalah bagaimanakah Gereja sebagai “communio” mampu menampilkan “kesejatian hidup” sungguh sungguh di tengah-tengah dunia, sehingga terwujudlah Gereja sebagai tanda dan sarana Keselamatan bagi dunia (LG art.1, bdk. GS art.1)?


III. Kredibilitas Gereja sebagai “communio” yang menampilkan kredibilitas jati dirinya di tengah dunia (eksternal)

Gereja sebagai “communio”, adalah persekutuan umat beriman akan Kristus, diikat dan dijiwai oleh Roh Kudus. Artinya persekutuan orang beriman yang masih di dunia ini bukan sekedar sebuah “perkumpulan manusia” biasa, atau sekedar lembaga swadaya masyarakat yang peduli kepada orang miskin, akan tetapi sebuah “institusi” yang manusiawi sekaligus ilahi. Sifat manusiawinya ada pada diri orang beriman yang masih berziarah di dunia ini masih memiliki berbagai macam kelemahan. Namun juga Gereja bersifat ilahi karena Kristuslah kepalanya, sehingga Gereja pun dikatakan “Tubuh Mistik-Nya”. Karena sebagai “Tubuh mistik”, Gereja dijiwai dan dihidupi oleh Roh Yesus itu sendiri, yakni Roh Allah juga.
Sebagai Tubuh Mistik Kristus, Gereja menampilkan jatidirinya di tengah dunia dengan berpihak kepada orang miskin, “option for the poor”. Opsi ini berarti memikul tanggung jawab sosial berhadapan dengan masalah sosial dunia yang raksasa, pilihan tersebut terlaksana dalam perjjuangan demi keadilan suaahya mereka yang sampai sekaranga belum mendapat kesempatan, ikut berpartisipasi dalam kekayaan dunia dan dalam keputusan politik.
Opsi inilah yang juga menentukan “kredibilitas” hidup pewartaan Gereja. Dalam Centessimus Annus, Yohanes Paulus II mengatakan, “Gereja dewasa ini lebih daripada dulu yakin bahwa pewartaannya yang sosial memperoleh kredibilitas lebih dalam kesaksian praktek dari pada dalam konsistensi ajarannya. Karena yakin akan hal itu tumbuhlah juga suatu preferential option for the poor yang tak pernah mengesampingkan atau mendisk yriminasikan kelompok-kelompok lain. Kasih pada orang miskin itu merupakan unsur dalam seluruh tradisi Gereja dan mendorong Gereja untuk menghadapi dunia, di mana kendati segala kemajuan teknis ekonomis kemiskinan memperoleh wujud raksasa. Kasih pada manusia dan terutama pada orang miskin (dalam siapa Gereja melihat Kristus) mendapat wujud konkret dalam memperjuangkan keadilan, yaitu usaha untuk membuka bagi bangsa-bangsa akses pada perkembangan ekonomis dan manusiawi.”
Dengan berpangkal pada ASG itu, APP 2009 melanjutkan APP 2008. Keadilan yang diperjuangkan tidak terbatas pada lingkungan hidup, melainkan dalam APP ini mengembangkan keadilan utnuk orang miskin agar kesejatian hidup Gereja juga tampil, terutama dalam kebersamaan dengan orang beriman lainnya.
Secara singkat APP tahun 2008, kesejatian hidup Gereja ditampilkan dalam kepedulian terhadap lingkungan hidup. Kepedulian itu berakar pada keprihatinan akan gejala “Global Warming” yang mengancam hidup manusia. Maka Gereja berusaha keras untuk menggerakkan umat beriman agar menyadari situasi lingkungan hidup yang sangat memprihatinkan baik berbagai macam bencana alam akibat “global warming” dan menyangkut soal pencemaran terhadap sumber-sumber air dan terhadap udara yang kita hirup serta tanah yang menjadi sumber pertumbuhan untuk manusia dan hewan.
Keprihatinan itu menantang orang beriman untuk memelihara fungsi air, udara dan tanah sebagaimana mestinya demi kepentingan kesejahteraan hidup manusia. Tanggapan atas keprihatinan itu ternyata ditindaklanjuti sebagian besar paroki di Keuskupan Purwokerto. Pertanyaannya adalah “manakah keterkaitan antara tema APP 2008 yang memfokuskan diri pada keprihatinan atas lingkungan hidup itu dengan tema APP 2009,” Beragama dan Beriman : Mengembangkan Kesejahteraan Hidup”?

IV. Tema APP 2009 “Beragama dan Beriman: Mengembangkan Kesejahteraan Hidup” ,
Kaitan antara tema APP 2008 dan 2009 terletak pada kesamaannya, maupun pada perbedaannya.

IV.1. Kesamaan tema APP 2008-2009
Kesamaan itu dapat kita lihat dalam konteks 5 tahunan tema APP yang berfokus pada “KESEJATIAN HIDUP”. Kesejatian hidup orang beriman, bergerak dari keprihatinan akan fungsi lingkungan hidup yang telah mengalami begitu banyak kerusakan, menuju kepada keprihatinan akan kehidupan orang miskin (lemah,kecil dan tersingkir juga), yang kurang mampu memberdayakan dirinya sendiri untuk berjuang hidup di tengah dunia. Kekurangmampuan memberdayakan diri itu juga salah satunya terjadi akibat kerusakan lingkungan hidup.
Kerusakan lingkungan hidup terjadi akibat relasi yang tidak seimbang antara 3 poros dalam masyarakat: kaum kapitalis (yang memiliki otoritas memegang kendali jaringan ekonomi dunia), masyarakat birokrat (pemerintahan) dan masyarakat sipil. Kaum kapitalis hanya dapat menjalankan kendali karena dilegitimasi oleh berbagai macam undang-undang dan peraturan yang memungkinkan mereka memegang kekuasaan terhadap sumber-sumber hajat hidup orang banyak. Pembuat undang-undang itu mau mengesahkan dan menggulirkan demi “jasa para kapitalis”. Akhirnya “masyarakat sipil”-lah yang menjadi korban atas pelaksanaan undang undang yang “tidak mempertimbangkan” efeknya bagi keberlangsungan hidup masyarakat, yang sebagian besar miskin di dunia ini, tidak terkecuali masyarakat miskin di Keuskupan Purwokerto ini, yang melingkupi 12 kabupaten di Jawa Tengah.
Terhadap situasi “ketiga poros” itu siapa yang dapat mengatasi dan mencari solusinya? Mungkin bisa jadi usaha solusi itu tinggal sebuah pertanyaan karena kita berhadapan dengan “raksasa struktur ketidakadilan” yang tidak lagi dapat diurai akar masalahnya. Keterbatasan untuk mengurai masalah ketidakadilan dapat menggoda kita menjadi orang putus asa dan acuh tak acuh terhadap kenyataan yang memprihatinkan itu.
Godaan menjadi putus asa dan acuh tak acuh inilah yang sebenarnya “menjadi titik balik” kita untuk “BERGERAK, BANGKIT, BERJALAN, LALU BERBUAT APAPUN” agar orang miskin mampu memiliki KESEMPATAN UNTUK MEMBERDAYAKAN DIRINYA. Kesempatan pemberdayaan diri tidak mungkin terjadi tanpa sebuah “JARINGAN RELASI ANTAR PRIBADI ANTAR ORANG BERIMAN”. “Jaringan relasi” itu tidak lain adalah sebuah proses membangun “KOMUNITAS BASIS MANUSIAWI”. Mengapa kita tidak cukup membangun jaringan relasi intern umat beriman kristiani?
Tidak lain alasan pertama adalah karena orang miskin yang kita hadapi adalah orang yang membutuhkan “HIDUP YANG LAYAK DAN SEJAHTERA”! Karena target pelayanan itu adalah HIDUP yang layak dan sejahtera, pemberdayaan orang miskin semestinya mencakup lintas agama, bahkan lintas bahasa, golongan dan budaya!
Alasan kedua, mereka yang tidak seiman dengan kita juga dengan suara hatinya terarah kepada Allah untuk berjuang hidup dengan benar agar memperoleh keselamatan.

IV.2. Perbedaan & Kesinambungan Tema APP 2009

Dengan cakrawala pemikiran itu, maksud dan tujuan tema APP 2009 “Beragama dan Beriman : Mengembangkan Kesejahteraan Hidup” , agar umat Katolik menyadari tanggung jawab untuk memberdayakan hidup keagamaan dan penghayatan iman dalam hubungan antar umat beriman untuk mengembangkan kesejahteraan hidup bersama. Hasil yang akan dicapai dengan tujuan tersebut adalah :
1. Penghayatan hidup keagamaan umat yang tampak dalam perwujudan iman di tengah-tengah realitas hidup masyarakat.
2. Memiliki kesadaran dan tanggung jawab bersama untuk ikut mengatasi kemiskinan dan keterpurukan masyarakat.
3. Dapat bekerjasama dalam memperjuangkan kesejahteraan hidup masyarakat (orang-orang tak berdaya/miskin).

