Sabtu, 13 Desember 2008

Pemikiran Dasar APP 2009

BAGIAN I
“BERAGAMA DAN BERIMAN :
MENGEMBANGKAN KESEJAHTERAAN HIDUP”

Pada hari Rabu, 25 Februari 2009, umat katolik seluruh dunia akan memasuki masa prapaskah sebagai persiapan untuk merayakan puncak iman kristiani yakni misteri penderitaan, wafat dan kebangkitan Tuhan. “Masa Prapaskah tahunan adalah masa rahmat, karena kita mendaki Gunung Suci Hari Raya Paskah. Masa Prapaskah mempunyai tugas ganda, yakni mempersiapkan para katekumen dan kaum beriman untuk perayaan misteri Paskah. Para calon dihantar oleh perayaan pemilihan katekumen, oleh perayaan tobat dan pengajaran untuk menghayati sakramen-sakramen inisiasi, sementara itu kaum beriman harus lebih rajin mendengarkan sabda Allah dan berdoa dan mempersiapkan diri dengan tobat atas pembaharuan janji baptis.”
Dalam rangka mempersiapkan perayaan Paskah dengan mendengarkan Sabda Allah, berdoa dan bertobat itulah, dibutuhkan sebuah katekese yang mengantar orang beriman sampai pada misteri Paskah. Katekese yang akan kita jalani dalam kebersamaan di komunitas-komunitas basis dalam tahun ini bertemakan, “Beragama dan Beriman: Mengembangkan Kesejahteraan Hidup”. Untuk menggulirkan tema itu, kita akan mendalami beberapa hal sbb.:
I. Misi Gereja yang pertama dan terutama
II. Kredibilitas jati diri Gereja di tengah dunia
III. Cara hidup Gereja sebagai “communio”
IV. Tema APP 2009 “Beragama dan Beriman: Mengembangkan Kesejahteraan Hidup”

1. Misi Gereja yang pertama & terutama
Misi Gereja yang pertama dan utama adalah menjadi tanda dan sarana keselamatan bagi dunia (bdk KV LG art.1). Berperan sebagai tanda dan keselamatan bagi dunia, tidaklah berarti Gereja mencari anggota sebanyak-banyaknya melainkan peran itu diwujudkan dengan memberitakan Injil. Tekanan misi Gereja itu sudah ditegaskan oleh Santo Paulus dalam Surat Pertama kepada Jemaat di Korintus, “Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil” (1Kor 1:17). Apakah artinya memberitakan Injil?
Paus Paulus VI menegaskan Ensiklik Evangelii Nuntiandi (1975), “Tujuan Gereja mewartakan Injil, artinya mewartakan dan mengajarkan sabda Allah, menjadi saluran anugerah rahmat-Nya, mendamaikan orang berdosa dengan Allah, dan meneruskan pengorbanan Kristus dalam Ekaristi, yang adalah pengenangan akan wafat dan kebangkitan-Nya.” (EN. 45), sebab jemaat kristiani tidak pernah tertutup pada dirinya sendiri. Jemaat Kristiani adalah persekutuan mereka, yang dengan ikhlas menerima Kabar Gembira dan “atas dasar Kabar Gembira itulah” dan karena iman bersama, berhimpun dalam nama Yesus supaya bersama-sama mereka mencari Kerajaan Allah! (EN.13). Penegasan isi Kabar Gembira ini meneguhkan visi Keuskupan Purwokerto, “Keuskupan Purwokerto adalah persekutuan Umat Beriman Katolik, yang dalam kesatuannya dengan Gereja Katolik sedunia, khususnya Indonesia,dan dalam kerjasama dengan umat setempat yang berkeyakinan lain, terpanggil untuk memelopori semakin tegaknya Kerajaan Allah dengan memperjuangkan dan menghayati nilai-nilai luhur kemanusiaan. Manakah wajah Kerajaan Allah yang mau kita tampilkan kepada dunia? Kerajaan Allah yang dipahami St. Paulus, “… bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.” (Rm 14:17)

Agar visi itu menjadi kenyataan Mgr Julianus Sunarka mencanangkan 6 misi yakni:
(i) Memperkuat iman umat Katolik
(ii) Mengembangkan Komunitas Basis Gerejani di kota dan desa.
(iii) Menyelenggarakan pendidikan kaum muda yang manusiawi dan kristiani.
(iv) Memperhatikan dan memberdayakan kelompok miskin dan tersingkir.
(v) Melakukan dialog antar umat beriman.
(vi) Mengembangkan Komunitas Basis Kemanusiaan.

Pelaksanaan atas keenam misi itu menentukan kesejatian hidup Gereja Keuskupan Purwokerto, yang “dapat dipercaya di tengah dunia, terutama di tengah masyarakat Jawa Tengah, sampai di tengah bangsa dan negara Indonesia.

II. Kredibilitas Jatidiri Gereja secara internal
Kesejatian hidup tidak lain pada pokoknya menjawab pertanyaan, “Manakah kredibilitas Gereja di tengah dunia?” Kredibilitas Gereja di tengah dunia tidak hanya ditentukan oleh pelaksanaan salah satu peran umat beriman yang diterima dalam saat pembaptisan, yakni menjadi imam, nabi dan raja.
Ketiga peran itu tidak terpisahkan satu sama lain,melainkan dilaksanakan dalam satu keutuhan sikap dan tindakan. Orang beriman tidak bisa hanya berperan sebagai imam, yang khusus menjadi pendoa, tanpa berperan sebagai seorang “raja” yang dengan murah hati mau terlibat dalam kesulitan hidup sesama. Akibatnya orang bisa kelihatan saleh hidupnya dari sisi penampilan, tetapi kurang memiliki jiwa murah hati. Bagaimana oranga bisa tergerak untuk bermurah hati dalam pelayanan, kalau tidak pernah mendengarkan sabda Tuhan. Maka, seorang pendoa ditantang untuk “mendengarkan Sabda” dan melaksanakannya, agar tidak terjadi kemunafikan. Berseru “Tuhan, Tuhan” tetapi diam saja ketika menghadapi orang yang berada dalam kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Itulah sebabnya begitu keras Yesus mengritik orang Farisi, “ Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21). Demikianlah juga, tidak ada artinya sama sekali kalau perbuatan saleh yang kita buat, misalnya,kemurahan hati dalam pelayanan kepada orang miskin sekalipun dsb- dikerjakan demi kepentingan untuk mencari popularitas dan kepuasan batin. Apalagi kalau “perbuatan saleh itu” digunakan dengan motivasi untuk kepentingan dalam kemudahan menguasai orang lain.
Jadi, ketiga peran sebagai imam, nabi dan raja, yang tidak dilaksanakan secara utuh, memungkinkan terbentuknya mentalitas formalisme agama, yang makin subur. Formalisme agama yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan beriman membuat Gereja makin sulit “dipercaya” jati dirinya! Maka pertanyaannya adalah bagaimanakah Gereja sebagai “communio” mampu menampilkan “kesejatian hidup” sungguh sungguh di tengah-tengah dunia, sehingga terwujudlah Gereja sebagai tanda dan sarana Keselamatan bagi dunia (LG art.1, bdk. GS art.1)?


