Sabtu, 24 Januari 2009

Summary Temu Komkat Regio Jawa 20-23 Jan 2009

SUMMARY

PERTEMUAN KOMISI KATEKETIK REGIO JAWA

HENING GRIYA, 20-23 JANUARI 2009



1. Latar belakang

Temu Komkat Regio Jawa ini yang diselenggarakan di Purwokerto pada hari Selasa sampai Jumat, 20-23 Januari 2009, merupakan tindak lanjut dari hasil pertemuan di Wisma Erema, Cisarua Bogor, 22-25 Januari 2008 dan hasil PKKI IX 2008 di Manado, yang bertemakan ”KATEKESE UNTUK MASYARAKAT YANG TERTEKAN” dan hasil TEMU KOMKAT REGIO JAWA DI BOGOR merefleksikan tema PEMBERDAYAAN KATEKIS SUKARELAWAN. Hasil temu PKKI IX tersebut pada intinya sebuah jerih payah untuk menempatkan karya katekese secara kontekstual, yakni pewartaan Injil yang dapat menanggapi berbagai keprihatinan dalam hidup kemasyarakatan dan bernegara, yakni kemanusiaan, politik dan hukum. Karya katekese yang kontekstual tersebut diharapkan dapat digulirkan kepada umat beriman menurut kelompok umur: anak-anak, remaja, kaum muda dan dewasa.



Sementara hasil dari TEMU KOMKAT REGIO JAWA DI BOGOR, hasil pertemuan itu antara lain:

a. Modul materi dan metode untuk pemberdayaan katekis sukarelawan. Modul ini dapat dikembangkan oleh masing-masing Komkat Keuskupan di Regio Jawa.

b. Meningkatkan pemberdayaan bagi katekis sukarelawan oleh masing-masing Komkat keuskupan.

c. Bentuk pemberdayaan katekis sukarewalan meliputi pelatihan dasar dan bina lanjut yang bekerjasama dengan tenaga pastoral lainnya.



Hasil kedua pertemuan itu direfleksikan bersama dalam pertemuan Steering Commitee di Puh Sarang, Kediri pada bulan Juli 2008. Dalam pertemuan itulah rasanya ditemukan sebuah kebutuhan untuk mewujudkan katekese yang menyapa dan menyentuh dalam perspektif manajemen pastoral. Kebutuhan katekese itu muncul karena keprihatinan soal ketidaksinambungan karya katekese yang masih dianggap kurang bermakna (insignifikan) dan kurang relevan (irrelevansi). Di lain sisi, sebaik apapun karya katekese, dibutuhkan sebuah ”self-assesment”, yakni kemampuan pribadi katekis mengolah pribadi, agar ia pun mampu mengolah pribadinya dalam tim kerja di Komkat Keuskupannya masing masing. Dalam rangka berjerih payah untuk mewujudkan katekese yang kontekstual: menyentuh dan menyapa, lalu diadakan temu Komkat Regio Jawa di Purwokerto, dengan mengundang narasumber: Bapak Didiek Dwinarmiyadi, yang kemudian juga mengajak Bapak Adi Widyarto. Keduanya adalah staff HRD Kompas, Jakarta.



2. DATA PESERTA:

Pertemuan Temu Komkat Regio Jawa ini diikuti 46 peserta (terdiri atas: 15 orang dari Keuskupan Agung Semarang, 8 orang dari Keuskupan Surabaya, 1 orang dari Keuskupan Malang, 4 orang dari Bandung, 7 orang dari Bogor, 9 orang dari Purwokerto dan 13 orang anggota Panitia Penyelenggara), 2 narasumber dan 1 orang dari Komkat KWI. (Catatan Daftar Peserta dilampirkan)



3. POKOK-POKOK PERTEMUAN

Tema TEMU KOMKAT REGIO JAWA ini adalah ”KATEKESE YANG MENYAPA DAN MENYENTUH BERDASARKAN PERSPEKTIF MANAJEMEN PASTORAL”.