Pertanyaannya adalah, bagaimanakah kita berjerih payah untuk mencapai tujuan tema APP 2009 ini: “
Umat Katolik menyadari tanggung jawab untuk memberdayakan hidup keagamaan dan penghayatan iman dalam hubungan antar umat beriman untuk mengembangkan kesejahteraan hidup bersama.
Dari tujuan itu terdapat 2 hal yang mau dicapai,

A. TANGGUNG JAWAB PEMBERDAYAAN HIDUP KEAGAMAAN dan
B. MENGHAYATI IMAN DALAM RELASI ANTAR UMAT BERIMAN DEMI KEPENTINGAN UNTUK MENGEMBANGKAN KESEJAHTERAAN HIDUP BERSAMA

IV.2.1 TANGGUNG JAWAB PEMBERDAYAAN HIDUP KEAGAMAAN

Tanggung jawab pemberdayaan hidup keagamaan itu tidak terletak hanya pada hirarki melainkan juga terletak pada umat beriman seluruhnya. Demikian pula, hidup keagamaan bukan sekedar penghayatan iman dalam sebuah lembaga. Bila lembaga menjadi “lingkup utama penghayatan, maka besar kemungkinan, agama tidak lagi bersifat personal, melainkan bersifat “communalistis dan uniformistis” (berciri mutlak kebersamaan dan keseragaman dalam aspek identitas diri yang lahiriah saja). Maka penghayatan agama semacam itu akhirnya jatuh pada “formalisme agama”. Agar “mentalitas formalisme agama” dapat dihambat perkembangannya, dibutuhkan sebuah penghayatan keagamaan yang memperhatikan pula aspek PERSONAL, namun juga COMMUNAL.
Dengan kata lain, pemberdayaan hidup keagamaan yang menuntut KETERLIBATAN PRIBADI dalam relasinya dengan Allah adalah ciri khas HIDUP BERIMAN. Karena orang yang memutuskan bahwa dirinya percaya kepada Allah, dibutuhkan kesediaan untuk menyerahkan kebebasan dan kehendaknya kepada-Nya. “Menyerahkan kebebasan dan kehendak kepada Allah” bukanlah sebuah sikap pasif melainkan sebuah sikap aktif, karena ia rela memperlakukan “kebebasannya untuk digunakan” demi KEPENTINGAN ALLAH.
Kepentingan Allah adalah “menyelamatkan manusia tanpa batas golongan dan tanpa batas waktu”. Kepentingan itu telah dituntaskan secara sempurna oleh Yesus Kristus, Putera Tunggal-Nya dengan misteri wafat dan kebangkitan-Nya pada hari yang ketiga. Namun keselamatan itu belum sempurna karena Kristus belum hadir kedua kalinya. Kehadiran Kristus yang kedua bagaikan pencuri yang tidak kita ketahui kapan datangnya. Maka dalam “ketidaktahuan” itu, di satu sisi, kita mengalami ketidakpastian hidup, namun di sisi lain, ketidaktahuan dan ketidakpastian itu menantang kita untuk menjawab panggilan Tuhan. Tuhan menghendaki kita mencintai diri-Nya dan sesama dalam kebebasan sebagai anak Allah, bukan sebagai “budak” yang takut pada tuannya.
Jadi, ketidaktahuan akan datangnya hari Tuhan itu menggerakkan kita menjawab panggilan-Nya untuk bebas menentukan arah hidup kita: kebebasan kita mau digunakan untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap kekuatan dan mengasihi sesama seperti Allah mengasihi, atau sebaliknya malah kita menyalahgunakan kebebasan dalam dosa (bdk Gal 5). Persoalannya adalah (1) bagaimanakah mengasihi Allah dan (2) bagaimanakah mengasihi sesama?

Ad.(1) Bagaimanakah mengasihi Allah?
Mengasihi Allah tidak identik dengan berdoa, melainkan sebuah sikap batin yang terus menerus bersedia “bekerjasama dengan Allah” dalam segala hal. Artinya sebagai orang beriman mesti belajar untuk lagi lagi “TIDAK MENCURIGAI ALLAH” melainkan belajar mengakui kebenaran bahwa Allah memiliki kehendak bebas untuk mencintai manusia. Kesadaran menghargai kehendak bebas Allah itu berakar pada status diri kitas sebagai “ANAK ALLAH & AHLI WARIS-NYA”.
Sikap batin yang mencurigai Allah antara lain berbagai bentuk gaya hidup yang “mempertanyakan dan meragukan peranan Allah, “Kenapa Allah diam saja, ketika ada gempa bumi? Di manakah Tuhan, ketika terjadi tsunami, mengapa Tuhan membiarkan kami menderita. Atau kita berdoa novena dan rosario, tapi dengan motivasi “agar Allah mengabulkan permohonanku”; Kenapa tidak ada perubahan nasib dalam keluargaku, padahal aku sudah berdoa secara khusus untuk mohon rejeki, tetapi kenyataannya sama saja!”
Di balik berbagai pertanyaan yang menggugat Allah itu termuat sebuah “kerinduan untuk mencari Allah yang sebenarnya!”. Akan tetapi kerinduan yang berwajah negatif itu dapat diubah lain sama sekali, kalau kita memperlakukan diri sebagai anak Allah dan ahli waris-Nya. Sebagai anak Allah, akhirnya cara berelasi kita dengan Bapa tentu berbeda, kalau kita menganggap diri sebagai “hamba” yang memiliki tuan yang kejam. Sebagai anak Allah, kita telah dianugerahi kemerdekaan untuk mewariskan “kekayaan cinta-Nya yang begitu luas dan dalam” kepada sesamanya. Mewariskan kekayaan Bapa, tidak lain caranya adalah dengan “mengasihi sesama”. Dalam arti itulah, akhirnya, tidaklah mungkin orang mengatakan bahwa dirnya mengasihi Allah tanpa mengasihi sesamanya (bdk 1 Yoh 4:20)

Ad (2) Mengasihi sesama
Dengan bertitik tolak dari Surat Yohanes di atas mengasihi Allah tidak terpisahkan dari mengasihi sesama. Mengasihi sesama ukurannya tidak hanya “seperti diri sendiri” melainkan terlebih dan terutama ukurannya “seperti Allah mengasihi” (Yoh 15). Karena kitalah yang diberi kepercayaan untuk mengasihi sesama, tentulah “kasih terhadap sesama” juga berpangkal pada jati diri kita sebagai anak Allah.
Sebagai anak Allah, kita memandang “sesama sebagai saudara”, termasuk musuh kita sekalipun, apalagi orang miskin. Orang miskin itulah yang menjadi pusat perhatian Gereja untuk diperhatikan. Tentulah kriteria orang miskin dapat diperdebatkan dari berbagai macam aspek. Akan tetapi, paling pokok orang miskin adalah mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk memberdayakan diri sehingga sulitlah bagi mereka juga untuk mencapai kesejahteraan hidup yang layak.
Untuk mencapai kesejahteran umum itu dibutuhkan jaringan kerjasama antar berbagai pihak, dengan orang miskin itu sendiri dan berbagai pihak yang “bersangkutan”. Siapakah yang bersangkutan terlibat untuk menciptakan “jaringan yang memungkinkan orang miskin” mendapatkan kesempatan untuk memberdayakan orang miskin? Jaringan itu semestinya dibentuk antar komunitas lintas keyakinan dan kepercayaan, lintas kelompok dan lintas budaya, karena persoalan orang miskin bukan semata-mata berakar pada diri orang miskin, melainkan mereka menjadi “korban” struktur masyarakat yang tidak adil, dari berbagai aspek kehidupan: ideologi, politik,sosial ekonomi, sosio-budaya. Karena itu, situasi masyarakat yang diwarnai ketidakadilan menjadi “saat penuh rahmat” untuk menghayati iman kita dalam relasi dengan umat beriman lainnya.