III. Kredibilitas Gereja sebagai “communio” yang menampilkan kredibilitas jati dirinya di tengah dunia (eksternal)

Gereja sebagai “communio”, adalah persekutuan umat beriman akan Kristus, diikat dan dijiwai oleh Roh Kudus. Artinya persekutuan orang beriman yang masih di dunia ini bukan sekedar sebuah “perkumpulan manusia” biasa, atau sekedar lembaga swadaya masyarakat yang peduli kepada orang miskin, akan tetapi sebuah “institusi” yang manusiawi sekaligus ilahi. Sifat manusiawinya ada pada diri orang beriman yang masih berziarah di dunia ini masih memiliki berbagai macam kelemahan. Namun juga Gereja bersifat ilahi karena Kristuslah kepalanya, sehingga Gereja pun dikatakan “Tubuh Mistik-Nya”. Karena sebagai “Tubuh mistik”, Gereja dijiwai dan dihidupi oleh Roh Yesus itu sendiri, yakni Roh Allah juga.
Sebagai Tubuh Mistik Kristus, Gereja menampilkan jatidirinya di tengah dunia dengan berpihak kepada orang miskin, “option for the poor”. Opsi ini berarti memikul tanggung jawab sosial berhadapan dengan masalah sosial dunia yang raksasa, pilihan tersebut terlaksana dalam perjjuangan demi keadilan suaahya mereka yang sampai sekaranga belum mendapat kesempatan, ikut berpartisipasi dalam kekayaan dunia dan dalam keputusan politik.
Opsi inilah yang juga menentukan “kredibilitas” hidup pewartaan Gereja. Dalam Centessimus Annus, Yohanes Paulus II mengatakan, “Gereja dewasa ini lebih daripada dulu yakin bahwa pewartaannya yang sosial memperoleh kredibilitas lebih dalam kesaksian praktek dari pada dalam konsistensi ajarannya. Karena yakin akan hal itu tumbuhlah juga suatu preferential option for the poor yang tak pernah mengesampingkan atau mendisk yriminasikan kelompok-kelompok lain. Kasih pada orang miskin itu merupakan unsur dalam seluruh tradisi Gereja dan mendorong Gereja untuk menghadapi dunia, di mana kendati segala kemajuan teknis ekonomis kemiskinan memperoleh wujud raksasa. Kasih pada manusia dan terutama pada orang miskin (dalam siapa Gereja melihat Kristus) mendapat wujud konkret dalam memperjuangkan keadilan, yaitu usaha untuk membuka bagi bangsa-bangsa akses pada perkembangan ekonomis dan manusiawi.”
Dengan berpangkal pada ASG itu, APP 2009 melanjutkan APP 2008. Keadilan yang diperjuangkan tidak terbatas pada lingkungan hidup, melainkan dalam APP ini mengembangkan keadilan utnuk orang miskin agar kesejatian hidup Gereja juga tampil, terutama dalam kebersamaan dengan orang beriman lainnya.
Secara singkat APP tahun 2008, kesejatian hidup Gereja ditampilkan dalam kepedulian terhadap lingkungan hidup. Kepedulian itu berakar pada keprihatinan akan gejala “Global Warming” yang mengancam hidup manusia. Maka Gereja berusaha keras untuk menggerakkan umat beriman agar menyadari situasi lingkungan hidup yang sangat memprihatinkan baik berbagai macam bencana alam akibat “global warming” dan menyangkut soal pencemaran terhadap sumber-sumber air dan terhadap udara yang kita hirup serta tanah yang menjadi sumber pertumbuhan untuk manusia dan hewan.
Keprihatinan itu menantang orang beriman untuk memelihara fungsi air, udara dan tanah sebagaimana mestinya demi kepentingan kesejahteraan hidup manusia. Tanggapan atas keprihatinan itu ternyata ditindaklanjuti sebagian besar paroki di Keuskupan Purwokerto. Pertanyaannya adalah “manakah keterkaitan antara tema APP 2008 yang memfokuskan diri pada keprihatinan atas lingkungan hidup itu dengan tema APP 2009,” Beragama dan Beriman : Mengembangkan Kesejahteraan Hidup”?

IV. Tema APP 2009 “Beragama dan Beriman: Mengembangkan Kesejahteraan Hidup” ,
Kaitan antara tema APP 2008 dan 2009 terletak pada kesamaannya, maupun pada perbedaannya.

IV.1. Kesamaan tema APP 2008-2009
Kesamaan itu dapat kita lihat dalam konteks 5 tahunan tema APP yang berfokus pada “KESEJATIAN HIDUP”. Kesejatian hidup orang beriman, bergerak dari keprihatinan akan fungsi lingkungan hidup yang telah mengalami begitu banyak kerusakan, menuju kepada keprihatinan akan kehidupan orang miskin (lemah,kecil dan tersingkir juga), yang kurang mampu memberdayakan dirinya sendiri untuk berjuang hidup di tengah dunia. Kekurangmampuan memberdayakan diri itu juga salah satunya terjadi akibat kerusakan lingkungan hidup.
Kerusakan lingkungan hidup terjadi akibat relasi yang tidak seimbang antara 3 poros dalam masyarakat: kaum kapitalis (yang memiliki otoritas memegang kendali jaringan ekonomi dunia), masyarakat birokrat (pemerintahan) dan masyarakat sipil. Kaum kapitalis hanya dapat menjalankan kendali karena dilegitimasi oleh berbagai macam undang-undang dan peraturan yang memungkinkan mereka memegang kekuasaan terhadap sumber-sumber hajat hidup orang banyak. Pembuat undang-undang itu mau mengesahkan dan menggulirkan demi “jasa para kapitalis”. Akhirnya “masyarakat sipil”-lah yang menjadi korban atas pelaksanaan undang undang yang “tidak mempertimbangkan” efeknya bagi keberlangsungan hidup masyarakat, yang sebagian besar miskin di dunia ini, tidak terkecuali masyarakat miskin di Keuskupan Purwokerto ini, yang melingkupi 12 kabupaten di Jawa Tengah.
Terhadap situasi “ketiga poros” itu siapa yang dapat mengatasi dan mencari solusinya? Mungkin bisa jadi usaha solusi itu tinggal sebuah pertanyaan karena kita berhadapan dengan “raksasa struktur ketidakadilan” yang tidak lagi dapat diurai akar masalahnya. Keterbatasan untuk mengurai masalah ketidakadilan dapat menggoda kita menjadi orang putus asa dan acuh tak acuh terhadap kenyataan yang memprihatinkan itu.
Godaan menjadi putus asa dan acuh tak acuh inilah yang sebenarnya “menjadi titik balik” kita untuk “BERGERAK, BANGKIT, BERJALAN, LALU BERBUAT APAPUN” agar orang miskin mampu memiliki KESEMPATAN UNTUK MEMBERDAYAKAN DIRINYA. Kesempatan pemberdayaan diri tidak mungkin terjadi tanpa sebuah “JARINGAN RELASI ANTAR PRIBADI ANTAR ORANG BERIMAN”. “Jaringan relasi” itu tidak lain adalah sebuah proses membangun “KOMUNITAS BASIS MANUSIAWI”. Mengapa kita tidak cukup membangun jaringan relasi intern umat beriman kristiani?
Tidak lain alasan pertama adalah karena orang miskin yang kita hadapi adalah orang yang membutuhkan “HIDUP YANG LAYAK DAN SEJAHTERA”! Karena target pelayanan itu adalah HIDUP yang layak dan sejahtera, pemberdayaan orang miskin semestinya mencakup lintas agama, bahkan lintas bahasa, golongan dan budaya!
Alasan kedua, mereka yang tidak seiman dengan kita juga dengan suara hatinya terarah kepada Allah untuk berjuang hidup dengan benar agar memperoleh keselamatan.

