Tema 2
KETERBUKAAN MEMBAWA KEDAMAIAN
(Mark 1:1-8)
PEMBUKAAN
Lagu Pembukaan (MB 376)
Atau dicari yang lain yang lebih sesuai dengan tema dan kondisi umat.
Doa Pembukaan
Pemandu diberi kepercayaan menyiapkan doa pembukaan sendiri.
Pengantar
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,
Hari ini kita memasuki pendalaman iman yang kedua, dengan tema “KETERBUKAAN MEMBAWA KEDAMAIAN”. Walau dunia sekitar kita hiruk-pikuk suaranya, keadaan ekonomi gonjang-ganjing, namun alang-kah indahnya jika semua orang menyadari Tuhan itu sumber bahagia. Alangkah indahnya juga jika keluarga kita hidup damai dan bahagia. Sering dikatakan bahwa kedamaian dan kebahagiaan itu bermula dari kejujuran dan keterbukaan, maka marilah kita simak sekelumit cerita di bawah ini kemudian kita dalami dalam kebersamaan.
PENGALAMAN MANUSIAWI
(Pemandu atau salah seorang peserta bisa diminta untuk membacakan cerita di bawa ini dengan pelan dan jelas)
SEORANG PENJUAL MINYAK GORENG
Seorang penjual minyak goreng keliling seperti biasa Ia menjajakan dagangannya di tepian Sungai Ciliwung. "Nyak nyak minyaaaaaaaaaaaaak", teriaknya.
Di jalanan menurun tiba-tiba gerobaknya yang penuh dengan botol minyak tergelincir ke Sungai Ciliwung. Plung ... lap ...tenggelam deh ceritanya... Huuuuu ... huuuu .... menangislah dia .... "Harus kuberi makan apa istriku nanti ... huuu...” gumamnya
Tiba-tiba ... ada Malaikat yang baik hati muncul dan bertanya : "Hai,DABRUDIN ... kenapa gerangankah sehingga engkau menangis begitu?"
E..ternyata ... namanya DABRUDIN ... tahu juga ya itu Malaikat?!
"Oh, Malaikat ... gerobak minyak goreng saya tergelincir ke sungai ..."
"Baiklah ... aku akan ambilkan untukmu ..."
Tiba-tiba Malaikat itu menghilang dan muncul lagi dengan sebuah kereta kencana dari emas, penuh dengan botol dari intan ... "Inikah punyamu?" tanya Malaikat ...
"Bukan ... gerobakku tidak sebagus itu ... mana mungkin penghasilan saya yang 3 juta sebulan bisa beli kereta kencana? Itu pun sudah ditambah komisi penjualan yang cuma sedikit.
"Malaikat itu pun menghilang lagi dan muncul dengan sebuah kereta perak dengan botol dari perunggu. "Inikah punyamu?" tanyanya lagi.
"Bukan, hai Malaikat yang baik ... Punyaku cuma dari besi biasa .. botolnya juga botol biasa ..."
Lalu Malaikat itu pergi lagi ... dan kali ini kembali dengan gerobak dan botol Si DABRUDIN."Inikah punyamu?"
"Puji Tuhan... benar ya Malaikat. Terima kasih sekali engkau telah meng-ambilkannya untukku".
Malaikat berkata", Engkau jujur sekali, ya DABRUDIN. Untuk itu sebagai hadiah ... aku berikan semua kereta dan botol tadi untukmu ...""???????? Ya, Tuhan, terimakasih .... terima kasih ya Allah ... terimakasih ya Malaikat ..." Sebulan kemudian, DABRUDIN refresing bersama istrinya di sungai yang sama ... Naas tak dapat ditolak, malang tak bisa dihindari ... Perahu karetnya terbalik dan istrinya hanyut... "Huuuuuuuuuuuuuuuuuu.... huuuuuuuuu ...... istriku ... di mana engkau ....", isaknya ...
Tiba-tiba Malaikat pun muncul lagi ... "Kenapa lagi engkau, ya DABRUDIN?" "Istri saya hanyut dan tenggelam di sungai, …Malaikat ..."
"Ohhh ... tenang ... aku ambilkan ..."
Plash ... Malaikat itu menghilang dan iba-tiba muncul kembali sambil mem-bawa Nafa Urbach ... yang ada tato awar di perutnya ... "Inikah istrimu?" tanya Malaikat ... "Betul, Malaikat ... dialah istriku ..."