IV.2.2 MENGHAYATI IMAN DALAM RELASI ANTAR UMAT BERIMAN DEMI KEPENTINGAN UNTUK MENGEMBANGKAN KESEJAHTERAAN HIDUP BERSAMA

Situasi “ketidakadilan” dalam masyarakat yang menyebabkan orang miskin tidak lagi memiliki kesempatan memberdayakan dirinya sebagai manusia yang utuh, harus dilihat sebagai “kesempatan” untuk menjalin relasi antar umat beriman, sehingga terwujudlah “ budaya adil”, yang diwarnai “kesejahtaran hidup bersama” dan “bhinneka tunggal ika”.
Keadilan itu mengandaikan penghayatan nilai-nilai sosial hidup bersama, yakni :(1) hormat atas martabat pribadi manusia, (2) prinsip subdiaritas, yang tidak mengambil alih kemampuan pihak yang lemah untuk menentukan hidupnya sendiri dan (3) prinsip solidaritas: berkanjang dalam kesulitan hidup bersama seraya turut mencari jalan keluar dan (4) bonum commune: kesejahteraan umum, yakni “Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum ialah: keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi-aspirasi kelompok-kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan umum segenap keluarga manusia
Dengan mengalami kesejahteraan umum itu, orang akan mengembangkan diri sebagai manusia yang utuh apabila mampu untuk memberikan dirinya.
Dengan membangun “budaya adil”, tumbuhlah perkembangan “budaya bhineka tunggal ika”: di mana perbedaan pelbagai keyakinan dan kepercayaan tidak lagi menjadi persoalan yang diperdebatkan, bahkan menjadi “ajang” untuk bersaing saling menang sendiri, melainkan perbedaan itu mestinya memperkaya untuk membangun “dunia yang makin berwajah manusiawi, yakni berwajah keadilan dan kesejahteraan”. Di situlah letaknya terjadi “titik pertemuan antara orang beriman kristiani dan orang beriman lain”. Titik temu itulah yang memungkinkan untuk merintis “pertumbuhan kesejatian hidup beriman”.
Dengan demikian, tanggung jawab kita dalam menghayati iman bersama dengan umat beriman lain, bertitik tolak dari “martabat diri kita sebagai anak Allah.” Sebagai anak Allah kita memandang semua orang telah “mengalami keselamatan” berkat wafat dan kebangkitan Tuhan. Akan tetapi kebenaran akan keselamatan dari Allah itu tidak mereka alami karena kondisi mereka yang terbatas dan tidak berdaya. Maka bagaimanakah dalam ketidakberdayaan orang miskin itu kita mewartakan Kabar Gembira, agar mereka juga akhirnya mengalami keselamatan, yakni hadirnya Kerajaan-Nya yang diwarnai “damai sejahtera, dan sukacita dalam Roh Kudus”. Hadirnya kerajaan Allah itu menuntut kesediaan kita berkerjasama dengan Allah.
Kerajaan Allah itu dihadirkan dalam “proses pemberdayaan” orang miskin. Pemberdayaan itu berarti memberikan “berbagai kesempatan kepada orang miskin” untuk berkembang mencapai kesejahteraan umum sebagaimana dikatakan oleh Konsili Vatikan II dalam GS art 26. : kebutuhan pokok,membangun keluarga, pekerjaan dst.

IV.3 Kerjasama umat beriman dengan Allah

Kerjasama kita dengan Allah, sebagai Gereja “communio” dengan Allah itu dilaksanakan dalam semangat “salib”, yakni mengosongkan diri, yakni seperti Yesus bekerjasama dengan Bapa untuk menyelamatkan manusia, yakni “berani menanggung penderitaan, sampai wafat di salib”. Bagaimanakah “salib Kristus” menjadi gaya hidup kita orang beriman dalam menghadirkan kerajaan Allah?

IV.3.1 “Memanggul salib” sebagai spiritualitas hidup orang beriman

Agar kita mampu bekerjasama dengan Allah diperlukan sebuah disposisi batin dan pengertian tentang
(1) spiritualitas salib dan
(2) peranan Roh Kudus dalam keseluruhan tindakan Gereja untuk memberdayakan orang miskin.

Ad. (1) Paham “salib” menurut Santo Paulus (Flp 2:5-11)

Pemahaman atas salib dapat kita dapatkan dari Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi sbb., “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa (Flp 2: 5-11)

Santo Paulus memahami salib tidak pertama-tama pada aspek “luka parah” yang dialami Yesus seperti “dicambuk, dipaku tangan dan kakinya, serta jatuh dan ditombak lambungnya”, melainkan ia mengajak kita untuk menghayati “kepedihan Yesus yang dipermalukan sehabis-habisnya”. Namun, Yesus tidak menghindar dari perlakuan “dipermalukan” itu. Ia membiarkan diri-Nya dipermalukan. Itulah keputusannya di taman Getsmani, "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.(Mat 26:39).
Ia tentu tahu bagaimana membela diri untuk mempertahankan kebenaranya, dan membuktikan bahwa diri-Nya sungguh Anak Allah, tetapi Yesus ternyata tidak memilih “jalan pikiran manusiawi” melainkan Ia memilih jalan hidup, sbb.:
“walaupun dalam rupa Allah, Yesus tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”

Yesus memilih jalan “mengosongkan diri” untuk bekerjasama dengan Allah Bapa menyelamatkan manusia. Demikianlah juga panggilan hidup bersama kita menurut Paulus mesti dijiwai pengosongan diri, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus”. Apakah yang harus dibuang dalam diri kita supaya “pengosongan diri” itu terjadi? Pengosongan diri itu tidak lain adalah kesediaan untuk tidak “mempertahankan milik pribadi yang dianggap istimewa sekalipun”.
Kalau Yesus saja tidak mempertahankan kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan di hadapan Mahkamah Agung, mengapa kita justru berjuang untuk mencari harga diri : popularitas, pujian, diistimewakan, dengan berbagai macam cara, bahkan dengan perbuatan yang saleh sekalipun. Harga diri itu dipertahankan mati-matian apalagi kalau kita difitnah, dicela, dikritik dan ditunjukkan kesalahan kita. Itulah salib yang harus kita pikul juga dalam “memberdayakan orang miskin”.
Dalam memberdayakan orang miskin, apalagi dalam kerjasama dengan umat beriman lintas keyakinan, bahasa dan budaya, lintas golongan ekonomi dan lintas kelompok minat, terbuka kemungkinan konflik akibat perbedaan visi, meskipun bisa jadi memiliki visi yang sama: kepedulian kepada orang miskin. Kemungkinan konflik itu tidak lain terjadi karena motivasi dalam “memberdayakan orang miskin” tidaklah selalu motivasi demi kepentingan Tuhan dalam menyelamatkan manusia, melainkan bisa terjadi motivasi yang mencari popularitas, agar dikatakan orang baik dan saleh, agar memiliki kesempatan untuk menguasai donatur atau “funding agency” sehingga bisa mencari keuntungan dari biaya pemberdayaan itu, atau motivasi untuk menyebarkan keyakinannya. Di lain sisi juga, dalam kerjasama lintas itu sudah ada bibit-bibit “kecurigaan” satu dengan yang lain.
Bagaimana kita mengatasi konflik dan menghadapi benih-benih permusuhan, yang sering tidak terhindarkan itu?


Ad. 2 Peranan Roh Kudus dalam tindakan Gereja untuk terlibat “pemberdayaan orang miskin”

Keterlibatan dalam memberdayakan orang miskin tidak bebas dari “benih konflik”. Dalam “ketidakbebasan”, kita ditantang untuk mengakui keterbatasan kita sebagai pemerhati, namun sekaligus juga dipanggil untuk mengakui hanya Allah yang menjadi sumber kekuatan kita untuk mengasihi sesama. Keterbatasan itu bisa membelokkan arah motivasi kita, sehingga terjadi perubahan dari motivasi demi kepentingan kerajaan Allah menjadi demi kepentingan harga diriku sendiri. Kalau kepentingan diri menjadi utama, terbukalah peluang untuk “bersaing” dalam berbuat baik. Persaingan itu pun memicu “gairah untuk bekerja sebagai single figther” daripada sebagai “teamwork”. Dalam situasi ketidakbebasan itulah, sebagai orang beriman, kita mesti memiliki komitmen untuk melibatkan Roh Kudus, yakni Roh Allah sendiri. Roh Kudus tidak otomatis berkarya dalam diri kita kalau kita tidak meminta-Nya.
Allah Bapa menghendaki agar kita meminta Roh-Nya sendiri sehingga terjadi pembaharuan agar kita mengalami daya kekuatan untuk berjuang menghadirkan kerajaan-Nya.” Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Luk 11:13) Karena itu jangan ragu-ragu untuk meminta kehadiran Roh Kudus agar hati dan budi kita beroleh terang-Nya. Roh itu dimohon terus menerus dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaannya, bahkan sesudahnya.

IV.3.2 Keterlibatan dalam pemberdayaan orang miskin dengan METODE SPIRAL PASTORAL

IV.32.1 METODE SPIRAL PASTORAL

Dalam Octogessima Adveniens, dirumuskan Spiral Pastoral dirumuskan sbb.
“Merupakan tugas umat kristiani menganalisis secara obyektif situasi yang khas bagi negeri sendiri, menyinarinya dengan terang amanat Injil yang tidak dapat diubah,dan dari ajaran sosial Gereja menggali asas-asas untuk refleksi,norma-norma untuk penilaian serta pedoman-pedoman untuk bertindak”. (OA, art. 4).