IV.2. Perbedaan & Kesinambungan Tema APP 2009

Dengan cakrawala pemikiran itu, maksud dan tujuan tema APP 2009 “Beragama dan Beriman : Mengembangkan Kesejahteraan Hidup” , agar umat Katolik menyadari tanggung jawab untuk memberdayakan hidup keagamaan dan penghayatan iman dalam hubungan antar umat beriman untuk mengembangkan kesejahteraan hidup bersama. Hasil yang akan dicapai dengan tujuan tersebut adalah :
1. Penghayatan hidup keagamaan umat yang tampak dalam perwujudan iman di tengah-tengah realitas hidup masyarakat.
2. Memiliki kesadaran dan tanggung jawab bersama untuk ikut mengatasi kemiskinan dan keterpurukan masyarakat.
3. Dapat bekerjasama dalam memperjuangkan kesejahteraan hidup masyarakat (orang-orang tak berdaya/miskin).

Pertanyaannya adalah, bagaimanakah kita berjerih payah untuk mencapai tujuan tema APP 2009 ini: “
Umat Katolik menyadari tanggung jawab untuk memberdayakan hidup keagamaan dan penghayatan iman dalam hubungan antar umat beriman untuk mengembangkan kesejahteraan hidup bersama.
Dari tujuan itu terdapat 2 hal yang mau dicapai,

A. TANGGUNG JAWAB PEMBERDAYAAN HIDUP KEAGAMAAN dan
B. MENGHAYATI IMAN DALAM RELASI ANTAR UMAT BERIMAN DEMI KEPENTINGAN UNTUK MENGEMBANGKAN KESEJAHTERAAN HIDUP BERSAMA

IV.2.1 TANGGUNG JAWAB PEMBERDAYAAN HIDUP KEAGAMAAN

Tanggung jawab pemberdayaan hidup keagamaan itu tidak terletak hanya pada hirarki melainkan juga terletak pada umat beriman seluruhnya. Demikian pula, hidup keagamaan bukan sekedar penghayatan iman dalam sebuah lembaga. Bila lembaga menjadi “lingkup utama penghayatan, maka besar kemungkinan, agama tidak lagi bersifat personal, melainkan bersifat “communalistis dan uniformistis” (berciri mutlak kebersamaan dan keseragaman dalam aspek identitas diri yang lahiriah saja). Maka penghayatan agama semacam itu akhirnya jatuh pada “formalisme agama”. Agar “mentalitas formalisme agama” dapat dihambat perkembangannya, dibutuhkan sebuah penghayatan keagamaan yang memperhatikan pula aspek PERSONAL, namun juga COMMUNAL.
Dengan kata lain, pemberdayaan hidup keagamaan yang menuntut KETERLIBATAN PRIBADI dalam relasinya dengan Allah adalah ciri khas HIDUP BERIMAN. Karena orang yang memutuskan bahwa dirinya percaya kepada Allah, dibutuhkan kesediaan untuk menyerahkan kebebasan dan kehendaknya kepada-Nya. “Menyerahkan kebebasan dan kehendak kepada Allah” bukanlah sebuah sikap pasif melainkan sebuah sikap aktif, karena ia rela memperlakukan “kebebasannya untuk digunakan” demi KEPENTINGAN ALLAH.
Kepentingan Allah adalah “menyelamatkan manusia tanpa batas golongan dan tanpa batas waktu”. Kepentingan itu telah dituntaskan secara sempurna oleh Yesus Kristus, Putera Tunggal-Nya dengan misteri wafat dan kebangkitan-Nya pada hari yang ketiga. Namun keselamatan itu belum sempurna karena Kristus belum hadir kedua kalinya. Kehadiran Kristus yang kedua bagaikan pencuri yang tidak kita ketahui kapan datangnya. Maka dalam “ketidaktahuan” itu, di satu sisi, kita mengalami ketidakpastian hidup, namun di sisi lain, ketidaktahuan dan ketidakpastian itu menantang kita untuk menjawab panggilan Tuhan. Tuhan menghendaki kita mencintai diri-Nya dan sesama dalam kebebasan sebagai anak Allah, bukan sebagai “budak” yang takut pada tuannya.
Jadi, ketidaktahuan akan datangnya hari Tuhan itu menggerakkan kita menjawab panggilan-Nya untuk bebas menentukan arah hidup kita: kebebasan kita mau digunakan untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap kekuatan dan mengasihi sesama seperti Allah mengasihi, atau sebaliknya malah kita menyalahgunakan kebebasan dalam dosa (bdk Gal 5). Persoalannya adalah (1) bagaimanakah mengasihi Allah dan (2) bagaimanakah mengasihi sesama?

Ad.(1) Bagaimanakah mengasihi Allah?
Mengasihi Allah tidak identik dengan berdoa, melainkan sebuah sikap batin yang terus menerus bersedia “bekerjasama dengan Allah” dalam segala hal. Artinya sebagai orang beriman mesti belajar untuk lagi lagi “TIDAK MENCURIGAI ALLAH” melainkan belajar mengakui kebenaran bahwa Allah memiliki kehendak bebas untuk mencintai manusia. Kesadaran menghargai kehendak bebas Allah itu berakar pada status diri kitas sebagai “ANAK ALLAH & AHLI WARIS-NYA”.
Sikap batin yang mencurigai Allah antara lain berbagai bentuk gaya hidup yang “mempertanyakan dan meragukan peranan Allah, “Kenapa Allah diam saja, ketika ada gempa bumi? Di manakah Tuhan, ketika terjadi tsunami, mengapa Tuhan membiarkan kami menderita. Atau kita berdoa novena dan rosario, tapi dengan motivasi “agar Allah mengabulkan permohonanku”; Kenapa tidak ada perubahan nasib dalam keluargaku, padahal aku sudah berdoa secara khusus untuk mohon rejeki, tetapi kenyataannya sama saja!”
Di balik berbagai pertanyaan yang menggugat Allah itu termuat sebuah “kerinduan untuk mencari Allah yang sebenarnya!”. Akan tetapi kerinduan yang berwajah negatif itu dapat diubah lain sama sekali, kalau kita memperlakukan diri sebagai anak Allah dan ahli waris-Nya. Sebagai anak Allah, akhirnya cara berelasi kita dengan Bapa tentu berbeda, kalau kita menganggap diri sebagai “hamba” yang memiliki tuan yang kejam. Sebagai anak Allah, kita telah dianugerahi kemerdekaan untuk mewariskan “kekayaan cinta-Nya yang begitu luas dan dalam” kepada sesamanya. Mewariskan kekayaan Bapa, tidak lain caranya adalah dengan “mengasihi sesama”. Dalam arti itulah, akhirnya, tidaklah mungkin orang mengatakan bahwa dirnya mengasihi Allah tanpa mengasihi sesamanya (bdk 1 Yoh 4:20)