"Haaaaaa .... DABRUDIN!!!" Malaikat membentak marah. "Sejak kapan kamu berani bohong? Di manakah kejujuran kamu sekarang?" Sambil bergetar dan berjongkok ... DABRUDIN berkata : "Ya, Malaikat ... kalau aku jujur ... nanti engkau menghilang lagi dan membawa Bella Saphira ... kalau kubilang lagi bukan ... maka engkau akan menghilang lagi dan membawa lagi istriku yang sebenarnya ... Lalu ... engkau akan bilang bahwa aku jujur sekali ... dan engkau akan memberikan ketiga-tiganya kepadaku... Buat membiayai hidup Nafa saja aku bingung gimana caranya ... apalagi tiga-tiganya??? "Malaikat pun termangu dan bengong... "Benar juga... kamu realistis ..."
Pertanyaan Panduan pengalaman Manusiawi
1. Pesan apa yang anda tangkap dari cerita tadi?
2. Di jaman sekarang ini “Dalam keluarga tidak perlu jujur dan terbuka lagi”. Setujukah, Bagaimana pengalaman anda?
PENGALAMAN IMAN
Bacaan Kitab Suci (Mark 1:1-8)
1 Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah.
2 Seperti ada tertulis dalam kitab nabi Yesaya: "Lihatlah, Aku me-nyuruh utusan-Ku mendahului Engkau, ia akan mempersiapkan ja-lan bagi-Mu;
3 ada suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya",
4 demikianlah Yohanes Pembaptis tampil di padang gurun dan me-nyerukan: "Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu."
5 Lalu datanglah kepadanya orang-orang dari seluruh daerah Yudea dan semua penduduk Yerusalem, dan sambil mengaku dosanya mereka dibaptis di sungai Yordan.
6 Yohanes memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit, dan makanannya belalang dan madu hutan.
7 Inilah yang diberitakannya: "Sesudah aku akan datang Ia yang lebih berkuasa dari padaku; membungkuk dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak.
8 Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus."
Pengantar Mendalami Kitab Suci
Disampaikan oleh pemandu dengan kata-kata sendiri.
Yesaya berpesan; “Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskan-lah jalan bagi-Nya”, kalimat ini tentunya bisa ditangkap bahwa masih ada jalan-jalan yang tidak lurus yang masih perlu diluruskan, sehingga jalan-jalan itu belumlah layak untuk menyambut kehadiran Tuhan.
Yohanes juga mengajak “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu.", artinya bahwa untuk menyambut kedatangan Tuhan, orang perlu bertobat, mengubah kebiasaan-kebiasaan lama yang kurang baik,kepada kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik, yang sejalan dengan kehendak Tuhan. Namun bagaimana bisa diluruskan kalau tidak tahu ada jalan yang bengkok, tidak tahu mana yang harus diubah
Marilah kita renungkan bersama dengan menjawab pertanyaan di bawah ini.
Pertanyaan Panduan Pendalaman Iman:
1. Dalam mengelola Ekonomi Rumah Tangga, kita dengar istilah “Duit lanang- duit wadon”. Artinya ada sementara penghasilan yang tidak boleh diketahui oleh pasangan bahkan oleh anggota keluarga, Setujukah anda? Mengapa!
2. Ada sementara orang berpendapat: “semua gaji sudah saya serah-kan ibumu” atau sebaliknya, sehingga aku sudah tidak mau tahu lagi. Bagaimana pendapat anda?
3. Buatlah satu niat (satu kata) kesepakatan yang akan dibuat dalam minggu ini.
(Peserta menuliskan satu kata niat pada kertas untuk dipasang di rumah, ditempelkan pada tempat yang sering dilaluinya, sehingga punya harapan selalu dibaca atau dibatinkan setiap kali lewat dide-katnya)
Membuat Keputusan Iman
• Setiap peserta diberi kesempatan untuk membuat satu niat yang mendasak diperjuangkan dalam keluarga.
• Niat ditulis dalam selembar kertas kecil yang telah disediakan.
Doa Spontan
Setelah dianggap cukup sharing dan niatnya ditulis, pemandu membuka doa umat secara spontan dan mempersilakan peserta untuk melanjut-kannya dengan doa-doa pribadi secara spontan pula.
Doa Bapa kami
Saudara-i terkasih marilah kita berdoa sebagaimana Kristus telah mengajarkan doa kepada para murid-Nya. Bapa kami……….
.
Doa Penutup
Pemandu menutup pertemuan ini dengan doa penutup yang isinya: Syukur atas rahmat Allah yang boleh membimbingnya sehingga dapat membagikan pengalamannya, dan mohon berkat atas niatnya sehingga dapat mengubah hidupnya dengan harapan keluarga semakin jujur dan terbuka, dan kelak Damai natal akan menghiasi keluarga kita.
