Minggu, 23 November 2008

Materi Pertemuan I Adven 2008

TEMA 1
BERCERMIN PADA HIDUP NABI YESAYA
MENJADI TANDA PENGHARAPAN
BAGI ORANG YANG BERPUTUS ASA
(Yes 63:16b-17; 64:1.3b-8)

PEMBUKAAN

Lagu pembuka
Pertemuan bisa diawali dengan lagu pembuka yang sesuai dengan tema pembicaran.

Doa Pembuka
Pemandu menyiapkan doa pembuka sendiri. Doa pembuka mengarah pada tema pembicaraan.

Pengantar singkat
Pemandu memberikan pengantar tentang tema pertemuan dan proses pertemuan yang akan dilaksanakan.

PENGALAMAN MANUSIAWI
Dibaca dan di dalami dalam kebersamaan.

KESETIAAN TRIMBIL DIUJI
Di tengah situasi krisis energi dan mahalnya bahan bakar minyak (BBM), Trimbil ingin mengubah air menjadi minyak dengan tujuan membantu banyak orang untuk mendapatkan minyak dan menjadi kaya raya.
Trimbil mendapat “wangsit” supaya ia pergi menemui seorang ahli kimia, yang tinggal di sebuah goa di tengah hutan. Trimbil hanya diperkenankan mengajukan satu pertanyaan “bagaimana caranya mengubah air menjadi minyak”.
Setelah menempuh perjalanan jauh, melelahkan dan penuh tantangan akhirnya Trimbil berjumpa dengan ahli kimia yang ditunjukkan dalam wangsit. Trimbil berjumpa dengan seorang yang berparas cantik jelita dan menawan hati. Dengan hati terpesona trimbil mengajukan pertanyaan “Apakah Nona sudah menikah?”

Pertanyaan pengalaman manusiawi
a. Apakah Trimbil orang yang konsisten/setia? Mengapa?
b. Apakah Anda pernah mengalami godaan tidak konsisten/setia dalam keluarga? Mengapa?

PENGALAMAN IMAN
Disampaikan oleh pemandu dengan kata-kata sendiri.
Saudara-saudari, Trimbil adalah orang yang tidak konsisten/setia dengan apa yang telah disepakati/”diwangsitkan”. Dalam perja-lanannya setelah menemukan hal-hal yang lebih menarik, mempesona Trimbil berubah pikiran. Kita sering juga tidak konsisten/setia dengan apa yang telah menjadi kesepakatan, sehingga bisa menimbulkan konflik. Kita masing-masing mempertahankan pendapatnya sendiri, mau menangnya sendiri. Pada saat mengalami konflik merasa tidak ada harapan untuk bangun kembali, merasa ditinggalkan oleh Tuhan. Walaupun sebenarnya Tuhan tidak membiarkan kita. Kita dalam situasi yang terpuruk/rapuh tetap mempunyai harapan, seperti nabi Yesaya ketika menghadapi bangsa Israel.
Yesaya berada dalam situasi bangsa Israel yang terpuruk, yang tidak mempunyai harapan lagi. Tetapi Yesaya hadir membawa harapan atau damai, karena ia mempunyai relasi baik dengan Tuhan, tidak mencari kepentingan diri, mau bersusah-susah dan mau bersama dengan mereka. Bangsa Israel sadar dan mengakui kelemahannya dengan mengatakan: “Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin” (Yes 64:6).
Dalam situasi ini Yesaya mengajak umat Israel untuk mengakui, kelemahan, kerapuhan tetapi berpengharapan kepada Tuhan. Mengakui Allah sebagai Bapa yang sebenarnya. Maka marilah kita simak kutipan Yes 63:16b-17; 64:1.3b-8.

Bacaan Kitab Suci (Yes 63:16b-17; 64:1.3b-8)
Dibaca dan di dalami dalam kebersamaan.