Ad (2) Mengasihi sesama
Dengan bertitik tolak dari Surat Yohanes di atas mengasihi Allah tidak terpisahkan dari mengasihi sesama. Mengasihi sesama ukurannya tidak hanya “seperti diri sendiri” melainkan terlebih dan terutama ukurannya “seperti Allah mengasihi” (Yoh 15). Karena kitalah yang diberi kepercayaan untuk mengasihi sesama, tentulah “kasih terhadap sesama” juga berpangkal pada jati diri kita sebagai anak Allah.
Sebagai anak Allah, kita memandang “sesama sebagai saudara”, termasuk musuh kita sekalipun, apalagi orang miskin. Orang miskin itulah yang menjadi pusat perhatian Gereja untuk diperhatikan. Tentulah kriteria orang miskin dapat diperdebatkan dari berbagai macam aspek. Akan tetapi, paling pokok orang miskin adalah mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk memberdayakan diri sehingga sulitlah bagi mereka juga untuk mencapai kesejahteraan hidup yang layak.
Untuk mencapai kesejahteran umum itu dibutuhkan jaringan kerjasama antar berbagai pihak, dengan orang miskin itu sendiri dan berbagai pihak yang “bersangkutan”. Siapakah yang bersangkutan terlibat untuk menciptakan “jaringan yang memungkinkan orang miskin” mendapatkan kesempatan untuk memberdayakan orang miskin? Jaringan itu semestinya dibentuk antar komunitas lintas keyakinan dan kepercayaan, lintas kelompok dan lintas budaya, karena persoalan orang miskin bukan semata-mata berakar pada diri orang miskin, melainkan mereka menjadi “korban” struktur masyarakat yang tidak adil, dari berbagai aspek kehidupan: ideologi, politik,sosial ekonomi, sosio-budaya. Karena itu, situasi masyarakat yang diwarnai ketidakadilan menjadi “saat penuh rahmat” untuk menghayati iman kita dalam relasi dengan umat beriman lainnya.

IV.2.2 MENGHAYATI IMAN DALAM RELASI ANTAR UMAT BERIMAN DEMI KEPENTINGAN UNTUK MENGEMBANGKAN KESEJAHTERAAN HIDUP BERSAMA

Situasi “ketidakadilan” dalam masyarakat yang menyebabkan orang miskin tidak lagi memiliki kesempatan memberdayakan dirinya sebagai manusia yang utuh, harus dilihat sebagai “kesempatan” untuk menjalin relasi antar umat beriman, sehingga terwujudlah “ budaya adil”, yang diwarnai “kesejahtaran hidup bersama” dan “bhinneka tunggal ika”.
Keadilan itu mengandaikan penghayatan nilai-nilai sosial hidup bersama, yakni :(1) hormat atas martabat pribadi manusia, (2) prinsip subdiaritas, yang tidak mengambil alih kemampuan pihak yang lemah untuk menentukan hidupnya sendiri dan (3) prinsip solidaritas: berkanjang dalam kesulitan hidup bersama seraya turut mencari jalan keluar dan (4) bonum commune: kesejahteraan umum, yakni “Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum ialah: keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi-aspirasi kelompok-kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan umum segenap keluarga manusia
Dengan mengalami kesejahteraan umum itu, orang akan mengembangkan diri sebagai manusia yang utuh apabila mampu untuk memberikan dirinya.
Dengan membangun “budaya adil”, tumbuhlah perkembangan “budaya bhineka tunggal ika”: di mana perbedaan pelbagai keyakinan dan kepercayaan tidak lagi menjadi persoalan yang diperdebatkan, bahkan menjadi “ajang” untuk bersaing saling menang sendiri, melainkan perbedaan itu mestinya memperkaya untuk membangun “dunia yang makin berwajah manusiawi, yakni berwajah keadilan dan kesejahteraan”. Di situlah letaknya terjadi “titik pertemuan antara orang beriman kristiani dan orang beriman lain”. Titik temu itulah yang memungkinkan untuk merintis “pertumbuhan kesejatian hidup beriman”.
Dengan demikian, tanggung jawab kita dalam menghayati iman bersama dengan umat beriman lain, bertitik tolak dari “martabat diri kita sebagai anak Allah.” Sebagai anak Allah kita memandang semua orang telah “mengalami keselamatan” berkat wafat dan kebangkitan Tuhan. Akan tetapi kebenaran akan keselamatan dari Allah itu tidak mereka alami karena kondisi mereka yang terbatas dan tidak berdaya. Maka bagaimanakah dalam ketidakberdayaan orang miskin itu kita mewartakan Kabar Gembira, agar mereka juga akhirnya mengalami keselamatan, yakni hadirnya Kerajaan-Nya yang diwarnai “damai sejahtera, dan sukacita dalam Roh Kudus”. Hadirnya kerajaan Allah itu menuntut kesediaan kita berkerjasama dengan Allah.
Kerajaan Allah itu dihadirkan dalam “proses pemberdayaan” orang miskin. Pemberdayaan itu berarti memberikan “berbagai kesempatan kepada orang miskin” untuk berkembang mencapai kesejahteraan umum sebagaimana dikatakan oleh Konsili Vatikan II dalam GS art 26. : kebutuhan pokok,membangun keluarga, pekerjaan dst.

IV.3 Kerjasama umat beriman dengan Allah

Kerjasama kita dengan Allah, sebagai Gereja “communio” dengan Allah itu dilaksanakan dalam semangat “salib”, yakni mengosongkan diri, yakni seperti Yesus bekerjasama dengan Bapa untuk menyelamatkan manusia, yakni “berani menanggung penderitaan, sampai wafat di salib”. Bagaimanakah “salib Kristus” menjadi gaya hidup kita orang beriman dalam menghadirkan kerajaan Allah?

IV.3.1 “Memanggul salib” sebagai spiritualitas hidup orang beriman

Agar kita mampu bekerjasama dengan Allah diperlukan sebuah disposisi batin dan pengertian tentang
(1) spiritualitas salib dan
(2) peranan Roh Kudus dalam keseluruhan tindakan Gereja untuk memberdayakan orang miskin.

Ad. (1) Paham “salib” menurut Santo Paulus (Flp 2:5-11)

Pemahaman atas salib dapat kita dapatkan dari Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi sbb., “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa (Flp 2: 5-11)

Santo Paulus memahami salib tidak pertama-tama pada aspek “luka parah” yang dialami Yesus seperti “dicambuk, dipaku tangan dan kakinya, serta jatuh dan ditombak lambungnya”, melainkan ia mengajak kita untuk menghayati “kepedihan Yesus yang dipermalukan sehabis-habisnya”. Namun, Yesus tidak menghindar dari perlakuan “dipermalukan” itu. Ia membiarkan diri-Nya dipermalukan. Itulah keputusannya di taman Getsmani, "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.(Mat 26:39).
Ia tentu tahu bagaimana membela diri untuk mempertahankan kebenaranya, dan membuktikan bahwa diri-Nya sungguh Anak Allah, tetapi Yesus ternyata tidak memilih “jalan pikiran manusiawi” melainkan Ia memilih jalan hidup, sbb.:
“walaupun dalam rupa Allah, Yesus tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”