Dari kutipan di atas Metode Spiral Pastoral diawalai dengan (1) “analisa objektif atas situasi yang khas, (2) menyinari dalam terang amanat Injil dan dari Ajaran Sosial Gereja, dan (3) menemukan norma-noma untuk penilaian dan pedoman untuk bertindak.
Metode Spiral Pastoral ini digunakan dalam pendalaman iman ini pertama-tama demi tujuan agar hidup beriman berakar baik dalam doa maupun dalam situasi yang aktual sehingga metode ini mudah-mudahan menjawab kebutuhan pendalaman iman yang kontekstual. Kontekstual itu berarti pendalaman iman itu “relevan” dengan persoalan yang ada. Maka pendalaman iman seperti tidak lain adalah sebuah usaha untuk membuat Discerment, yakni penegasan Roh dalam hidup Gereja sebagai communio. Maka Uskup Agung Archbishop Orlando Quevedo menulis, sbb.:

“Sebuah metode discerment
yang biasanya dipergunakan oleh Komunitas Basis Gerejani, adalah Metode Spiral Pastoral.
Metode ini dimulai dengan
(1) analisa situasi, bergerak mengarah ke Refleksi iman,(2) dilanjutkan dengan membuat keputusan, dan (3) merencanakan implementasi keputusan itu. Spiral Pastoral berakhir dengan (4) Aksi (Implementasi dari keputusan itu) dan (5) Evaluasi. (6) Situasi yang baru akan muncul dari proses itu, dan spiral pastoral mulai lagi. Dalam banyak komunitas Basis Gerejani, metode discermen komunitas ini dilakukan secara teratur oleh para anggota dan pemimpin komunitas basis itu. Metode ini menjamin bahwa jawaban iman mereka berakar baik dalam doa maupun dalam situasi konkret.


IV.32.2 Sasaran Pemberdayaan: orang miskin
Bagaimanakah kita akan mulai proses memberdayakan orang miskin? Kita mesti memahami dulu ciri khas orang miskin. Ciri khas ini harus berlaku untuk semua orang miskin yang kita temui di manapun kita berada.
Orang miskin pada dasarnya adalah orang yang tidak mampu memperoleh kesejahteraan hidup yang layak. Ketidakmampuan itu tidak hanya berasal dari diri sendiri akibat mentalitas “nrimo” nasib apa adanya. Akan tetapi juga ketidakmampuan itu merupakan akibat sebuah struktur masyarakat yang tidak adil. Maka untuk mengurai masalah kemiskinan, kita mesti menemukan kriteria dari kesejahteraan hidup.
Kesejahteraan hidup itu menurut Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes artikel 26 dikatkan, keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri.Maka orang miskin adalah mereka yang kurang bahkan tidak memiliki jaringan untuk memperoleh berbagai kesempatan yang mengembangkan dirnya menjadi sempurna. KV II menyatakan “sudah seharusnyalah, bahwa bagi manusia disediakan
• segala sesuatu, yang dibutuhkannya untuk hidup secara sungguh manusiawi, misalnya nafkah, pakaian, perumahan,
• hak untuk dengan bebas memilih status hidupnya dan untuk membentuk keluarga,
• hak atas pendidikan, pekerjaan, nama baik, kehormatan, informasi yang semestinya,
• hak untuk bertindak menurut norma hati nuraninya yang benar,
• hak atas perlindungan hidup perorangan,
• dan atas kebebasan yang wajar, juga perihal agama.

Masalahnya adalah siapakah di antara kita yang mampu memberikan hak bagi orang miskin untuk mengalami berbagai macam hak atau kesempatan hidup yang layak itu? Di satu pihak, sebagai anggota Gereja, sayalah yang harus memberikan hak itu menurut kemampuan karena akan tetapi di sisi lain, orang miskin pun mesti disadarkan akan hak asasinya sebagai manusia, bahwa mereka berhak untuk hidup layak, bukan menerima kondisi keterbatasannya sebagai nasib yang tinggal diratapi. Akan tetapi bagaimanakah mereka digerakkan untuk bangkit dari keterbatasannya, sementara kita sulit mendengarkan jeritan minta tolong? Di situlah kepentingan “spiritualitas pengosongan diri berkembang”. Dalam semangat “pengosongan diri” demi terwujudnya pemberdayaan orang miskin, kita menggunakan metode Spiral Pastoral.

IV.32.3 PROSES METODE SPIRAL PASTORAL

Sebagaimana dirumuskan dalam OA art. 4 dan dipertegas dalam FABC, proses penggunaaan Metode Spiral Pastoral semestinya dijalankan sbb.

LANGKAH I: ANALISA SITUASI & PERSOALAN
(i) mulai dengan dialog, yakni mencari “orang miskin” di sekitar lingkungan dan mendata
(ii) memilah-milah (memverifikasi): mengelompokkan jenis masalah orang miskin
(iii) menentukan prioritas masalah yang mau ditangani menurut potensi umat setempat dan potensi masyarakat
(iv) membuat analisa akar masalah (problem tree) dan analisa arah perubahan pemberdayaan (objectives tree)

LANGKAH II: REFLEKSI IMAN
(i) membuat analisa dari arah perubahan ke “nilai-nilai’ manusiawi (nilai-nilai dasar yang berlaku untuk seluruh agama dan kepercayaan, bahkan orang atheis sekalipun.
(ii) Membuat analisa nilai-nilai Injili dengan berpangkal dari nilai manusiawi, apakah nilai-nilai manusiawi itu juga menjadi pesan Injil, dan pesan Ajaran Magisterium?

LANGKAH III: KEPUTUSAN IMAN:
Setelah menemukan nilai-nilai manusiawi dan kristiani, buatlah keputusan iman, agar terjadi perubahan dari akar masalah menjadi arah perubahan (lihatlah kartu kuning paling bawah ke kartu merah jambu yang paling bawah juga. Aktivitas apa yang akan dibuat supaya terjadi perubahan “situasi” pada kartu kuning ke situasi di kartu merah jambu!

LANGKAH IV PERENCANAAN: Setelah menentukan Aktivitas, dibuatlah perencanaan untuk menentukan PELAKSANAAN atau AKSI NYATA: kapan pelaksanaan, penanggung jawab, siapa saja pelaksananya, biaya, targetnya.

LANGKAH V: AKSI NYATA: saat pelaksanaan: satu hari atau beberapa hari

LANGKAH VI:EVALUASI: dibuat setelah terjadi pelaksanaan. Apakah aksi nyata itu menjawab masalah mereka orang miskin, relevan atau malah tidak menjawab sama sekali?

LANGKAH VII: KENYATAAN BARU: hasil evaluasi itu dapat menjadi titik tolak untuk melangkah lebih lanjut: menyempurnakan.








































Dengan memakai “Metode Spiral Pastoral” diharapkan para peserta mampu berjerih payah untuk menampilkan jati dirinya sebagai communio sehingga kredibilitas Gereja relevan bagi dunia, terutama bagi orang miskin.
BAGIAN II:
PENERAPAN METODE SPIRAL PASTORAL dalam PENDALAMAN IMAN KAUM DEWASA

I. Konteks “penggunaan metode spiral pastoral”
Untuk memulai metode Spiral Pastoral,yakni ANALISA DATA, harus didahului dengan pendalaman spiritualitas salib dan Gereja sebagai”communio”. Pendalaman itu penting untuk menempatkan metode spiral pastoral dalam kaitannya dengan pribadi hidup orang beriman, agar metode itu bukan sekedar “MODUS OPERANDI” (cara melaksanakan), yang bebas dari nilai apapun, melainkan justru metode itu dijalankan sebagai sebuah DISCERNMENT SPIRITUAL, AGAR HIDUP BERIMAN BERAKAR DALAM DOA MAUPUN REALITAS HIDUP KONKRET. Karena itu harus dijalankan pertemuan I dan II

Untuk memulai Metode Pastoral dalam Pertemuan III sampai V. diirumuskan dulu berdasarkan data lapangan: siapakah orang miskin yang ada di sekitar lingkungan Anda. Karena itu dalam kerangka dasar panduan pendalaman iman kaum dewasa akan dirumuskan bebeapa pertanyaan untuk merumuskan PERSOALAN UTAMA.
Untuk merumuskan persoalan dengan baik, silakan menjawab beberapa pertanyaan panduan berikut ini:

1. Kesempatan apa sajakah yang tidak dapat mereka peroleh secara layak: kebutuhan pokok sehari-hari tidak terjamin, pelayanan kesehatan di puskemas maupun di rumah sakit atau pendidikan dasar bagi anak-anaknya.
2. Apakah mereka sering dilibatkan dalam pengambilan keputusan di tingkat RT-RW? Mengapa?
3. Apakah dalam memperhatikan orang miskin Anda juga membuat jaringan kerjasama dengan orang yang beriman lain? Mengapa?
4. Kalau Anda melakukan kerjasama dengan agama lain, adakah iman Anda terpengaruh? Adakah rasa curiga, lalu terjadi konflik dingin, bahkan perang mulut juga terjadi?
5. Kalau Anda tidak melakukan kerjasama dengan agama lain, apakah alasannya? Apakah Anda ketakutan karena mau diperas, sehingga mereka yang “akhirnya dipuji” sementara Anda malah tidak tercantum namanya sebagai “donatur”?
6. Apakah perhatian kepada orang miskin itu membuat Anda bergairah untuk semakin berelasi dengan Tuhan? Ataukah sebaliknya?
7. Apakah Anda pernah mengalami keputusasaan dalam melayani orang miskin? Mengapa?