Yes 63:16b-17; 64:1.3b-8
16 Sungguh, Abraham tidak tahu apa-apa tentang kami, dan Israel tidak mengenal kami. Ya TUHAN, Engkau sendiri Bapa kami; nama-Mu ialah "Penebus kami" sejak dahulu kala.
17 Ya TUHAN, mengapa Engkau biarkan kami sesat dari jalan-Mu, dan mengapa Engkau tegarkan hati kami, sehingga tidak takut kepada-Mu? Kembalilah oleh karena hamba-hamba-Mu, oleh karena suku-suku milik kepunyaan-Mu!
1 Sekiranya Engkau mengoyakkan langit dan Engkau turun, sehingga gunung-gunung goyang di hadapan-Mu
3 karena Engkau melakukan kedahsyatan yang tidak kami harapkan, seperti tidak pernah didengar orang sejak dahulu kala!
4 Tidak ada telinga yang mendengar, dan tidak ada mata yang melihat seorang allah yang bertindak bagi orang yang menanti-nantikan dia; hanya Engkau yang berbuat demikian.
5 Engkau menyongsong mereka yang melakukan yang benar dan yang mengingat jalan yang Kautunjukkan! Sesungguhnya, Engkau ini murka, sebab kami berdosa; terhadap Engkau kami membe-rontak sejak dahulu kala.
6 Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesa-lehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyap-kan oleh angin.
7 Tidak ada yang memanggil nama-Mu atau yang bangkit untuk berpegang kepada-Mu; sebab Engkau menyembunyikan wajah-Mu terhadap kami, dan menyerahkan kami ke dalam kekuasaan dosa kami.
8 Tetapi sekarang, ya TUHAN, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu.

Pertanyaan Pendalaman iman
1. Situasi macam apa yang dialami bangsa Israel menurut teks Yesaya tersebut?
2. Usaha-usaha apa yang harus diperjuangkan dalam keluarga yang sedang mengalami kelemahan, kerapuhan?

REFLEKSI DAN KEPUTUSAN IMAN (AKSI NYATA)
• Setiap peserta diberi kesempatan untuk membuat satu niat yang mendasak diperjuangkan dalam keluarga.
• Niat ditulis dalam selembar kertas kecil yang telah disediakan.
Doa spontan
Peserta diberi kesempatan untuk mengungkapkan doa secara spontan baik permohonan, syukur serta niat-niat nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buah Retret 2008: Memahami Kembali Sakramen Imamat bagi Hidupku

Sahabat-sahabatku,

Setelah mengikuti retret para imam bersama Fr. Fio Mascarenhas SJ dari India, 10-14 Nov 2008 di Purwokerto, saya tergugah untuk mengolah kembali pemahamanku tentang sakramen imamat. Setelah aku ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr Julianus Sunarka SJ, waktu itu, 18 Juli 2001, ternyata tidak otomatis membuat aku dapat menghayati hidup sebagai imamat secara penuh. Tidak otomatis itu letaknya bukan pada "pencurahan Roh Kudus", melainkan pada "aspek penghayatan."

Roh Kudus itu dicurahkan kepadaku oleh Allah melalui penumpangan tangan Uskup yang dipercaya oleh Gereja sebagai penerus para Rasul. Roh itu dicurahkan secara sempurna. Akan tetapi karya Roh Kudus itu "belum lengkap", karena dibutuhkan "keterlibatanku" untuk mengambil keputusan : berkomitmen terus menerus bekerjasama dengan Kristus, sang Imam Agung. Komitmen kerjasama itu hanya mungkin terjadi kalau saya hidup dalam "persekutuan dengan Roh Kudus". Bagaimana saya bersekutu dengan Roh Kudus, karena hidupku lebih suka menghindari "salib" daripada memikul salib.

"Memikul salib" itu bukan pertama-tama penderitaan fisik yang luar biasa akibat penganiayaan. Memikul salib, sebagaimana dipahami oleh Paulus dalam Flp 2:6-11, artinya, kesediaan diri untuk "dipermalukan": membiarkan diri kehilangan berbagai hak asasi sebagai manusia: hak atas masa depan, hak untuk membela diri, hak untuk mengatakan kebenaran, hak untuk berkuasa. Akan tetapi lebih dari itu, Yesus membiarkan dirinya "tidak meminta haknya sebagai Anak Allah" bahkan mengambil rupa seorang hamba " yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:6-7) Itulah inti salib: pengosongan diri.