Yesus memilih jalan “mengosongkan diri” untuk bekerjasama dengan Allah Bapa menyelamatkan manusia. Demikianlah juga panggilan hidup bersama kita menurut Paulus mesti dijiwai pengosongan diri, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus”. Apakah yang harus dibuang dalam diri kita supaya “pengosongan diri” itu terjadi? Pengosongan diri itu tidak lain adalah kesediaan untuk tidak “mempertahankan milik pribadi yang dianggap istimewa sekalipun”.
Kalau Yesus saja tidak mempertahankan kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan di hadapan Mahkamah Agung, mengapa kita justru berjuang untuk mencari harga diri : popularitas, pujian, diistimewakan, dengan berbagai macam cara, bahkan dengan perbuatan yang saleh sekalipun. Harga diri itu dipertahankan mati-matian apalagi kalau kita difitnah, dicela, dikritik dan ditunjukkan kesalahan kita. Itulah salib yang harus kita pikul juga dalam “memberdayakan orang miskin”.
Dalam memberdayakan orang miskin, apalagi dalam kerjasama dengan umat beriman lintas keyakinan, bahasa dan budaya, lintas golongan ekonomi dan lintas kelompok minat, terbuka kemungkinan konflik akibat perbedaan visi, meskipun bisa jadi memiliki visi yang sama: kepedulian kepada orang miskin. Kemungkinan konflik itu tidak lain terjadi karena motivasi dalam “memberdayakan orang miskin” tidaklah selalu motivasi demi kepentingan Tuhan dalam menyelamatkan manusia, melainkan bisa terjadi motivasi yang mencari popularitas, agar dikatakan orang baik dan saleh, agar memiliki kesempatan untuk menguasai donatur atau “funding agency” sehingga bisa mencari keuntungan dari biaya pemberdayaan itu, atau motivasi untuk menyebarkan keyakinannya. Di lain sisi juga, dalam kerjasama lintas itu sudah ada bibit-bibit “kecurigaan” satu dengan yang lain.
Bagaimana kita mengatasi konflik dan menghadapi benih-benih permusuhan, yang sering tidak terhindarkan itu?


Ad. 2 Peranan Roh Kudus dalam tindakan Gereja untuk terlibat “pemberdayaan orang miskin”

Keterlibatan dalam memberdayakan orang miskin tidak bebas dari “benih konflik”. Dalam “ketidakbebasan”, kita ditantang untuk mengakui keterbatasan kita sebagai pemerhati, namun sekaligus juga dipanggil untuk mengakui hanya Allah yang menjadi sumber kekuatan kita untuk mengasihi sesama. Keterbatasan itu bisa membelokkan arah motivasi kita, sehingga terjadi perubahan dari motivasi demi kepentingan kerajaan Allah menjadi demi kepentingan harga diriku sendiri. Kalau kepentingan diri menjadi utama, terbukalah peluang untuk “bersaing” dalam berbuat baik. Persaingan itu pun memicu “gairah untuk bekerja sebagai single figther” daripada sebagai “teamwork”. Dalam situasi ketidakbebasan itulah, sebagai orang beriman, kita mesti memiliki komitmen untuk melibatkan Roh Kudus, yakni Roh Allah sendiri. Roh Kudus tidak otomatis berkarya dalam diri kita kalau kita tidak meminta-Nya.
Allah Bapa menghendaki agar kita meminta Roh-Nya sendiri sehingga terjadi pembaharuan agar kita mengalami daya kekuatan untuk berjuang menghadirkan kerajaan-Nya.” Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Luk 11:13) Karena itu jangan ragu-ragu untuk meminta kehadiran Roh Kudus agar hati dan budi kita beroleh terang-Nya. Roh itu dimohon terus menerus dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaannya, bahkan sesudahnya.

IV.3.2 Keterlibatan dalam pemberdayaan orang miskin dengan METODE SPIRAL PASTORAL

IV.32.1 METODE SPIRAL PASTORAL

Dalam Octogessima Adveniens, dirumuskan Spiral Pastoral dirumuskan sbb.
“Merupakan tugas umat kristiani menganalisis secara obyektif situasi yang khas bagi negeri sendiri, menyinarinya dengan terang amanat Injil yang tidak dapat diubah,dan dari ajaran sosial Gereja menggali asas-asas untuk refleksi,norma-norma untuk penilaian serta pedoman-pedoman untuk bertindak”. (OA, art. 4).


Dari kutipan di atas Metode Spiral Pastoral diawalai dengan (1) “analisa objektif atas situasi yang khas, (2) menyinari dalam terang amanat Injil dan dari Ajaran Sosial Gereja, dan (3) menemukan norma-noma untuk penilaian dan pedoman untuk bertindak.
Metode Spiral Pastoral ini digunakan dalam pendalaman iman ini pertama-tama demi tujuan agar hidup beriman berakar baik dalam doa maupun dalam situasi yang aktual sehingga metode ini mudah-mudahan menjawab kebutuhan pendalaman iman yang kontekstual. Kontekstual itu berarti pendalaman iman itu “relevan” dengan persoalan yang ada. Maka pendalaman iman seperti tidak lain adalah sebuah usaha untuk membuat Discerment, yakni penegasan Roh dalam hidup Gereja sebagai communio. Maka Uskup Agung Archbishop Orlando Quevedo menulis, sbb.:

“Sebuah metode discerment
yang biasanya dipergunakan oleh Komunitas Basis Gerejani, adalah Metode Spiral Pastoral.
Metode ini dimulai dengan
(1) analisa situasi, bergerak mengarah ke Refleksi iman,(2) dilanjutkan dengan membuat keputusan, dan (3) merencanakan implementasi keputusan itu. Spiral Pastoral berakhir dengan (4) Aksi (Implementasi dari keputusan itu) dan (5) Evaluasi. (6) Situasi yang baru akan muncul dari proses itu, dan spiral pastoral mulai lagi. Dalam banyak komunitas Basis Gerejani, metode discermen komunitas ini dilakukan secara teratur oleh para anggota dan pemimpin komunitas basis itu. Metode ini menjamin bahwa jawaban iman mereka berakar baik dalam doa maupun dalam situasi konkret.


IV.32.2 Sasaran Pemberdayaan: orang miskin
Bagaimanakah kita akan mulai proses memberdayakan orang miskin? Kita mesti memahami dulu ciri khas orang miskin. Ciri khas ini harus berlaku untuk semua orang miskin yang kita temui di manapun kita berada.
Orang miskin pada dasarnya adalah orang yang tidak mampu memperoleh kesejahteraan hidup yang layak. Ketidakmampuan itu tidak hanya berasal dari diri sendiri akibat mentalitas “nrimo” nasib apa adanya. Akan tetapi juga ketidakmampuan itu merupakan akibat sebuah struktur masyarakat yang tidak adil. Maka untuk mengurai masalah kemiskinan, kita mesti menemukan kriteria dari kesejahteraan hidup.
Kesejahteraan hidup itu menurut Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes artikel 26 dikatkan, keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri.Maka orang miskin adalah mereka yang kurang bahkan tidak memiliki jaringan untuk memperoleh berbagai kesempatan yang mengembangkan dirnya menjadi sempurna. KV II menyatakan “sudah seharusnyalah, bahwa bagi manusia disediakan
• segala sesuatu, yang dibutuhkannya untuk hidup secara sungguh manusiawi, misalnya nafkah, pakaian, perumahan,
• hak untuk dengan bebas memilih status hidupnya dan untuk membentuk keluarga,
• hak atas pendidikan, pekerjaan, nama baik, kehormatan, informasi yang semestinya,
• hak untuk bertindak menurut norma hati nuraninya yang benar,
• hak atas perlindungan hidup perorangan,
• dan atas kebebasan yang wajar, juga perihal agama.