(I) Pertemuan diawali dengan sharing karya unggulan dari ketujuh keuskupan.

(II) Pelatihan analisa ”SWOT” dan ”Managemen Pastoral” didampingi oleh Bapak Didiek Dwinarmiyadi. Pelatihan tersebut dibuat dari sudut pandang para peserta sebagai anggota KOMKAT KEUSKUPAN sehingga menemukan sasaran strategis karya pastoral! Pelatihan ini sebuah usaha untuk mewujudkan katekese yang ”menyapa”: yakni menentukan sasaran strategis agar menjawab keprihatinan yang konkret ada dalam hidup umat beriman. Maka katekese yang menyapa itu digulirkan dengan

(i) menetapkan sasaran strategis,

(ii) menetapkan indikator kinerja utama

(iii) penetapan target

(iv) pembuatan program kerja

(v) penetapan waktu

(vi) perancangan biaya

(vii) penentuan tanggungjawab

(III) Sementara itu ”katekese yang menyentuh” dijelaskan oleh Bapak Adi Widyarto Ps dengan menemukan potret diri melalui metode MBTI (Myerr Briggs Type Indicators), Emotional Intelligence dan Social Intelligence dan penentuan tujuan diri yang positif dari para katekis. Diharapkan dengan adanya kekuatan positif, para katekis juga menyentuh hati jemaat yang dilayani.



4. REFLEKSI KRITIS

(i) Berbagai keprihatinan dari Komisi Kateketik di Keuskupan-Keuskupan Regio Jawa baik terhadap kehidupan umat beriman dalam menghayati panggilannya untuk mewartakan Injil, maupun kritik diri Komkat atas kinerjanya dalam keterlibatannya untuk menggulirkan visi dan misi Keuskupan, ternyata ada tantangan besar yakni MEMBUAT SEBUAH PERUBAHAN. Perubahan itu pertama-tama mendesak untuk dilaksanakan oleh staff Komisi Kateketik, agar kemudian Komkat dapat dipercaya untuk mengajak para katekis di paroki-paroki untuk membuat perubahan dalam pengolahan pribadi maupun dalam kinerjanya. Arah perubahan itu adalah mewujudkan katekese yang menyapa dan menyentuh hidup umat.

(ii) Katekese yang menyapa hidup umat itu berkaitan dengan sebuah pengolahan kinerja Komkat. Kinerja yang lama lebih kerap ditentukan oleh berbagai asumsi, yang kurang mempertimbangkan data sebagai titik tolak untuk menemukan persoalan hidup umat. Cara kerja berasumsi itu berakibat program kerja dibuat, lalu baru ditentukan tujuannya. Cara kerja macam itu kurang dapat menjawab pertanyaan, ”program kerja Komkat itu menjawab dan mengatasi persoalan yang mana?” Akibat paradigma ”asumsi” itulah, program kerja Komkat itu dianggap ”kurang relevan” dan bermakna bagi hidup umat beriman. Itulah katekese yang kurang menyapa. Karena itu diperlukan paradigma baru, yakni membuat program kerja dengan berbasis data. Data itu dapat dicari melalui kuesioner atau penelitian. Kemudian data itu diverifikasi dengan metode analisa TOWS (atau SWOT) untuk menentukan manakah ancaman (Threats), peluang (Opportunities), Strenghts (Kekuatan) dan Weakness (W). Analisa SWOT dijalankan dengan lebih dahulu menegaskan identitas diri, yakni sebagai staff KOMKAT. Dari analisa itulah ditemukan manakah prioritas sasaran strategis, sebagai titik pijak untuk membuat program kerja. Dengan cara demikian, program kerja Komkat diharapkan akuntabel (tanggung gugat) dan kredibel (dapat dipercaya).