Bagaimana saya memikul salib, padahal salib itu menjungkirbalikkan "jalan pikiran" manusia yang lebih suka menjadi anak anak dunia. Jalan pikiran dunia adalah gerak naik, yakni meraih ambisi hidup serba nikmat, ambisi diistimewakan, dipuji, populer, menjadi hebat. Sementara jalan salib adalah jalan yang menurun: jalan pengosongan diri, di mana tidak lagi mencari kesempatan untuk hidup nikmat, tidak mencari pujian, popularitas, dan menjadi hebat, serta tidak ambisi berkuasa untuk menjadi memiliki segalanya. Karena itu, saya tidak mungkin mengandalkan kekuatan diri sendiri.

Salib Tuhan yang harus kupikul itu menantang diriku untuk mengakui "keterpecahan yang ada dalam diriku": di satu sisi memiliki niat untuk memanggul salib, namun di sisi lain ada kekuatan yang menarikku untuk menghindari salib. Tegangan itu tidak lain adalah "pertempuran antara Kuasa Roh yang menghidupkan, dan kuasa roh yang mematikan". Pertempuran itu sudah dimenangkan oleh Kuasa Roh Allah sendiri yang telah membangkitkan Kristus, setelah Ia mengalami kematian bersama dengan manusia yang berdosa. Kematian Kristus di salib menjadi "persembahan kemanusiaan yang abadi di hadapan Allah Bapa". Yesus yang wafat itu hadir di hadapan Bapa sebagai pribadi yang merepresentasi manusia yang telah berdosa. Allah menerima persembahan Kristus itu dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Karena itu berkat kematian Kristus semua orang yang mati terhadap dosa, entah dari bangsa manapun, dan dari jaman kapanpun, dianugerahi harapan akan keselamatan.

Kemenangan Kristus atas pertempuran itu terjadi karena peranan Roh Kudus dalam diri-Nya, karena Roh itu tidak lain adalah Roh Allah. Maka dalam persekutuan dengan Bapa dalam Roh Kudus, Kristus menang atas maut. Kalau Kristus, Sang Imam Agung. dan sebagai Anak Sulung, telah mendahului kita memenangkan pertempuran dengan roh jahat, mengapa saya sebagai imam, kerap kali masih ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus memberiku kekuatan untuk mengatasi "keterpecahan pribadiku" sehingga aku mampu konsisten untuk memanggul salib.

Keragu-raguan itu sebenarnya tanda bahwa aku tidak sungguh sungguh percaya kepata Allah Bapa, apakah Ia sungguh mau menganugerahkan Roh-Nya. Tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, adalah sebuah sikap yang sebenarnya curiga kepada Allah. Belum memohon pun,saya sudah meragukan, apakah Allah memang mau menganugerahkan Roh Kudus itu. Dalam Lukas 11:13 Yesus menyakinkan kita, "Jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Sabda Yesus ini meneguhkan dan memberikan kemantapan: Jangan ragu ragu untuk meminta karunia Roh!"

Dengan komitmen "terbuka untuk meminta", Sakramen tidak lagi dipahami sebagai "keran air yang siap mengucurkan rahmat ilahi", melainkan Sakramen adalah sebuah tanda kehadiran kasih Allah yang menantangku untuk menjawab: buat keputusan untuk meminta Roh agar hidupku mampu memikul salib. Membuat keputusan menjadi hal yang sulit bukan main kalau ada keterikatan emosional dengan kepentingan diri, fasilitas, dan jabatan. Di situlah letaknya penghayatan imamatku ditantang: mau menjadi pribadi yang hidup untuk mempersembahkan dirinya khusus bagi Allah dan sesama, atau menjadi pribadi yang hidup bagi dirinya sendiri.

Akhirnya menjadi imam itu bukanlah sikap "menggengam tangan". Karena "menggenggam" itu berarti ada "sesuatu yang istimewa dan kupertahankan mati-matian, jangan sampai lepas dan tidak bisa kupegang lagi". Karena itu menjadi imam bagiku sekarang adalah komitmen untuk belajar membuka genggaman tanganku agar terbukalah telapak tanganku, sehingga apapun yang kugenggam boleh diambil siapapun. Dengan cara hidup seperti itu, terbukalah kesempatan untuk selalu meminta Roh Kudus agar terlibat dalam hidupku.

yang lagi belajar berproses
bslametlasmunadipr