Masalahnya adalah siapakah di antara kita yang mampu memberikan hak bagi orang miskin untuk mengalami berbagai macam hak atau kesempatan hidup yang layak itu? Di satu pihak, sebagai anggota Gereja, sayalah yang harus memberikan hak itu menurut kemampuan karena akan tetapi di sisi lain, orang miskin pun mesti disadarkan akan hak asasinya sebagai manusia, bahwa mereka berhak untuk hidup layak, bukan menerima kondisi keterbatasannya sebagai nasib yang tinggal diratapi. Akan tetapi bagaimanakah mereka digerakkan untuk bangkit dari keterbatasannya, sementara kita sulit mendengarkan jeritan minta tolong? Di situlah kepentingan “spiritualitas pengosongan diri berkembang”. Dalam semangat “pengosongan diri” demi terwujudnya pemberdayaan orang miskin, kita menggunakan metode Spiral Pastoral.

IV.32.3 PROSES METODE SPIRAL PASTORAL

Sebagaimana dirumuskan dalam OA art. 4 dan dipertegas dalam FABC, proses penggunaaan Metode Spiral Pastoral semestinya dijalankan sbb.

LANGKAH I: ANALISA SITUASI & PERSOALAN
(i) mulai dengan dialog, yakni mencari “orang miskin” di sekitar lingkungan dan mendata
(ii) memilah-milah (memverifikasi): mengelompokkan jenis masalah orang miskin
(iii) menentukan prioritas masalah yang mau ditangani menurut potensi umat setempat dan potensi masyarakat
(iv) membuat analisa akar masalah (problem tree) dan analisa arah perubahan pemberdayaan (objectives tree)

LANGKAH II: REFLEKSI IMAN
(i) membuat analisa dari arah perubahan ke “nilai-nilai’ manusiawi (nilai-nilai dasar yang berlaku untuk seluruh agama dan kepercayaan, bahkan orang atheis sekalipun.
(ii) Membuat analisa nilai-nilai Injili dengan berpangkal dari nilai manusiawi, apakah nilai-nilai manusiawi itu juga menjadi pesan Injil, dan pesan Ajaran Magisterium?

LANGKAH III: KEPUTUSAN IMAN:
Setelah menemukan nilai-nilai manusiawi dan kristiani, buatlah keputusan iman, agar terjadi perubahan dari akar masalah menjadi arah perubahan (lihatlah kartu kuning paling bawah ke kartu merah jambu yang paling bawah juga. Aktivitas apa yang akan dibuat supaya terjadi perubahan “situasi” pada kartu kuning ke situasi di kartu merah jambu!

LANGKAH IV PERENCANAAN: Setelah menentukan Aktivitas, dibuatlah perencanaan untuk menentukan PELAKSANAAN atau AKSI NYATA: kapan pelaksanaan, penanggung jawab, siapa saja pelaksananya, biaya, targetnya.

LANGKAH V: AKSI NYATA: saat pelaksanaan: satu hari atau beberapa hari

LANGKAH VI:EVALUASI: dibuat setelah terjadi pelaksanaan. Apakah aksi nyata itu menjawab masalah mereka orang miskin, relevan atau malah tidak menjawab sama sekali?

LANGKAH VII: KENYATAAN BARU: hasil evaluasi itu dapat menjadi titik tolak untuk melangkah lebih lanjut: menyempurnakan.








































Dengan memakai “Metode Spiral Pastoral” diharapkan para peserta mampu berjerih payah untuk menampilkan jati dirinya sebagai communio sehingga kredibilitas Gereja relevan bagi dunia, terutama bagi orang miskin.
BAGIAN II:
PENERAPAN METODE SPIRAL PASTORAL dalam PENDALAMAN IMAN KAUM DEWASA

I. Konteks “penggunaan metode spiral pastoral”
Untuk memulai metode Spiral Pastoral,yakni ANALISA DATA, harus didahului dengan pendalaman spiritualitas salib dan Gereja sebagai”communio”. Pendalaman itu penting untuk menempatkan metode spiral pastoral dalam kaitannya dengan pribadi hidup orang beriman, agar metode itu bukan sekedar “MODUS OPERANDI” (cara melaksanakan), yang bebas dari nilai apapun, melainkan justru metode itu dijalankan sebagai sebuah DISCERNMENT SPIRITUAL, AGAR HIDUP BERIMAN BERAKAR DALAM DOA MAUPUN REALITAS HIDUP KONKRET. Karena itu harus dijalankan pertemuan I dan II

Untuk memulai Metode Pastoral dalam Pertemuan III sampai V. diirumuskan dulu berdasarkan data lapangan: siapakah orang miskin yang ada di sekitar lingkungan Anda. Karena itu dalam kerangka dasar panduan pendalaman iman kaum dewasa akan dirumuskan bebeapa pertanyaan untuk merumuskan PERSOALAN UTAMA.
Untuk merumuskan persoalan dengan baik, silakan menjawab beberapa pertanyaan panduan berikut ini:

1. Kesempatan apa sajakah yang tidak dapat mereka peroleh secara layak: kebutuhan pokok sehari-hari tidak terjamin, pelayanan kesehatan di puskemas maupun di rumah sakit atau pendidikan dasar bagi anak-anaknya.
2. Apakah mereka sering dilibatkan dalam pengambilan keputusan di tingkat RT-RW? Mengapa?
3. Apakah dalam memperhatikan orang miskin Anda juga membuat jaringan kerjasama dengan orang yang beriman lain? Mengapa?
4. Kalau Anda melakukan kerjasama dengan agama lain, adakah iman Anda terpengaruh? Adakah rasa curiga, lalu terjadi konflik dingin, bahkan perang mulut juga terjadi?
5. Kalau Anda tidak melakukan kerjasama dengan agama lain, apakah alasannya? Apakah Anda ketakutan karena mau diperas, sehingga mereka yang “akhirnya dipuji” sementara Anda malah tidak tercantum namanya sebagai “donatur”?
6. Apakah perhatian kepada orang miskin itu membuat Anda bergairah untuk semakin berelasi dengan Tuhan? Ataukah sebaliknya?
7. Apakah Anda pernah mengalami keputusasaan dalam melayani orang miskin? Mengapa?


Ketujuh pertanyaan itu ditawarkan untuk membantu kita berefleksi, dan pada gilirannya Anda memiliki langkah konkret untuk bertobat secara konkret.


II. KERANGKA TEMA SETIAP PERTEMUAN

Pertemuan I: Spiritualitas Salib

Pertemuan II: Gereja sebagai communio

Pertemuan III Konteks Spiral Pastoral: menempatkan metode itu dalam paham iman: sebagai ungkapan dan perwujudan. Dijelaskan langkah-langkahnya. Arti “kemiskinan”. ANALISA MASALAH dengan pendataan sampai pada Analisa Akar Masalah dan Analisa Perubahan
Pertemuan IV: REFLEKSI IMAN: menemukan nilai-nilai manusiawi, dan nilai kristiani dan KEPUTUSAN IMAN

Pertemuan V: PERENCANAAN AKSI NYATA


III.Kerangka Materi Setiap Pertemuan

Pertemuan I: Spiritualitas Salib: mengasihi Allah dan sesama dengan mengosongkan diri

A. Illustrasi: kapan kita merasa dipermalukan? Apakah Anda mau dikritik? Kalau ditunjukkan kesalahan? Kalau diejek, penampilanmu? Mengapa Anda merasa malu? Lebih sakit manakah dipukul, atau harga diri Anda direndahkan?