Lagu Penutup (MB 308)
Atau dicari yang lain yang lebih sesuai dengan tema dan kondisi umat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2008
(14)
-
▼
November
(10)
- Kotbah Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam 23 Nov ...
- Sebuah usaha memahami Sakramen Perkawinan "secara ...
- Materi Pertemuan I Adven 2008
- Materi Pertemuan II Adven 2008
- Materi Pertemuan III Adven 2008
- Materi Pertemuan IV Adven 2008
- Nyanyian Kakak
- Tempayan Retak
- Materi Pendalaman Iman APP 2009
- Materi Pertemuan II Pendalaman Iman APP 2009
-
▼
November
(10)
Buah Retret 2008: Memahami Kembali Sakramen Imamat bagi Hidupku
Sahabat-sahabatku,
Setelah mengikuti retret para imam bersama Fr. Fio Mascarenhas SJ dari India, 10-14 Nov 2008 di Purwokerto, saya tergugah untuk mengolah kembali pemahamanku tentang sakramen imamat. Setelah aku ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr Julianus Sunarka SJ, waktu itu, 18 Juli 2001, ternyata tidak otomatis membuat aku dapat menghayati hidup sebagai imamat secara penuh. Tidak otomatis itu letaknya bukan pada "pencurahan Roh Kudus", melainkan pada "aspek penghayatan."
Roh Kudus itu dicurahkan kepadaku oleh Allah melalui penumpangan tangan Uskup yang dipercaya oleh Gereja sebagai penerus para Rasul. Roh itu dicurahkan secara sempurna. Akan tetapi karya Roh Kudus itu "belum lengkap", karena dibutuhkan "keterlibatanku" untuk mengambil keputusan : berkomitmen terus menerus bekerjasama dengan Kristus, sang Imam Agung. Komitmen kerjasama itu hanya mungkin terjadi kalau saya hidup dalam "persekutuan dengan Roh Kudus". Bagaimana saya bersekutu dengan Roh Kudus, karena hidupku lebih suka menghindari "salib" daripada memikul salib.
"Memikul salib" itu bukan pertama-tama penderitaan fisik yang luar biasa akibat penganiayaan. Memikul salib, sebagaimana dipahami oleh Paulus dalam Flp 2:6-11, artinya, kesediaan diri untuk "dipermalukan": membiarkan diri kehilangan berbagai hak asasi sebagai manusia: hak atas masa depan, hak untuk membela diri, hak untuk mengatakan kebenaran, hak untuk berkuasa. Akan tetapi lebih dari itu, Yesus membiarkan dirinya "tidak meminta haknya sebagai Anak Allah" bahkan mengambil rupa seorang hamba " yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:6-7) Itulah inti salib: pengosongan diri.
Bagaimana saya memikul salib, padahal salib itu menjungkirbalikkan "jalan pikiran" manusia yang lebih suka menjadi anak anak dunia. Jalan pikiran dunia adalah gerak naik, yakni meraih ambisi hidup serba nikmat, ambisi diistimewakan, dipuji, populer, menjadi hebat. Sementara jalan salib adalah jalan yang menurun: jalan pengosongan diri, di mana tidak lagi mencari kesempatan untuk hidup nikmat, tidak mencari pujian, popularitas, dan menjadi hebat, serta tidak ambisi berkuasa untuk menjadi memiliki segalanya. Karena itu, saya tidak mungkin mengandalkan kekuatan diri sendiri.
Salib Tuhan yang harus kupikul itu menantang diriku untuk mengakui "keterpecahan yang ada dalam diriku": di satu sisi memiliki niat untuk memanggul salib, namun di sisi lain ada kekuatan yang menarikku untuk menghindari salib. Tegangan itu tidak lain adalah "pertempuran antara Kuasa Roh yang menghidupkan, dan kuasa roh yang mematikan". Pertempuran itu sudah dimenangkan oleh Kuasa Roh Allah sendiri yang telah membangkitkan Kristus, setelah Ia mengalami kematian bersama dengan manusia yang berdosa. Kematian Kristus di salib menjadi "persembahan kemanusiaan yang abadi di hadapan Allah Bapa". Yesus yang wafat itu hadir di hadapan Bapa sebagai pribadi yang merepresentasi manusia yang telah berdosa. Allah menerima persembahan Kristus itu dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Karena itu berkat kematian Kristus semua orang yang mati terhadap dosa, entah dari bangsa manapun, dan dari jaman kapanpun, dianugerahi harapan akan keselamatan.