(iii) Di lain pihak, program kerja Komkat yang akuntabel dan kredibel itu tidak akan ”menyentuh” hidup umat beriman kalau para katekis kurang memiliki karakter yang kuat, artinya kemampuan mengolah pribadi baik emosi, pikiran maupun kehendak bebasnya. Pengolahan itu dibantu dengan metode MBTI (Myerr Briggs Tipe Indicators), pendekatan Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence) dan pendekatan Kecerdasan Sosial (Sociological Intelligence). Dengan pengolahan pribadi yang optimal akhirnya diharapkan para katekis memiliki niat pribadi yang luhur.

(iv) Dengan menggunakan kedua ilmu profan: management dan psikologi, kita para katekis ditantang untuk mewujudkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, yakni (a) memiliki komitmen diri yang mantap sebagai katekis sehingga pribadinya dapat dipercaya, (b) memiliki jalan pemikiran yang masuk akal dan terbuka untuk dipertanggungjawabkan dan (c) memiliki kompetensi diri yang mampu berelasi dengan berbagai macam pihak,yakni umat beriman dan masyarakat umum.

(v) Dengan memiliki komitmen diri, jalan pikiran yang masuk akal, maupun ketrampilannya membangun relasi yang baik dengan siapapun, para katekis sebenarnya ditantang untuk mewujudkan tugas perutusannya untuk pertama-tama bukan membaptis melainkan untuk mewartakan Injil (bdk 1 Kor 1:17). Injil, Kabar Gembira itu bicara soal Kerajaan Allah. ”Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh (Rm 4:17) Damai dan sukacita itu ditandai dengan hidup yang jujur dan penuh kasih kepada Allah dan sesama.

(vi) Pribadi yang jujur dan penuh kasih kepada Allah dan sesama itu adalah pribadi yang dapat dipercaya. Kredibilitas para katekis terletak bukan pada konsistensi pengajarannya saja, melainkan pada praksis hidup sehari-hari yang menunjukkan konsistensi antara ”apa yang diajarkan” dan ”apa yang dibuatnya”. Konsistensi itulah yang menentukan akhirnya bahwa ”pribadi dan hidup katekis” itu sendiri dapat menjadi metode pewartaan Injil yang paling bernilai (bdk. Pedoman Katekese). Dengan kata lain, para katekis dipanggil menjadi saksi iman, yakni berperan sebagai ”perantara” antara Allah dan manusia, serta sebailiknya (bdk Pedoman Katekese)

(vii) Tugas perutusan itu tidak mampu dijalankan oleh para katekis dengan mengandalkan diri sendiri, karena meskipun kita tahu apa yang baik, kita pun kerap kali memilih tindakan yang tidak searah dengan kehendak Tuhan. Itulah tegangan yang ada dalam pribadi manusia, termasuk katekis sekalipun. Tegangan itu terjadi karena ada kecenderungan dosa. Kecenderungan dosa itu tidak lain adalah godaan untuk mencari berbagai kemudahan hidup dan menghindari proses dan cepat ingin mengubah orang lain, godaan untuk mencari popularitas yang dikatakan sebagai orang hebat dan godaan untuk menguasai orang lain. Itulah jalan pikiran dunia yang berkebalikan dengan jalan pikiran Allah yang menuntut jalan perendahan diri, yakni pengosongan diri.

(viii) Pengosongan diri itu berarti kerelaan untuk tidak mencari kepuasan maupun reputasi diri dalam pengajaran. Bukankah Yesus sudah mendahului kita, yakni membiarkan diri-Nya dipermalukan, dan tidak mempertahankan reputasi-Nya yang setara dengan Allah? ”Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (Flp 2:5-8)

(ix) Dengan kehilangan reputasi, orang akan memasuki hidup dalam ”kegelisahan, ketidaknyamanan, dan ketidakpastian”. Dalam situasi itulah para katekis ditantang untuk memindahkan pusat andalan hidup dan karyanya dari diri sendiri kepada Allah. Allah yang hadir dalam diri kita, tidak lain adalah Roh Kudus yang senantiasa memberikan keutamaan bijaksana. Namun Roh Kudus itu tidak otomatis dianugerahkan kalau kita tidak meminta-Nya. Namun Yesus menjamin, Allah Bapa akan menganugerahkan Roh-Nya kalau kita meminta-Nya. ”Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Luk 11:13)