Sharing bersama

B. Sumber Inspirasi: Flp 2:5-11
Yesus tidak mempertahankan kesetaraan-Nya dengan Allah, tetapi Ia mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba, sampai wafat di salib.

Panduan Reflektif
Mengapa Yesus tidak mempertahankan diri: tidak meminta hak pribadinya, tidak berjuang menyelamatkan diri-Nya sendiri. Apakah kita mampu “mengosongkan diri”? Apakah yang dianggap paling istimewa itu “mesti dilepaskan”, apakah mau?

C. Ketidakmampuan menjadi “saat” untuk memohon karunia Allah , jika aku lemah aku kuat (2 Kor 12:9-10). Karunia Allah itu tidak lain adalah Roh Kudus. Marilah kita minta Roh itu (Luk 7:11) Mohon karunia Roh Kudus: Nyanyikan “Veni Creator” dan doa mohon Roh Kudus: secara pribadi dan bersama

D. Penutup

Pertemuan II:
Gereja yang dipercaya di tengah dunia: Gereja, sebagai “communio” terlibat dalam kesulitan hidup orang miskin dengan memberdayakan bersama umat beriman lain. Metode yang kita gunakan adalah Spiral Pastoral (sampai kepada analisa nilai manusiawi)

A. Ilustrasi: Pak Trembel memiliki dokar sebagai mata pencahariannya setiap hari untuk menghidupi 1 isteri dan 3 anaknya. Ia menetapkan tarif naik dokar dari Desa Gemah Ripah sampai Pasar Artomoro (sekitara 10 km) dengan tarif kelas VIP: 10.000, tapi kalau roda rusak, tidak perlu turun dan memperbaiki, tarif kelas II: 7.500 turun dan boleh lihat saja, kelas III: 5000, ikut turun, ikut memperbaiki dan mendorong. Panurata pilih tarif kelas VIP, Jerawati kelas II, dan Trimbil kelas III.

Sharing:
Kita pilih kelas yang mana, seperti Panurata, Jerawati atau Trimbil? Mengapa? Itulah “model” hidup “tidak berkomunitas” karena hidup bersama ditentukan oleh “tarif”. Apakah model “komunitas dokar” itu juga cermin hidup Gereja sebagai “persekutuan” (communio)? Mungkinkah model hidup bersama begitu memungkinkan orang “saling mengasihi”? Apakah Anda dapat menggambarkan “Komunitas Dokar” yang diwarnai kasih?

B. Sumber Inspirasi :
mengasihi sesama (Perumpaan Orang Samaria yang murah hati, Perintah Utama, Yoh 15:12 Surat Yohanes 4), ASG Ensiklik Centessimus Annus. Panduan pertanyaan: siapakah sesamaku? Mengapa orang yang tidak “beragama Yahudi” pun, wanita Samaria itu malah terlibat membantu orang yang sakit?

C. Peneguhan : Kita tidak mampu mengasihi sesama kalau mengandalkan diri sendiri, karena kita modah tergoda untuk menghargai orang. Kita butuh pertobatan. Mari kita mohon Roh Kudus agar kita bertobat

D. Doa Mohon pertobatan: dari cinta hanya terhadap pada diri sendiri menjadi cinta kepada sesama sebagaimana Allah mencintai

Pertemuan III: Menentukan persoalan “kemiskinan” di sekitarku dan dianalisa dengan Metode Spiral Pastoral (Langkah Analisa dan Perubahan)

Pertemuan IV: Langkah Refleksi Iman: Nilai manusiawi dan Nilai Kristiani, diakhiri keputusan iman







IV.LANGKAH-LANGKAH PERTEMUAN III-V

(1) Doa pembukaan: mohon karunia Roh Kudus agar memberikan terang hati dan budi seturut kehendak-Nya
(2) Pengantar
(3) Pengguliran Metode Pastoral (Langkah I untuk pertemuan I, kalau belum selesai bisa dilanjutkan pertemuan berikutnya)
(4) Mensharingkan “nilai-nilai” kehidupan yang muncul dalam analisa masalah tadi
(5) Membaca Sabda Tuhan sebagai inspirasi untuk meneguhkan iman kita: tema-tema Allah yang berpihak kepada orang miskin.
(6) Doa permohonan-Doa Penutup


V. Langkah Pertemuan V: Perencanaan Aksi Nyata (Tahap V dari Spiral Pastoral)

A. Pengantar
Mengapa setelah Paska dalam jangka waktu kurang lebih 50 hari, tetap diajak untuk “menggulirkan” bahan pendalaman sampai AKSI NYATA? Titik tolak untuk memahami “kegiatan pendalaman iman” setelah Paska dapat dipikirkan dari beberapa pokok gagasan:

1. Buah-buah perayaan Ekaristi Pekan Suci dan Paskah: dengan menyantap Tubuh dan Darah Kristus, terjadilah persatuan hidup Kristus yang ilahi dengan hidup manusia yang profan. Persatuan itu berarti, Kristus menukar hati kita yang mudah putus asa dan sombong dengan hati-Nya yang lemah lembut dan murah hati agar kita mampu hidup menurut gaya hidup-Nya. Hidup menurut gaya Kristus, tidak lain menurut St Paulus adalah “mengosongkan diri” (Flp 2:5-11), yakni memanggul salib agar kita mengalami kebangkitan bersama Dia. Bagaimana kita akan mengalami misteri Paskah kalau kita tidak mau memanggul salib kita? Kristus telah mendahului memanggul salib agar kita percaya bahwa salib itu membuat kita mati terhadap dosa, akan tetapi kita akan menang atas kuasa maut itu dalam persatuan dengan Kristus yang sudah lebih dahulu mengalami kematian.
2. Yesus yang bangkit memberikan peneguhan: Jangan ragu-ragu lagi untuk memanggul salib! Kalian pasti akan bangkit bersama-Ku! Karena itu, misteri Paska menggerakkan orang menjadi “pewarta kabar gembira: kebangkitan Kristus yang membawa “damai sejahtera”
3. Bagaimana secara konkret umat beriman membawa “damai sejahtera”, bagi orang-orang miskin (memiliki sedikit kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi manusia utuh).
4. Konkretisasi itu mempersiapkan diri untuk menyambut karunia Roh Kudus yang akan kita terima pada saat Perayaan Pentakosta.
5. Semoga kita makin sadar, Roh Kudus yang adalah Roh Allah dan Roh Yesus itulah yang menentukan hidup Gereja. Roh itulah yang menghidupkan orang beriman untuk terlibat dalam hidup di tengah dunia.