Ketujuh pertanyaan itu ditawarkan untuk membantu kita berefleksi, dan pada gilirannya Anda memiliki langkah konkret untuk bertobat secara konkret.


II. KERANGKA TEMA SETIAP PERTEMUAN

Pertemuan I: Spiritualitas Salib

Pertemuan II: Gereja sebagai communio

Pertemuan III Konteks Spiral Pastoral: menempatkan metode itu dalam paham iman: sebagai ungkapan dan perwujudan. Dijelaskan langkah-langkahnya. Arti “kemiskinan”. ANALISA MASALAH dengan pendataan sampai pada Analisa Akar Masalah dan Analisa Perubahan
Pertemuan IV: REFLEKSI IMAN: menemukan nilai-nilai manusiawi, dan nilai kristiani dan KEPUTUSAN IMAN

Pertemuan V: PERENCANAAN AKSI NYATA


III.Kerangka Materi Setiap Pertemuan

Pertemuan I: Spiritualitas Salib: mengasihi Allah dan sesama dengan mengosongkan diri

A. Illustrasi: kapan kita merasa dipermalukan? Apakah Anda mau dikritik? Kalau ditunjukkan kesalahan? Kalau diejek, penampilanmu? Mengapa Anda merasa malu? Lebih sakit manakah dipukul, atau harga diri Anda direndahkan?

Sharing bersama

B. Sumber Inspirasi: Flp 2:5-11
Yesus tidak mempertahankan kesetaraan-Nya dengan Allah, tetapi Ia mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba, sampai wafat di salib.

Panduan Reflektif
Mengapa Yesus tidak mempertahankan diri: tidak meminta hak pribadinya, tidak berjuang menyelamatkan diri-Nya sendiri. Apakah kita mampu “mengosongkan diri”? Apakah yang dianggap paling istimewa itu “mesti dilepaskan”, apakah mau?

C. Ketidakmampuan menjadi “saat” untuk memohon karunia Allah , jika aku lemah aku kuat (2 Kor 12:9-10). Karunia Allah itu tidak lain adalah Roh Kudus. Marilah kita minta Roh itu (Luk 7:11) Mohon karunia Roh Kudus: Nyanyikan “Veni Creator” dan doa mohon Roh Kudus: secara pribadi dan bersama

D. Penutup

Pertemuan II:
Gereja yang dipercaya di tengah dunia: Gereja, sebagai “communio” terlibat dalam kesulitan hidup orang miskin dengan memberdayakan bersama umat beriman lain. Metode yang kita gunakan adalah Spiral Pastoral (sampai kepada analisa nilai manusiawi)

A. Ilustrasi: Pak Trembel memiliki dokar sebagai mata pencahariannya setiap hari untuk menghidupi 1 isteri dan 3 anaknya. Ia menetapkan tarif naik dokar dari Desa Gemah Ripah sampai Pasar Artomoro (sekitara 10 km) dengan tarif kelas VIP: 10.000, tapi kalau roda rusak, tidak perlu turun dan memperbaiki, tarif kelas II: 7.500 turun dan boleh lihat saja, kelas III: 5000, ikut turun, ikut memperbaiki dan mendorong. Panurata pilih tarif kelas VIP, Jerawati kelas II, dan Trimbil kelas III.

Sharing:
Kita pilih kelas yang mana, seperti Panurata, Jerawati atau Trimbil? Mengapa? Itulah “model” hidup “tidak berkomunitas” karena hidup bersama ditentukan oleh “tarif”. Apakah model “komunitas dokar” itu juga cermin hidup Gereja sebagai “persekutuan” (communio)? Mungkinkah model hidup bersama begitu memungkinkan orang “saling mengasihi”? Apakah Anda dapat menggambarkan “Komunitas Dokar” yang diwarnai kasih?

B. Sumber Inspirasi :
mengasihi sesama (Perumpaan Orang Samaria yang murah hati, Perintah Utama, Yoh 15:12 Surat Yohanes 4), ASG Ensiklik Centessimus Annus. Panduan pertanyaan: siapakah sesamaku? Mengapa orang yang tidak “beragama Yahudi” pun, wanita Samaria itu malah terlibat membantu orang yang sakit?

C. Peneguhan : Kita tidak mampu mengasihi sesama kalau mengandalkan diri sendiri, karena kita modah tergoda untuk menghargai orang. Kita butuh pertobatan. Mari kita mohon Roh Kudus agar kita bertobat

D. Doa Mohon pertobatan: dari cinta hanya terhadap pada diri sendiri menjadi cinta kepada sesama sebagaimana Allah mencintai

Pertemuan III: Menentukan persoalan “kemiskinan” di sekitarku dan dianalisa dengan Metode Spiral Pastoral (Langkah Analisa dan Perubahan)

Pertemuan IV: Langkah Refleksi Iman: Nilai manusiawi dan Nilai Kristiani, diakhiri keputusan iman







IV.LANGKAH-LANGKAH PERTEMUAN III-V

(1) Doa pembukaan: mohon karunia Roh Kudus agar memberikan terang hati dan budi seturut kehendak-Nya
(2) Pengantar
(3) Pengguliran Metode Pastoral (Langkah I untuk pertemuan I, kalau belum selesai bisa dilanjutkan pertemuan berikutnya)
(4) Mensharingkan “nilai-nilai” kehidupan yang muncul dalam analisa masalah tadi
(5) Membaca Sabda Tuhan sebagai inspirasi untuk meneguhkan iman kita: tema-tema Allah yang berpihak kepada orang miskin.
(6) Doa permohonan-Doa Penutup


V. Langkah Pertemuan V: Perencanaan Aksi Nyata (Tahap V dari Spiral Pastoral)

A. Pengantar
Mengapa setelah Paska dalam jangka waktu kurang lebih 50 hari, tetap diajak untuk “menggulirkan” bahan pendalaman sampai AKSI NYATA? Titik tolak untuk memahami “kegiatan pendalaman iman” setelah Paska dapat dipikirkan dari beberapa pokok gagasan:

1. Buah-buah perayaan Ekaristi Pekan Suci dan Paskah: dengan menyantap Tubuh dan Darah Kristus, terjadilah persatuan hidup Kristus yang ilahi dengan hidup manusia yang profan. Persatuan itu berarti, Kristus menukar hati kita yang mudah putus asa dan sombong dengan hati-Nya yang lemah lembut dan murah hati agar kita mampu hidup menurut gaya hidup-Nya. Hidup menurut gaya Kristus, tidak lain menurut St Paulus adalah “mengosongkan diri” (Flp 2:5-11), yakni memanggul salib agar kita mengalami kebangkitan bersama Dia. Bagaimana kita akan mengalami misteri Paskah kalau kita tidak mau memanggul salib kita? Kristus telah mendahului memanggul salib agar kita percaya bahwa salib itu membuat kita mati terhadap dosa, akan tetapi kita akan menang atas kuasa maut itu dalam persatuan dengan Kristus yang sudah lebih dahulu mengalami kematian.
2. Yesus yang bangkit memberikan peneguhan: Jangan ragu-ragu lagi untuk memanggul salib! Kalian pasti akan bangkit bersama-Ku! Karena itu, misteri Paska menggerakkan orang menjadi “pewarta kabar gembira: kebangkitan Kristus yang membawa “damai sejahtera”
3. Bagaimana secara konkret umat beriman membawa “damai sejahtera”, bagi orang-orang miskin (memiliki sedikit kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi manusia utuh).
4. Konkretisasi itu mempersiapkan diri untuk menyambut karunia Roh Kudus yang akan kita terima pada saat Perayaan Pentakosta.
5. Semoga kita makin sadar, Roh Kudus yang adalah Roh Allah dan Roh Yesus itulah yang menentukan hidup Gereja. Roh itulah yang menghidupkan orang beriman untuk terlibat dalam hidup di tengah dunia.

B. Perencanaan Aksi Nyata
1. Bukalah kembali notulensi hasil pertemuan terakhir, yang berisi KEPUTUSAN IMAN.
2. Buatlah bagan atau tabel: berisi tentang masalah, arah perubahan, nilai manusiawi, nilai kristiani, aktivitasnya, target (SMART: Special (khusus), Measurable (terukur), Acceptable (dapat disepakati), Reliable (realistis), Timely (jelas waktu dan periodisasinya), asumsi (ada data penyebab kemungkinan gagal), penanggung jawab, langkah pelaksanaan, biaya dan evaluasi (berdasarkan SMART)

3. Membagikan “kertas tugas” untuk masing masing warga; jadual dan tugas mereka masing masing.



Penutup
Pemikiran dasar ini dibuat untuk kepentingan karya pastoral Keuskupan selama masa Prapaskah dan lingkaran Paskah, yang mencakup pendalaman iman, penyusunan teks-teks ibadat, dan pemilihan kegiatan dalam menggulirkan tema APP 2009 secara konkret di lingkungan dan di Paroki serta stasi di wilayah Keuskupan Purwokerto agar nyatalah “umat beriman menjadi pelopor makin tegaknya Kerajaan Allah di tengah dunia”.


Selamat Retret Agung 2009!
Komisi Kateketik Keuskupan Purwokerto
29 November 2008

Synthesis of Instruction "Dignitas Personae"

Synthesis of Instruction "Dignitas Personae"

VATICAN CITY, DEC. 12, 2008 (Zenit.org).- Here is the synthesis of the instruction "Dignitas Personae" that was released today by the Congregation for the Doctrine of the Faith on certain bioethical questions. It was published in English, French, German, Italian, Spanish, Portuguese and Polish.
* * *
Regarding the Instruction Dignitas Personae
Aim
In recent years, biomedical research has made great strides, opening new possibilities for the treatment of disease, but also giving rise to serious questions which had not been directly treated in the Instruction Donum vitae (22 February 1987). A new Instruction, which is dated 8 September 2008, the Feast of the Nativity of the Blessed Virgin Mary, seeks to provide some responses to these new bioethical questions, as these have been the focus of expectations and concerns in large sectors of society. In this way, the Congregation for the Doctrine of the Faith seeks both to contribute "to the formation of conscience" (n. 10) and to encourage biomedical research respectful of the dignity of every human being and of procreation.
Title
The Instruction opens with the words Dignitas personae - the dignity of a person, which must be recognized in every human being from conception to natural death. This fundamental principle expresses "a great ‘yes' to human life and must be at the center of ethical reflection on biomedical research" (n. 1).
Value
The document is an Instruction of a doctrinal nature, published by the Congregation for the Doctrine of the Faith and expressly approved by the Holy Father, Pope Benedict XVI. The Instruction therefore falls within the category of documents that "participate in the ordinary Magisterium of the successor of Peter" (Instruction Donum veritatis, n.18), and is to be received by Catholics "with the religious assent of their spirit" (Dignitas personae, n. 37).
Preparation
For several years, the Congregation for the Doctrine of the Faith has been studying new biomedical questions with a view to updating the Instruction Donum vitae. In undertaking the examination of such new questions, the Congregation for the Doctrine of the Faith "has benefited from the analysis of the Pontifical Academy for Life and has consulted numerous experts with regard to the scientific aspects of these questions, in order to address them with the principles of Christian anthropology. The Encyclicals Veritatis splendor and Evangelium vitae of John Paul II, as well as other interventions of the Magisterium, offer clear indications with regard to both the method and the content of the examination of the problems under consideration" (n. 2).
Intended recipients of the document
The Instruction is meant for "all who seek the truth" (n. 3). Indeed, in presenting principles and moral evaluations regarding biomedical research on human life, the Catholic Church "draws upon the light both of reason and of faith and seeks to set forth an integral vision of man and his vocation, capable of incorporating everything that is good in human activity, as well as in various cultural and religious traditions which not infrequently demonstrate a great reverence for life" (n. 3).
Structure
The Instruction has three parts: "the first recalls some anthropological, theological and ethical elements of fundamental importance; the second addresses new problems regarding procreation; the third examines new procedures involving the manipulation of embryos and the human genetic patrimony" (n. 3).
First Part:
Anthropological, Theological and Ethical Aspects of Human Life and Procreation
The two fundamental principles
"The human being is to be respected and treated as a person from the moment of conception; and therefore from that same moment his rights as a person must be recognized, among which in the first place is the inviolable right of every innocent human being to life" (n. 4). "The origin of human life has its authentic context in marriage and in the family, where it is generated through an act which expresses the reciprocal love between a man and a woman. Procreation which is truly responsible vis-à-vis the child to be born must be the fruit of marriage" (n. 6).
Faith and human dignity
"It is the Church's conviction that what is human is not only received and respected by faith, but is also purified, elevated and perfected" (n. 7). God has created every human being in his own image, and his Son has made it possible for us to become children of God. "By taking the interrelationship of these two dimensions, the human and the divine, as the starting point, one understands better why it is that man has unassailable value: he possesses an eternal vocation and is called to share in the trinitarian love of the living God" (n. 8.).
Faith and married life
"These two dimensions of life, the natural and the supernatural, allow us to understand better the sense in which the acts that permit a new human being to come into existence, in which a man and a woman give themselves to each other, are a reflection of trinitarian love. God, who is love and life, has inscribed in man and woman the vocation to share in a special way in his mystery of personal communion and in his work as Creator and Father... The Holy Spirit who is poured out in the sacramental celebration offers Christian couples the gift of a new communion of love that is the living and real image of that unique unity which makes of the Church the indivisible Mystical Body of the Lord Jesus" (n. 9).
The Church's Magisterium and the legitimate autonomy of science
"The Church, by expressing an ethical judgment on some developments of recent medical research concerning man and his beginnings, does not intervene in the area proper to medical science itself, but rather calls everyone to ethical and social responsibility for their actions. She reminds them that the ethical value of biomedical science is gauged in reference to both the unconditional respect owed to every human being at every moment of his or her existence, and the defense of the specific character of the personal act which transmits life" (n. 10).
Second Part:
New Problems Concerning Procreation
Techniques for assisting fertility
Among the procedures which respond to problems of fertility are the following:
"techniques of heterologous artificial fertilization" (n. 12): that is, "techniques used to obtain a human conception artificially by the use of gametes coming from at least one donor other than the spouses who are joined in marriage" (footnote 22). "techniques of homologous artificial fertilization" (n. 12): that is, "the technique used to obtain a human conception using the gametes of the two spouses joined in marriage" (footnote 23). "techniques which act as an aid to the conjugal act and its fertility" (n. 12). "techniques aimed at removing obstacles to natural fertilization" (n. 13). "adoption" (n. 13).
Techniques are morally permissible if they respect: "the right to life and to physical integrity of every human being", "the unity of marriage, which means reciprocal respect for the right within marriage to become a father or mother only together with the other spouse" and "the specifically human values of sexuality" (n. 12), which require that the procreation of a new human person come about as a result of the conjugal act specific to the love between a husband and wife.
Therefore, "techniques which act as an aid to the conjugal act and its fertility are permitted" (n. 12). In such procedures, the "medical intervention respects the dignity of persons when it seeks to assist the conjugal act either in order to facilitate its performance or in order to enable it to achieve its objective once it has been normally performed" (n. 12). "Certainly, techniques aimed at removing obstacles to natural fertilization... are licit" (n. 13). "Adoption should be encouraged, promoted and facilitated so that the many children who lack parents may receive a home... In addition, research and investment directed at the prevention of sterility deserve encouragement (n. 13).
In vitro fertilization and the deliberate destruction of embryos
The experience of recent years has shown that in all techniques of in vitro fertilization "the number of embryos sacrificed is extremely high" (n. 14). Even in the most technically advanced centers of artificial fertilization, the number is above 80% (cf. footnote 27). "Embryos produced in vitro which have defects are directly discarded"; a increasing number of couples "are using artificial means of procreation in order to engage in genetic selection of their offspring"; of the embryos which are produced in vitro "some are transferred into the woman's uterus, while the others are frozen"; the technique of multiple transfer in which "the number of embryos transferred is greater than the single child desired, in the expectation that some embryos will be lost... implies a purely utilitarian treatment of embryos" (n. 15).
"The blithe acceptance of the enormous number of abortions involved in the process of in vitro fertilization vividly illustrates how the replacement of the conjugal act by a technical procedure...leads to a weakening of the respect owed to every human being. Recognition of such respect is, on the other hand, promoted by the intimacy of husband and wife nourished by married love... In the face of this manipulation of the human being in his or her embryonic state, it needs to be repeated that God's love does not differentiate between the newly conceived infant still in his or her mother's womb and the child or young person, or the adult and the elderly person. God does not distinguish between them because he sees an impression of his own image and likeness.. Therefore, the Magisterium of the Church has constantly proclaimed the sacred and inviolable character of every human life from its conception until its natural end" (n. 16).
Intracytoplasmic sperm injection (ICSI)
Intracytoplasmic sperm injection is a variety of in vitro procreation in which fertilization in the test tube does not simply "take place on its own, but rather by means of the injection into the oocyte of a single sperm, selected earlier, or by the injection of immature germ cells taken from the man" (footnote 32).
This technique, which is morally illicit, causes a complete separation between procreation and the conjugal act" (n. 17). It takes place "outside the bodies of the couple through actions of third parties whose competence and technical activity determine the success of the procedure. Such fertilization entrusts the life and identity of the embryo into the power of doctors and biologists and establishes the domination of technology over the origin and destiny of the human person" (n. 17).
Freezing embryos
"In order to avoid repeatedly taking oocytes from the woman's body, the process involves a single intervention in which multiple oocytes are taken, followed by cryopreservation of a considerable number of the embryos conceived in vitro. In this way, should the initial attempt at achieving pregnancy not succeed, the procedure can be repeated or additional pregnancies attempted at a later date" (n. 18). The freezing or cryopreservation of embryos "refers to freezing them at extremely low temperatures, allowing long term storage" (cf. footnote 35).
"Cryopreservation is incompatible with the respect owed to human embryos; it presupposes their production in vitro; it exposes them to the serious risk of death or physical harm, since a high percentage does not survive the process of freezing and thawing; it deprives them at least temporarily of maternal reception and gestation; it places them in a situation in which they are susceptible to further offense and manipulation" (n. 18).
With regard to the large number of frozen embryos already in existence the question becomes: what to do with them? All the answers that have been proposed (use the embryos for research or for the treatment of disease; thaw them without reactivating them and use them for research, as if they were normal cadavers; put them at the disposal of infertile couples as a "treatment for infertility"; allow a form of "prenatal adoption") present real problems of various kinds. It needs to be recognized "that the thousands of abandoned embryos represent a situation of injustice which in fact cannot be resolved. Therefore, John Paul II made an "appeal to the conscience of the world's scientific authorities and in particular to doctors, that the production of human embryos be halted, taking into account that there seems to be no morally licit solution regarding the human destiny of the thousands and thousands of ‘frozen' embryos which are and remain the subjects of essential rights and should therefore be protected by law as human persons" (n. 19).
The freezing of oocytes
"In order avoid the serious ethical problems posed by the freezing of embryos, the freezing of oocytes has also been advanced in the area of techniques of in vitro fertilization" (n. 20).
In this regard it needs to be stated that while the cryopreservation of oocytes is not in itself immoral, and is employed in other medical contexts which are not the subject of this document, when it takes place "for the purpose of being used in artificial procreation" it is "to be considered morally unacceptable" (n. 20).
The reduction of embryos
"Some techniques used in artificial procreation, above all the transfer of multiple embryos into the mother's womb, have caused a significant increase in the frequency of multiple pregnancy. This situation gives rise in turn to the practice of so-called embryo reduction, a procedure in which embryos or fetuses in the womb are directly exterminated" (n. 21).
"From the ethical point of view, embryo reduction is an intentional selective abortion. It is in fact the deliberate and direct elimination of one or more innocent human beings in the initial phase of their existence and as such it always constitutes a grave moral disorder" (n. 21).
Preimplantation diagnosis
"Preimplantation diagnosis is a form of prenatal diagnosis connected with techniques of artificial fertilization in which embryos formed in vitro undergo genetic diagnosis before being transferred into a woman's womb. Such diagnosis is done in order to ensure that only embryos free from defects or having the desired sex or other particular qualities are transferred" (n. 22).
"Unlike other forms of prenatal diagnosis..., diagnosis before implantation is immediately followed by the elimination of an embryo suspected of having genetic or chromosomal defects, or not having the sex desired, or having other qualities that are not wanted. Preimplantation diagnosis...is directed toward the qualitative selection and consequent destruction of embryos, which constitutes an act of abortion... By treating the human embryo as mere ‘laboratory material', the concept itself of human dignity is also subjected to alteration and discrimination...Such discrimination is immoral and must therefore be considered legally unacceptable..." (n. 22).
New forms of interception and contragestation
There are methods of preventing pregnancy which act after fertilization, when the embryo is already constituted.
"Such methods are interceptive if they interfere with the embryo before implantation" (n. 23); for example, the IUD (intrauterine device) and the so-called ‘morning-after pills' (footnote 42). They are "contragestative if they cause the elimination of the embryo once implanted" (n. 23); for example, the pharmaceutical known commercially as RU-486 (footnote 43).
Even if such interceptives may not cause an abortion every time they are used, also because conception does not occur after every act of sexual intercourse, it must be noted, however, that "anyone who seeks to prevent the implantation of an embryo which may possibly have been conceived and who therefore either requests or prescribes such a pharmaceutical, generally intends abortion". In the case of contragestatives "what takes place in reality is the abortion of an embryo which has just implanted... the use of means of interception and contragestation fall within the sin of abortion and are gravely immoral" (n. 23).
Third Part:
New Treatments which Involve the Manipulation of
the Embryo or the Human Genetic Patrimony
Gene therapy
Gene therapy commonly refers to "techniques of genetic engineering applied to human beings for therapeutic purposes, that is to say, with the aim of curing genetically based diseases" (n. 25).
Somatic cell gene therapy "seeks to eliminate or reduce genetic defects on the level of somatic cells" (n. 25). Germ line cell therapy aims "at correcting genetic defects present in germ line cells with the purpose of transmitting the therapeutic effects to the offspring of the individual" (n. 25).
From the ethical point of view:
Procedures used on somatic cells for strictly therapeutic purposes "are in principle morally licit...Given that gene therapy can involve significant risks for the patient, the ethical principle must be observed according to which, in order to proceed to a therapeutic intervention, it is necessary to establish beforehand that the person being treated will not be exposed to risks to his health or physical integrity which are excessive or disproportionate to the gravity of the pathology for which a cure is sought. The informed consent of the patient or his legitimate representative is also required" (n. 26). With regard to germ line cell therapy, "the risks connected to any genetic manipulation are considerable and as yet not fully controllable" and therefore "in the present state of research, it is not morally permissible to act in a way that may cause possible harm to the resulting progeny" (n. 26). ith regard to the possibility of using techniques of genetic engineering to introduce alterations with the presumed aim of improving and strengthening the gene pool, it must be observed that such interventions would promote a "eugenic mentality" and would introduce an "indirect social stigma with regard to people who lack certain qualities, while privileging qualities that happen to be appreciated by a certain culture or society; such qualities do not constitute what is specifically human. This would be in contrast with the fundamental truth of the equality of all human beings which is expressed in the principle of justice, the violation of which, in the long run, would harm peaceful coexistence among individuals... Finally it must also be noted that in the attempt to create a new type of human being one can recognize an ideological element in which man tries to take the place of his Creator" (n. 27).
Human cloning
Human cloning refers to "the asexual or agametic reproduction of the entire human organism in order to produce one or more ‘copies' which, from a genetic perspective, are substantially identical to the single original" (n. 28). The techniques which have been proposed for accomplishing human cloning are artificial embryo twinning, which "consists in the artificial separation of individual cells or groups of cells from the embryo in the earliest stage of development... which are then transferred into the uterus in order to obtain identical embryos in an artificial manner" (footnote 47) and cell nuclear transfer, which "consists in introducing a nucleus taken from an embryonic or somatic cell into an denucleated oocyte. This is followed by stimulation of the oocyte so that it begins to develop as an embryo" (footnote 47). Cloning is proposed for two basic purposes: reproduction, that is, in order to obtain the birth of a baby, and medical therapy or research.
Human cloning is "intrinsically illicit in that...it seeks to give rise to a new human being without a connection to the act of reciprocal self-giving between the spouses and, more radically, without any link to sexuality. This leads to manipulation and abuses gravely injurious to human dignity" (n. 28).
With regard to reproductive cloning, "this would impose on the resulting individual a predetermined genetic identity, subjecting him - as has been stated - to a form of biological slavery, from which it would be difficult to free himself. The fact that someone would arrogate to himself the right to determine arbitrarily the genetic characteristics of another person represents a grave offence to the dignity of that person as well as to the fundamental equality of all people... In the encounter with another person, we meet a human being who owes his existence and his proper characteristics to the love of God, and only the love of husband and wife constitutes a mediation of that love in conformity with the plan of the Creator and heavenly Father" (n. 29). With regard to cloning for medical therapy or research, it must be said that to "create embryos with the intention of destroying them, even with the intention of helping the sick, is completely incompatible with human dignity, because it makes the existence of a human being at the embryonic stage nothing more than a means to be used and destroyed. It is gravely immoral to sacrifice a human life for therapeutic ends" (n. 30). As an alternative to therapeutic cloning some researchers have proposed new techniques which are presented as capable of producing stem cells of an embryonic type without implying the destruction of true human embryos, for example, by altered nuclear transfer (ANT) or oocyte assisted reprogramming (OAR). Doubts still remain, however, "regarding the ontological status of the ‘product' obtained in this way" (n. 30).
The therapeutic use of stem cells
"Stem cells are undifferentiated cells with two basic characteristics: a) the prolonged capability of multiplying themselves while maintaining the undifferentiated state; b) the capability of producing transitory progenitor cells from which fully differentiated cells descend, for example, nerve cells, muscle cells and blood cells. Once it was experimentally verified that when stem cells are transplanted into damaged tissue they tend to promote cell growth and the regeneration of the tissue, new prospects opened for regenerative medicine, which have been the subject of great interest among researchers throughout the world" (n. 31).
For the ethical evaluation, it is necessary above all to consider the methods of obtaining stem cells.
"Methods which do not cause serious harm to the subject from whom the stem cells are taken are to be considered licit. This is generally the case when tissues are taken from: a) an adult organism; b) the blood of the umbilical cord at the time of birth; c) fetuses who have died of natural causes" (n. 32). "The obtaining of stem cells from a living human embryo...invariably causes the death of the embryo and is consequently gravely illicit... In this case, research...is not truly at the service of humanity. In fact, this research advances through the suppression of human lives that are equal in dignity to the lives of other human individuals and to the lives of the researchers themselves" (n. 32). "The use of embryonic stem cells or differentiated cells derived from them - even when these are provided by other researchers through the destruction of embryos or when such cells are commercially available - presents serious problems from the standpoint of cooperation in evil and scandal" (n. 32).
Numerous studies, however, have shown that adult stem cells give more positive results than embryonic stem cells.
Attempts at hybridization
"Recently animal oocytes have been used for reprogramming the nuclei of human somatic cells... in order to extract embryonic stem cells from the resulting embryos without having to use human oocytes" (n. 33).
"From the ethical standpoint, such procedures represent an offense against the dignity of human beings on account of the admixture of human and animal genetic elements capable of disrupting the specific identity of man" (n. 33).
The use of human "biological material" of illicit origin
For scientific research and for the production of vaccines or other products, cell lines are at times used which are the result of an illicit intervention against the life or physical integrity of a human being.
Experimentation on human embryos "constitutes a crime against their dignity as human beings who have a right to the same respect owed to a child once born, just as to every person. These forms of experimentation always constitute a grave moral disorder" (n. 34). With regard to the use of "biological material" of illicit origin by researchers, which has been produced apart from their research center or which has been obtained commercially, the moral requirement "must be safeguarded that there be no complicity in deliberate abortion and that the risk of scandal be avoided. In this regard, the criterion of independence as it has been formulated by some ethics committees is not sufficient. According to this criterion, the use of ‘biological material' of illicit origin would be ethically permissible provided there is a clear separation between those who, on the one hand, produce, freeze and cause the death of embryos and, on the other, the researchers involved in scientific experimentation". It needs to be remembered that the "duty to refuse to use such ‘biological material' springs from the necessity to remove oneself, within the area of one's own research, from a gravely unjust legal situation and to affirm with clarity the value of human life. Therefore, the above-mentioned criterion of independence is necessary, but may be ethically insufficient" (n. 35). "Of course, within this general picture there exist differing degrees of responsibility. Grave reasons may be morally proportionate to justify the use of such ‘biological material'. Thus, for example, danger to the health of children could permit parents to use a vaccine which was developed using cell lines of illicit origin, while keeping in mind that everyone has the duty to make known their disagreement and to ask that their healthcare system make other types of vaccines available. Moreover, in organizations where cell lines of illicit origin are being utilized, the responsibility of those who make the decision to use them is not the same as that of those who have no voice in such a decision" (n. 35).

© Innovative Media, Inc.
Reprinting ZENIT's articles requires written permission from the editor.

Buah Retret 2008: Memahami Kembali Sakramen Imamat bagi Hidupku

Sahabat-sahabatku,

Setelah mengikuti retret para imam bersama Fr. Fio Mascarenhas SJ dari India, 10-14 Nov 2008 di Purwokerto, saya tergugah untuk mengolah kembali pemahamanku tentang sakramen imamat. Setelah aku ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr Julianus Sunarka SJ, waktu itu, 18 Juli 2001, ternyata tidak otomatis membuat aku dapat menghayati hidup sebagai imamat secara penuh. Tidak otomatis itu letaknya bukan pada "pencurahan Roh Kudus", melainkan pada "aspek penghayatan."

Roh Kudus itu dicurahkan kepadaku oleh Allah melalui penumpangan tangan Uskup yang dipercaya oleh Gereja sebagai penerus para Rasul. Roh itu dicurahkan secara sempurna. Akan tetapi karya Roh Kudus itu "belum lengkap", karena dibutuhkan "keterlibatanku" untuk mengambil keputusan : berkomitmen terus menerus bekerjasama dengan Kristus, sang Imam Agung. Komitmen kerjasama itu hanya mungkin terjadi kalau saya hidup dalam "persekutuan dengan Roh Kudus". Bagaimana saya bersekutu dengan Roh Kudus, karena hidupku lebih suka menghindari "salib" daripada memikul salib.

"Memikul salib" itu bukan pertama-tama penderitaan fisik yang luar biasa akibat penganiayaan. Memikul salib, sebagaimana dipahami oleh Paulus dalam Flp 2:6-11, artinya, kesediaan diri untuk "dipermalukan": membiarkan diri kehilangan berbagai hak asasi sebagai manusia: hak atas masa depan, hak untuk membela diri, hak untuk mengatakan kebenaran, hak untuk berkuasa. Akan tetapi lebih dari itu, Yesus membiarkan dirinya "tidak meminta haknya sebagai Anak Allah" bahkan mengambil rupa seorang hamba " yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:6-7) Itulah inti salib: pengosongan diri.

Bagaimana saya memikul salib, padahal salib itu menjungkirbalikkan "jalan pikiran" manusia yang lebih suka menjadi anak anak dunia. Jalan pikiran dunia adalah gerak naik, yakni meraih ambisi hidup serba nikmat, ambisi diistimewakan, dipuji, populer, menjadi hebat. Sementara jalan salib adalah jalan yang menurun: jalan pengosongan diri, di mana tidak lagi mencari kesempatan untuk hidup nikmat, tidak mencari pujian, popularitas, dan menjadi hebat, serta tidak ambisi berkuasa untuk menjadi memiliki segalanya. Karena itu, saya tidak mungkin mengandalkan kekuatan diri sendiri.

Salib Tuhan yang harus kupikul itu menantang diriku untuk mengakui "keterpecahan yang ada dalam diriku": di satu sisi memiliki niat untuk memanggul salib, namun di sisi lain ada kekuatan yang menarikku untuk menghindari salib. Tegangan itu tidak lain adalah "pertempuran antara Kuasa Roh yang menghidupkan, dan kuasa roh yang mematikan". Pertempuran itu sudah dimenangkan oleh Kuasa Roh Allah sendiri yang telah membangkitkan Kristus, setelah Ia mengalami kematian bersama dengan manusia yang berdosa. Kematian Kristus di salib menjadi "persembahan kemanusiaan yang abadi di hadapan Allah Bapa". Yesus yang wafat itu hadir di hadapan Bapa sebagai pribadi yang merepresentasi manusia yang telah berdosa. Allah menerima persembahan Kristus itu dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Karena itu berkat kematian Kristus semua orang yang mati terhadap dosa, entah dari bangsa manapun, dan dari jaman kapanpun, dianugerahi harapan akan keselamatan.

Kemenangan Kristus atas pertempuran itu terjadi karena peranan Roh Kudus dalam diri-Nya, karena Roh itu tidak lain adalah Roh Allah. Maka dalam persekutuan dengan Bapa dalam Roh Kudus, Kristus menang atas maut. Kalau Kristus, Sang Imam Agung. dan sebagai Anak Sulung, telah mendahului kita memenangkan pertempuran dengan roh jahat, mengapa saya sebagai imam, kerap kali masih ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus memberiku kekuatan untuk mengatasi "keterpecahan pribadiku" sehingga aku mampu konsisten untuk memanggul salib.

Keragu-raguan itu sebenarnya tanda bahwa aku tidak sungguh sungguh percaya kepata Allah Bapa, apakah Ia sungguh mau menganugerahkan Roh-Nya. Tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, adalah sebuah sikap yang sebenarnya curiga kepada Allah. Belum memohon pun,saya sudah meragukan, apakah Allah memang mau menganugerahkan Roh Kudus itu. Dalam Lukas 11:13 Yesus menyakinkan kita, "Jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Sabda Yesus ini meneguhkan dan memberikan kemantapan: Jangan ragu ragu untuk meminta karunia Roh!"

Dengan komitmen "terbuka untuk meminta", Sakramen tidak lagi dipahami sebagai "keran air yang siap mengucurkan rahmat ilahi", melainkan Sakramen adalah sebuah tanda kehadiran kasih Allah yang menantangku untuk menjawab: buat keputusan untuk meminta Roh agar hidupku mampu memikul salib. Membuat keputusan menjadi hal yang sulit bukan main kalau ada keterikatan emosional dengan kepentingan diri, fasilitas, dan jabatan. Di situlah letaknya penghayatan imamatku ditantang: mau menjadi pribadi yang hidup untuk mempersembahkan dirinya khusus bagi Allah dan sesama, atau menjadi pribadi yang hidup bagi dirinya sendiri.

Akhirnya menjadi imam itu bukanlah sikap "menggengam tangan". Karena "menggenggam" itu berarti ada "sesuatu yang istimewa dan kupertahankan mati-matian, jangan sampai lepas dan tidak bisa kupegang lagi". Karena itu menjadi imam bagiku sekarang adalah komitmen untuk belajar membuka genggaman tanganku agar terbukalah telapak tanganku, sehingga apapun yang kugenggam boleh diambil siapapun. Dengan cara hidup seperti itu, terbukalah kesempatan untuk selalu meminta Roh Kudus agar terlibat dalam hidupku.

yang lagi belajar berproses
bslametlasmunadipr