Kemenangan Kristus atas pertempuran itu terjadi karena peranan Roh Kudus dalam diri-Nya, karena Roh itu tidak lain adalah Roh Allah. Maka dalam persekutuan dengan Bapa dalam Roh Kudus, Kristus menang atas maut. Kalau Kristus, Sang Imam Agung. dan sebagai Anak Sulung, telah mendahului kita memenangkan pertempuran dengan roh jahat, mengapa saya sebagai imam, kerap kali masih ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus memberiku kekuatan untuk mengatasi "keterpecahan pribadiku" sehingga aku mampu konsisten untuk memanggul salib.
Keragu-raguan itu sebenarnya tanda bahwa aku tidak sungguh sungguh percaya kepata Allah Bapa, apakah Ia sungguh mau menganugerahkan Roh-Nya. Tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, adalah sebuah sikap yang sebenarnya curiga kepada Allah. Belum memohon pun,saya sudah meragukan, apakah Allah memang mau menganugerahkan Roh Kudus itu. Dalam Lukas 11:13 Yesus menyakinkan kita, "Jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Sabda Yesus ini meneguhkan dan memberikan kemantapan: Jangan ragu ragu untuk meminta karunia Roh!"
Dengan komitmen "terbuka untuk meminta", Sakramen tidak lagi dipahami sebagai "keran air yang siap mengucurkan rahmat ilahi", melainkan Sakramen adalah sebuah tanda kehadiran kasih Allah yang menantangku untuk menjawab: buat keputusan untuk meminta Roh agar hidupku mampu memikul salib. Membuat keputusan menjadi hal yang sulit bukan main kalau ada keterikatan emosional dengan kepentingan diri, fasilitas, dan jabatan. Di situlah letaknya penghayatan imamatku ditantang: mau menjadi pribadi yang hidup untuk mempersembahkan dirinya khusus bagi Allah dan sesama, atau menjadi pribadi yang hidup bagi dirinya sendiri.
Akhirnya menjadi imam itu bukanlah sikap "menggengam tangan". Karena "menggenggam" itu berarti ada "sesuatu yang istimewa dan kupertahankan mati-matian, jangan sampai lepas dan tidak bisa kupegang lagi". Karena itu menjadi imam bagiku sekarang adalah komitmen untuk belajar membuka genggaman tanganku agar terbukalah telapak tanganku, sehingga apapun yang kugenggam boleh diambil siapapun. Dengan cara hidup seperti itu, terbukalah kesempatan untuk selalu meminta Roh Kudus agar terlibat dalam hidupku.
yang lagi belajar berproses
bslametlasmunadipr
Setelah mengikuti retret para imam bersama Fr. Fio Mascarenhas SJ dari India, 10-14 Nov 2008 di Purwokerto, saya tergugah untuk mengolah kembali pemahamanku tentang sakramen imamat. Setelah aku ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr Julianus Sunarka SJ, waktu itu, 18 Juli 2001, ternyata tidak otomatis membuat aku dapat menghayati hidup sebagai imamat secara penuh. Tidak otomatis itu letaknya bukan pada "pencurahan Roh Kudus", melainkan pada "aspek penghayatan."
Roh Kudus itu dicurahkan kepadaku oleh Allah melalui penumpangan tangan Uskup yang dipercaya oleh Gereja sebagai penerus para Rasul. Roh itu dicurahkan secara sempurna. Akan tetapi karya Roh Kudus itu "belum lengkap", karena dibutuhkan "keterlibatanku" untuk mengambil keputusan : berkomitmen terus menerus bekerjasama dengan Kristus, sang Imam Agung. Komitmen kerjasama itu hanya mungkin terjadi kalau saya hidup dalam "persekutuan dengan Roh Kudus". Bagaimana saya bersekutu dengan Roh Kudus, karena hidupku lebih suka menghindari "salib" daripada memikul salib.
"Memikul salib" itu bukan pertama-tama penderitaan fisik yang luar biasa akibat penganiayaan. Memikul salib, sebagaimana dipahami oleh Paulus dalam Flp 2:6-11, artinya, kesediaan diri untuk "dipermalukan": membiarkan diri kehilangan berbagai hak asasi sebagai manusia: hak atas masa depan, hak untuk membela diri, hak untuk mengatakan kebenaran, hak untuk berkuasa. Akan tetapi lebih dari itu, Yesus membiarkan dirinya "tidak meminta haknya sebagai Anak Allah" bahkan mengambil rupa seorang hamba " yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:6-7) Itulah inti salib: pengosongan diri.