B. Perencanaan Aksi Nyata
1. Bukalah kembali notulensi hasil pertemuan terakhir, yang berisi KEPUTUSAN IMAN.
2. Buatlah bagan atau tabel: berisi tentang masalah, arah perubahan, nilai manusiawi, nilai kristiani, aktivitasnya, target (SMART: Special (khusus), Measurable (terukur), Acceptable (dapat disepakati), Reliable (realistis), Timely (jelas waktu dan periodisasinya), asumsi (ada data penyebab kemungkinan gagal), penanggung jawab, langkah pelaksanaan, biaya dan evaluasi (berdasarkan SMART)

3. Membagikan “kertas tugas” untuk masing masing warga; jadual dan tugas mereka masing masing.



Penutup
Pemikiran dasar ini dibuat untuk kepentingan karya pastoral Keuskupan selama masa Prapaskah dan lingkaran Paskah, yang mencakup pendalaman iman, penyusunan teks-teks ibadat, dan pemilihan kegiatan dalam menggulirkan tema APP 2009 secara konkret di lingkungan dan di Paroki serta stasi di wilayah Keuskupan Purwokerto agar nyatalah “umat beriman menjadi pelopor makin tegaknya Kerajaan Allah di tengah dunia”.


Selamat Retret Agung 2009!
Komisi Kateketik Keuskupan Purwokerto
29 November 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buah Retret 2008: Memahami Kembali Sakramen Imamat bagi Hidupku

Sahabat-sahabatku,

Setelah mengikuti retret para imam bersama Fr. Fio Mascarenhas SJ dari India, 10-14 Nov 2008 di Purwokerto, saya tergugah untuk mengolah kembali pemahamanku tentang sakramen imamat. Setelah aku ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr Julianus Sunarka SJ, waktu itu, 18 Juli 2001, ternyata tidak otomatis membuat aku dapat menghayati hidup sebagai imamat secara penuh. Tidak otomatis itu letaknya bukan pada "pencurahan Roh Kudus", melainkan pada "aspek penghayatan."

Roh Kudus itu dicurahkan kepadaku oleh Allah melalui penumpangan tangan Uskup yang dipercaya oleh Gereja sebagai penerus para Rasul. Roh itu dicurahkan secara sempurna. Akan tetapi karya Roh Kudus itu "belum lengkap", karena dibutuhkan "keterlibatanku" untuk mengambil keputusan : berkomitmen terus menerus bekerjasama dengan Kristus, sang Imam Agung. Komitmen kerjasama itu hanya mungkin terjadi kalau saya hidup dalam "persekutuan dengan Roh Kudus". Bagaimana saya bersekutu dengan Roh Kudus, karena hidupku lebih suka menghindari "salib" daripada memikul salib.

"Memikul salib" itu bukan pertama-tama penderitaan fisik yang luar biasa akibat penganiayaan. Memikul salib, sebagaimana dipahami oleh Paulus dalam Flp 2:6-11, artinya, kesediaan diri untuk "dipermalukan": membiarkan diri kehilangan berbagai hak asasi sebagai manusia: hak atas masa depan, hak untuk membela diri, hak untuk mengatakan kebenaran, hak untuk berkuasa. Akan tetapi lebih dari itu, Yesus membiarkan dirinya "tidak meminta haknya sebagai Anak Allah" bahkan mengambil rupa seorang hamba " yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:6-7) Itulah inti salib: pengosongan diri.

Bagaimana saya memikul salib, padahal salib itu menjungkirbalikkan "jalan pikiran" manusia yang lebih suka menjadi anak anak dunia. Jalan pikiran dunia adalah gerak naik, yakni meraih ambisi hidup serba nikmat, ambisi diistimewakan, dipuji, populer, menjadi hebat. Sementara jalan salib adalah jalan yang menurun: jalan pengosongan diri, di mana tidak lagi mencari kesempatan untuk hidup nikmat, tidak mencari pujian, popularitas, dan menjadi hebat, serta tidak ambisi berkuasa untuk menjadi memiliki segalanya. Karena itu, saya tidak mungkin mengandalkan kekuatan diri sendiri.

Salib Tuhan yang harus kupikul itu menantang diriku untuk mengakui "keterpecahan yang ada dalam diriku": di satu sisi memiliki niat untuk memanggul salib, namun di sisi lain ada kekuatan yang menarikku untuk menghindari salib. Tegangan itu tidak lain adalah "pertempuran antara Kuasa Roh yang menghidupkan, dan kuasa roh yang mematikan". Pertempuran itu sudah dimenangkan oleh Kuasa Roh Allah sendiri yang telah membangkitkan Kristus, setelah Ia mengalami kematian bersama dengan manusia yang berdosa. Kematian Kristus di salib menjadi "persembahan kemanusiaan yang abadi di hadapan Allah Bapa". Yesus yang wafat itu hadir di hadapan Bapa sebagai pribadi yang merepresentasi manusia yang telah berdosa. Allah menerima persembahan Kristus itu dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Karena itu berkat kematian Kristus semua orang yang mati terhadap dosa, entah dari bangsa manapun, dan dari jaman kapanpun, dianugerahi harapan akan keselamatan.

Kemenangan Kristus atas pertempuran itu terjadi karena peranan Roh Kudus dalam diri-Nya, karena Roh itu tidak lain adalah Roh Allah. Maka dalam persekutuan dengan Bapa dalam Roh Kudus, Kristus menang atas maut. Kalau Kristus, Sang Imam Agung. dan sebagai Anak Sulung, telah mendahului kita memenangkan pertempuran dengan roh jahat, mengapa saya sebagai imam, kerap kali masih ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus memberiku kekuatan untuk mengatasi "keterpecahan pribadiku" sehingga aku mampu konsisten untuk memanggul salib.

Keragu-raguan itu sebenarnya tanda bahwa aku tidak sungguh sungguh percaya kepata Allah Bapa, apakah Ia sungguh mau menganugerahkan Roh-Nya. Tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, adalah sebuah sikap yang sebenarnya curiga kepada Allah. Belum memohon pun,saya sudah meragukan, apakah Allah memang mau menganugerahkan Roh Kudus itu. Dalam Lukas 11:13 Yesus menyakinkan kita, "Jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Sabda Yesus ini meneguhkan dan memberikan kemantapan: Jangan ragu ragu untuk meminta karunia Roh!"

Dengan komitmen "terbuka untuk meminta", Sakramen tidak lagi dipahami sebagai "keran air yang siap mengucurkan rahmat ilahi", melainkan Sakramen adalah sebuah tanda kehadiran kasih Allah yang menantangku untuk menjawab: buat keputusan untuk meminta Roh agar hidupku mampu memikul salib. Membuat keputusan menjadi hal yang sulit bukan main kalau ada keterikatan emosional dengan kepentingan diri, fasilitas, dan jabatan. Di situlah letaknya penghayatan imamatku ditantang: mau menjadi pribadi yang hidup untuk mempersembahkan dirinya khusus bagi Allah dan sesama, atau menjadi pribadi yang hidup bagi dirinya sendiri.

Akhirnya menjadi imam itu bukanlah sikap "menggengam tangan". Karena "menggenggam" itu berarti ada "sesuatu yang istimewa dan kupertahankan mati-matian, jangan sampai lepas dan tidak bisa kupegang lagi". Karena itu menjadi imam bagiku sekarang adalah komitmen untuk belajar membuka genggaman tanganku agar terbukalah telapak tanganku, sehingga apapun yang kugenggam boleh diambil siapapun. Dengan cara hidup seperti itu, terbukalah kesempatan untuk selalu meminta Roh Kudus agar terlibat dalam hidupku.

yang lagi belajar berproses
bslametlasmunadipr