(x) Dengan spiritualitas pengosongan diri (kenosis) itulah, para katekis ditantang untuk mewujudkan perannya sebagai ”perantara” antara Allah dengan manusia, yakni dengan bekerja secara benar (managemen pastoral) dan bekerja dalam kebenaran (bersumber pada Kitab Suci, Ajaran Gereja dan Tradisi Suci). Dengan mewujudkan perannya sebagai ”perantara”, para katekis berpartisipasi dalam Gereja universal untuk mewariskan iman dari generasi ke generasi, sehingga ”depositum fidei” (kekayaan Iman) itu terus menerus diwartakan dalam usaha kontekstualiasi dengan situasi konkret hidup orang beriman.



V. HARAPAN

Peranan katekis sebagai ”perantara” itu ternyata tidak otomatis dapat diwujudkan dalam kinerja yang benar dan dalam prinsip yang benar, melainkan dibutuhkan sebuah ”on going formation” (bina lanjut) untuk para katekis. On going formation itulah yang menjadi kerinduan para peserta. On Going Formation itu mencakup antara lain: memperdalam managemen pastoral (khas katekese), managemen konflik, pendidikan humanis, pengolahan motivasi (komitmen), dan pembuatan data tentang persoalan umat. Dengan kerinduan untuk menjalani ”on going formation”, ada harapan besar, bahwa para katekis semakin mampu menjadi ”jantung Gereja”. Semoga ada banyak kejutan baru dalam Temu Regio Jawa mendatang!



Berkat Tuhan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buah Retret 2008: Memahami Kembali Sakramen Imamat bagi Hidupku

Sahabat-sahabatku,

Setelah mengikuti retret para imam bersama Fr. Fio Mascarenhas SJ dari India, 10-14 Nov 2008 di Purwokerto, saya tergugah untuk mengolah kembali pemahamanku tentang sakramen imamat. Setelah aku ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr Julianus Sunarka SJ, waktu itu, 18 Juli 2001, ternyata tidak otomatis membuat aku dapat menghayati hidup sebagai imamat secara penuh. Tidak otomatis itu letaknya bukan pada "pencurahan Roh Kudus", melainkan pada "aspek penghayatan."

Roh Kudus itu dicurahkan kepadaku oleh Allah melalui penumpangan tangan Uskup yang dipercaya oleh Gereja sebagai penerus para Rasul. Roh itu dicurahkan secara sempurna. Akan tetapi karya Roh Kudus itu "belum lengkap", karena dibutuhkan "keterlibatanku" untuk mengambil keputusan : berkomitmen terus menerus bekerjasama dengan Kristus, sang Imam Agung. Komitmen kerjasama itu hanya mungkin terjadi kalau saya hidup dalam "persekutuan dengan Roh Kudus". Bagaimana saya bersekutu dengan Roh Kudus, karena hidupku lebih suka menghindari "salib" daripada memikul salib.

"Memikul salib" itu bukan pertama-tama penderitaan fisik yang luar biasa akibat penganiayaan. Memikul salib, sebagaimana dipahami oleh Paulus dalam Flp 2:6-11, artinya, kesediaan diri untuk "dipermalukan": membiarkan diri kehilangan berbagai hak asasi sebagai manusia: hak atas masa depan, hak untuk membela diri, hak untuk mengatakan kebenaran, hak untuk berkuasa. Akan tetapi lebih dari itu, Yesus membiarkan dirinya "tidak meminta haknya sebagai Anak Allah" bahkan mengambil rupa seorang hamba " yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:6-7) Itulah inti salib: pengosongan diri.

Bagaimana saya memikul salib, padahal salib itu menjungkirbalikkan "jalan pikiran" manusia yang lebih suka menjadi anak anak dunia. Jalan pikiran dunia adalah gerak naik, yakni meraih ambisi hidup serba nikmat, ambisi diistimewakan, dipuji, populer, menjadi hebat. Sementara jalan salib adalah jalan yang menurun: jalan pengosongan diri, di mana tidak lagi mencari kesempatan untuk hidup nikmat, tidak mencari pujian, popularitas, dan menjadi hebat, serta tidak ambisi berkuasa untuk menjadi memiliki segalanya. Karena itu, saya tidak mungkin mengandalkan kekuatan diri sendiri.

Salib Tuhan yang harus kupikul itu menantang diriku untuk mengakui "keterpecahan yang ada dalam diriku": di satu sisi memiliki niat untuk memanggul salib, namun di sisi lain ada kekuatan yang menarikku untuk menghindari salib. Tegangan itu tidak lain adalah "pertempuran antara Kuasa Roh yang menghidupkan, dan kuasa roh yang mematikan". Pertempuran itu sudah dimenangkan oleh Kuasa Roh Allah sendiri yang telah membangkitkan Kristus, setelah Ia mengalami kematian bersama dengan manusia yang berdosa. Kematian Kristus di salib menjadi "persembahan kemanusiaan yang abadi di hadapan Allah Bapa". Yesus yang wafat itu hadir di hadapan Bapa sebagai pribadi yang merepresentasi manusia yang telah berdosa. Allah menerima persembahan Kristus itu dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Karena itu berkat kematian Kristus semua orang yang mati terhadap dosa, entah dari bangsa manapun, dan dari jaman kapanpun, dianugerahi harapan akan keselamatan.

Kemenangan Kristus atas pertempuran itu terjadi karena peranan Roh Kudus dalam diri-Nya, karena Roh itu tidak lain adalah Roh Allah. Maka dalam persekutuan dengan Bapa dalam Roh Kudus, Kristus menang atas maut. Kalau Kristus, Sang Imam Agung. dan sebagai Anak Sulung, telah mendahului kita memenangkan pertempuran dengan roh jahat, mengapa saya sebagai imam, kerap kali masih ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus memberiku kekuatan untuk mengatasi "keterpecahan pribadiku" sehingga aku mampu konsisten untuk memanggul salib.

Keragu-raguan itu sebenarnya tanda bahwa aku tidak sungguh sungguh percaya kepata Allah Bapa, apakah Ia sungguh mau menganugerahkan Roh-Nya. Tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, adalah sebuah sikap yang sebenarnya curiga kepada Allah. Belum memohon pun,saya sudah meragukan, apakah Allah memang mau menganugerahkan Roh Kudus itu. Dalam Lukas 11:13 Yesus menyakinkan kita, "Jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Sabda Yesus ini meneguhkan dan memberikan kemantapan: Jangan ragu ragu untuk meminta karunia Roh!"

Dengan komitmen "terbuka untuk meminta", Sakramen tidak lagi dipahami sebagai "keran air yang siap mengucurkan rahmat ilahi", melainkan Sakramen adalah sebuah tanda kehadiran kasih Allah yang menantangku untuk menjawab: buat keputusan untuk meminta Roh agar hidupku mampu memikul salib. Membuat keputusan menjadi hal yang sulit bukan main kalau ada keterikatan emosional dengan kepentingan diri, fasilitas, dan jabatan. Di situlah letaknya penghayatan imamatku ditantang: mau menjadi pribadi yang hidup untuk mempersembahkan dirinya khusus bagi Allah dan sesama, atau menjadi pribadi yang hidup bagi dirinya sendiri.

Akhirnya menjadi imam itu bukanlah sikap "menggengam tangan". Karena "menggenggam" itu berarti ada "sesuatu yang istimewa dan kupertahankan mati-matian, jangan sampai lepas dan tidak bisa kupegang lagi". Karena itu menjadi imam bagiku sekarang adalah komitmen untuk belajar membuka genggaman tanganku agar terbukalah telapak tanganku, sehingga apapun yang kugenggam boleh diambil siapapun. Dengan cara hidup seperti itu, terbukalah kesempatan untuk selalu meminta Roh Kudus agar terlibat dalam hidupku.

yang lagi belajar berproses
bslametlasmunadipr