Bagaimana saya memikul salib, padahal salib itu menjungkirbalikkan "jalan pikiran" manusia yang lebih suka menjadi anak anak dunia. Jalan pikiran dunia adalah gerak naik, yakni meraih ambisi hidup serba nikmat, ambisi diistimewakan, dipuji, populer, menjadi hebat. Sementara jalan salib adalah jalan yang menurun: jalan pengosongan diri, di mana tidak lagi mencari kesempatan untuk hidup nikmat, tidak mencari pujian, popularitas, dan menjadi hebat, serta tidak ambisi berkuasa untuk menjadi memiliki segalanya. Karena itu, saya tidak mungkin mengandalkan kekuatan diri sendiri.
Salib Tuhan yang harus kupikul itu menantang diriku untuk mengakui "keterpecahan yang ada dalam diriku": di satu sisi memiliki niat untuk memanggul salib, namun di sisi lain ada kekuatan yang menarikku untuk menghindari salib. Tegangan itu tidak lain adalah "pertempuran antara Kuasa Roh yang menghidupkan, dan kuasa roh yang mematikan". Pertempuran itu sudah dimenangkan oleh Kuasa Roh Allah sendiri yang telah membangkitkan Kristus, setelah Ia mengalami kematian bersama dengan manusia yang berdosa. Kematian Kristus di salib menjadi "persembahan kemanusiaan yang abadi di hadapan Allah Bapa". Yesus yang wafat itu hadir di hadapan Bapa sebagai pribadi yang merepresentasi manusia yang telah berdosa. Allah menerima persembahan Kristus itu dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Karena itu berkat kematian Kristus semua orang yang mati terhadap dosa, entah dari bangsa manapun, dan dari jaman kapanpun, dianugerahi harapan akan keselamatan.
Kemenangan Kristus atas pertempuran itu terjadi karena peranan Roh Kudus dalam diri-Nya, karena Roh itu tidak lain adalah Roh Allah. Maka dalam persekutuan dengan Bapa dalam Roh Kudus, Kristus menang atas maut. Kalau Kristus, Sang Imam Agung. dan sebagai Anak Sulung, telah mendahului kita memenangkan pertempuran dengan roh jahat, mengapa saya sebagai imam, kerap kali masih ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus memberiku kekuatan untuk mengatasi "keterpecahan pribadiku" sehingga aku mampu konsisten untuk memanggul salib.
Keragu-raguan itu sebenarnya tanda bahwa aku tidak sungguh sungguh percaya kepata Allah Bapa, apakah Ia sungguh mau menganugerahkan Roh-Nya. Tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, adalah sebuah sikap yang sebenarnya curiga kepada Allah. Belum memohon pun,saya sudah meragukan, apakah Allah memang mau menganugerahkan Roh Kudus itu. Dalam Lukas 11:13 Yesus menyakinkan kita, "Jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Sabda Yesus ini meneguhkan dan memberikan kemantapan: Jangan ragu ragu untuk meminta karunia Roh!"
Dengan komitmen "terbuka untuk meminta", Sakramen tidak lagi dipahami sebagai "keran air yang siap mengucurkan rahmat ilahi", melainkan Sakramen adalah sebuah tanda kehadiran kasih Allah yang menantangku untuk menjawab: buat keputusan untuk meminta Roh agar hidupku mampu memikul salib. Membuat keputusan menjadi hal yang sulit bukan main kalau ada keterikatan emosional dengan kepentingan diri, fasilitas, dan jabatan. Di situlah letaknya penghayatan imamatku ditantang: mau menjadi pribadi yang hidup untuk mempersembahkan dirinya khusus bagi Allah dan sesama, atau menjadi pribadi yang hidup bagi dirinya sendiri.
Akhirnya menjadi imam itu bukanlah sikap "menggengam tangan". Karena "menggenggam" itu berarti ada "sesuatu yang istimewa dan kupertahankan mati-matian, jangan sampai lepas dan tidak bisa kupegang lagi". Karena itu menjadi imam bagiku sekarang adalah komitmen untuk belajar membuka genggaman tanganku agar terbukalah telapak tanganku, sehingga apapun yang kugenggam boleh diambil siapapun. Dengan cara hidup seperti itu, terbukalah kesempatan untuk selalu meminta Roh Kudus agar terlibat dalam hidupku.
yang lagi belajar berproses
bslametlasmunadipr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar