Minggu, 23 November 2008

Materi Pertemuan III Adven 2008

Pertemuan 3
RELASI DALAM KELUARGA
(Yes 61:1-11)


PEMBUKAAN
Lagu Pembukaan
Jika dipandang perlu, pertemuan diawali dengan Lagu Pembukaan yang telah dipilih dan disesuaikan dengan tema pertemuan yang akan dibahas.

Doa Pembukaan
Untuk Doa Pembukaan, pemandu atau peserta yang telah ditunjuk sebelumnya dapat menyiapkan dan membawakannya sesuai dengan situ-asi konkrit umat dalam kelompok.

Kata Pengantar
Dimaksudkan agar pemandu dengan kata-kata sendiri dapat mengantar peserta masuk ke dalam pergumulan pengalaman manusiawi melalui kisah atau cerita yang tersedia.
Pemandu juga dapat mengingatkan kembali butir-butir pokok perte-muan sebelumnya (1 dan 2) serta kaitannya dalam rangka adven 2008 ini.

PENGALAMAN MANUSIAWI
Pemaparan cerita/kisah
Cerita/kisah berikut dibacakan oleh pemandu atau peserta secara jelas dan pada saatnya didalami bersama-sama.

PIZZA HUT: PENYEGAR RELASI YANG HAMBAR?

Belum lama ini, sahabatku begitu ceria. Harapan yang dinantikan akhirnya terjadi juga. Jerawati namanya. Begitulah, tidak menyangka, relasi dengan Panurata akhirnya kembali segar, meski masih ada se-nyum kecut di bibirnya yang tebal! Relasi itu kembali segar, sejak Je-rawati mengirimkan Pizza Hut kesenangan Panurata!
Namun benarkah, Pizza Hut itu meluluhkan hati Panurata yang sempat dendam pada Jerawati? Kalau begitu, rendahkah harga diri Jerawati, sehingga ia dimaafkan karena kirim Pizza? Ataukah Pizza itu membe-rikan "kegembiraan" untuk Panurata yang sedang kesepian? Menurut-ku kalau itu benar-benar terjadi, nilai pengampunan hanya diukur ma-terialistis banget... jangan-jangan senyum itu senyum matrek. Orang mengampuni kok karena hobbynya dipenuhi... Waaaah! Atau biarlah meski matrek, toh akhirnya bisa tersenyum?
Rasa-rasanya... Jerawati tetap "diacungi jempol" karena ia tidak lagi gengsi untuk memberi pizza itu kepada Panurata meski rasanya "sakit hati" itu belum sungguh sungguh hilang. Namun, itulah sebuah usaha yang luar biasa untuk "membuat komunikasi" tercipta kembali. Dia ber-harap, pizza itu menjadi sebuah "tali kasih" yang menyambung kembali relasi yang sudah terpatah. Itulah tanda Jerawati mulai matang sebagai pribadi.
Begitulah juga harapan untuk Panurata. Semoga Panurata tidak meng-ampuni hanya gara gara diberi pizza itu, tapi ia mengampuni dengan tulus hati..... Dengan tulus hati itu, berarti ia tidak lagi memandang Jerawati dengan kacamatanya sendiri. Ia tidak lagi menghakimi, mela-inkan percaya penuh harapan bahwa orang yang bersalah itu mampu tumbuh dan berkembang makin baik!

Pertanyaan panduan sharing
1. Apakah sikap Panurata dapat dibenarkan kalau ia mengampuni Jerawati karena hobbynya makan pizza sudah terpuaskan? Menga-pa?
2. Apakah tindakan Jerawati dapat dibenarknya kalau ia mau mem-bina relasi dengan Panurata, tapi dengan cara memberi “pizza” kesukaan Panurata?
3. Siapakah yang memiliki “harapan” untuk memulihkan relasi yang telah hambar antara Panurata dan Jerawati? Mengapa?
4. Apakah cerita “Panurata dan Jerawati” tadi juga pernah terjadi di lingkungan atau keluarga Anda?

PENGALAMAN IMAN
Rangkuman dan pengantar bacaan Kitab Suci . Diusahakan agar pemandu merangkum hasil Panduan pertanyaan no. 1 dan 4. Pemandu menyampaikan pengantar untuk merenungkan Kitab Suci dengan kata-kata sendiri. Pengantar berikut hanya merupakan contoh.

Setelah kita mensharingkan kisah tadi dan mengaitkan dengan hidup keluarga kita, sebagaimana Jerawati berinisiatif untuk mem-bangun relasi dengan Panurata, apapun caranya, demikian pula dalam kitab nabi Yesaya, kita akan mengenal figur Yesaya yang berinisiatif untuk mengembalikan relasi umat-Nya yang sedang putus asa dalam masa pembuangan dengan cara meyakinkan dirinya sebagai “utusan Allah” yang dipanggil untuk membebaskan orang dari segala penderi-taannya.
Nabi Yesaya mewartakan pengharapan akan kehadiran Tuhan yang akan mengubah nasib mereka. Relasi dengan Tuhan yang dira-sakan “kering dan tiada harapan lagi” menjadi saat-saat istimewa bagi Yesaya untuk mewartakan JANJI TUHAN yang akan terjadi. Janji itu dipenuhi oleh Tuhan dalam kerjasama dengan nabi Yesaya.
Tuhan membutuhkan kehadiran Yesaya di tengah orang seng-sara, orang yang remuk redam, dan orang tawanan, orang yang ter-kurung. Bagaimana Yesaya bersedia hadir di tengah-tengah mereka yang menderita, kalau Yesaya tidak mengambil keputusan apapun dan berdiam diri. Keputusan itu dibuat oleh Yesaya, karena ia mampu mendengarkan rencana Allah pada diri-Nya. Kemampuan itu diberikan oleh Roh Tuhan. “Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku”. Bagaimanakah Roh itu berkarya secara nyata, kalau “Yesaya tidak bangkit, berdiri, berjalan dan menemui orang orang yang sedang berputus asa dan menderita?” Sekarang kita akan membaca, memahami dan merenungkan cu-plikan dari kitab nabi Yesaya

Bacaan dari Kitab Nabi Yesaya 61:1-11
1 Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah meng-urapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang re-muk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara,
2 untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung,
3 untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung, nyanyian puji-pujian ganti semangat yang pudar, supaya orang menyebutkan mereka "pohon tarbantin kebenaran", "tanaman TUHAN" untuk memperlihatkan keagungan-Nya.
4 Mereka akan membangun reruntuhan yang sudah berabad-abad, dan akan mendirikan kembali tempat-tempat yang sejak dahulu menjadi sunyi; mereka akan membaharui kota-kota yang runtuh, tempat-tempat yang telah turun-temurun menjadi sunyi.
5 Orang-orang luar akan melayani kamu sebagai gembala kambing dombamu, dan orang-orang asing akan bekerja bagimu sebagai petani dan tukang kebun anggurmu.
6 Tetapi kamu akan disebut imam TUHAN dan akan dinamai pelayan Allah kita. Kamu akan menikmati kekayaan bangsa-bangsa dan akan memegahkan diri dengan segala harta benda mereka.
7 Sebagai ganti bahwa kamu mendapat malu dua kali lipat, dan sebagai ganti noda dan ludah yang menjadi bagianmu, kamu akan mendapat warisan dua kali lipat di negerimu dan sukacita abadi akan menjadi kepunyaanmu.
8 Sebab Aku, TUHAN, mencintai hukum, dan membenci perampasan dan kecurangan; Aku akan memberi upahmu dengan tepat, dan akan mengikat perjanjian abadi dengan kamu.
9 Keturunanmu akan terkenal di antara bangsa-bangsa, dan anak cucumu di tengah-tengah suku-suku bangsa, sehingga semua orang yang melihat mereka akan mengakui, bahwa mereka adalah keturunan yang diberkati TUHAN.
10 Aku bersukaria di dalam TUHAN, jiwaku bersorak-sorai di dalam Allahku, sebab Ia mengenakan pakaian keselamatan kepadaku dan menyelubungi aku dengan jubah kebenaran, seperti pengantin laki-laki yang mengenakan perhiasan kepala dan seperti pengantin perempuan yang memakai perhiasannya.
11 Sebab seperti bumi memancarkan tumbuh-tumbuhan, dan seperti kebun menumbuhkan benih yang ditaburkan, demikianlah Tuhan ALLAH akan menumbuhkan kebenaran dan puji-pujian di depan semua bangsa-bangsa.
Panduan pertanyaan
1. Siapakah yang berinisiatif memanggil Yesaya untuk terlibat membe-baskan orang-orang dari penderitaannya?
2. Manakah janji Tuhan yang akan terjadi kepada umat Israel yang berada dalam pembuangan?
Pemandu merangkum butir-butir pokok dalam bagian ini.


REFLEKSI DAN KEPUTUSAN IMAN (AKSI NYATA)

Refleksi
Pemandu selanjutnya mengajak peserta untuk refleksi.
Butir-butir refleksi berikut dapat dikembangkan lebih lanjut oleh pe-mandu bertolak dari situasi konkrit peserta.

Dalam kaitan dengan hidup berkeluarga:
1. Siapakah yang memanggil Anda untuk hidup sebagai suami dan isteri? Apakah Anda sungguh yakin akan panggilan Anda? Mengapa?
2. Dari anggota keluarga: siapakah yang akan berinisiatif untuk per-tama-tama berusaha “menyegarkan relasi” yang hambar dan kering akibat konflik keuangan, konflik beda pendapat dst?
3. Bagaimanakah cara untuk menyegarkan relasi antar anggota keluarga yang sudah “kering”, tidak hangat? Ingatkah Anda akan Janji Nikah Anda?kalau ingat, lalu apakah yang harus dibuat?
4. Mungkinkah hidup dalam keluarga itu mengalami damai tanpa “doa”, tanpa menaruh harapan bahwa sesamaku bisa tumbuh dan berkembang, dan tanpa keberanian untuk “terlibat” dalam mengampuni agar relasi makin membaik? Mengapa?
5. Apakah Anda mampu mengampuni? Kalau tidak mampu, apakah Anda berdoa kepada Bapa dan meminta Roh Kudus agar mampu mengampuni sehingga segarlah kembali relasi dalam keluarga?

Peneguhan
Saudara-Saudara terkasih, setelah sharing cerita tentang Panurata dan Jerawati, serta mendalami bacaan di atas, kita menemukan beberapa gagasan inspiratif untuk hidup keluarga kita.
1. Roh Tuhan yang hadir dalam diri Yesaya, sekarang Roh Tuhan itu, yakni Roh Kudus juga hadir dalam keluarga berkat sakramen baptis dan sakramen perkawinan. Akan tetapi Roh itu tidak akan otomatis berkarya kalau kita tidak membuka diri dan meminta kehadiran-Nya.
2. Yesaya mengalami karya Roh Tuhan untuk hadir dan terlibat mem-bawa tanda pengharapan di tengah orang yang putus asa dan tertindas, karena Yesaya terbuka dan memutuskan untuk menerima Roh itu.
3. Demikianlah kita, harus membuka diri untuk terbuka dan meminta supaya Roh Kudus mengubah hati kita yang beku dan keras membatu, agar menjadi hati yang lemah lembut, sehingga tidak lagi terjadi “sikap mau membela diri sendiri dan mau menangnya sendiri” melainkan menjadi sikap yang murah hati untuk meng-ampuni, dan terbuka untuk dikritik serta berkembang lebih baik lagi.
4. Dengan sikap murah hati itulah kita menjadi “tanda pengharapan Tuhan” di tengah relasi keluarga yang sering kering dan hambar akibat konflik. Menjadi tanda pengharapan di tengah konflik, tidak lain adalah “mau mengampuni”: bukan melupakan kesalahan, melainkan memberi kesempatan bahwa orang itu bisa dipercaya tumbuh dan berkembang dari kerapuhannya!
5. Kita tidak mampu mengampuni tanpa mohon karunia Roh Kudus, karena pengampunan itu melawan kuasa dosa. Hanya dalam ker-jasama dengan Roh Tuhan itu, sebagai anak-anak Allah, kita akan mampu bertindak mengampuni tanpa batas kepada sesamaku dalam keluarga (bdk. Rom 8:15). Dengan mengampuni, kita meng-alami “kemerdekaan sebagai anak-anak Allah. “Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!’

Membangun Niat
Tuliskan niat pribadi Anda pada sebuah potongan kertas! Ingatlah dan kerjakan dalam hidup Anda sebagai suami, isteri, ayah, ibu atau anak! Simpanlah kartu itu dengan cara menempel di meja kerja, di pintu atau di buku harian Anda!

PENUTUP

Doa Penutup
Untuk Doa Penutup, pemandu atau peserta yang telah ditunjuk se-belumnya dapat menyiapkan dan membawakannya sesuai dengan situ-asi konkrit umat dalam kelompok.

Lagu Penutup
Seluruh pertemuan bisa diakhiri dengan Lagu Penutup yang telah di-pilih dan disesuaikan dengan tema pertemuan yang dibahas, jika hal itu dipandang perlu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buah Retret 2008: Memahami Kembali Sakramen Imamat bagi Hidupku

Sahabat-sahabatku,

Setelah mengikuti retret para imam bersama Fr. Fio Mascarenhas SJ dari India, 10-14 Nov 2008 di Purwokerto, saya tergugah untuk mengolah kembali pemahamanku tentang sakramen imamat. Setelah aku ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr Julianus Sunarka SJ, waktu itu, 18 Juli 2001, ternyata tidak otomatis membuat aku dapat menghayati hidup sebagai imamat secara penuh. Tidak otomatis itu letaknya bukan pada "pencurahan Roh Kudus", melainkan pada "aspek penghayatan."

Roh Kudus itu dicurahkan kepadaku oleh Allah melalui penumpangan tangan Uskup yang dipercaya oleh Gereja sebagai penerus para Rasul. Roh itu dicurahkan secara sempurna. Akan tetapi karya Roh Kudus itu "belum lengkap", karena dibutuhkan "keterlibatanku" untuk mengambil keputusan : berkomitmen terus menerus bekerjasama dengan Kristus, sang Imam Agung. Komitmen kerjasama itu hanya mungkin terjadi kalau saya hidup dalam "persekutuan dengan Roh Kudus". Bagaimana saya bersekutu dengan Roh Kudus, karena hidupku lebih suka menghindari "salib" daripada memikul salib.

"Memikul salib" itu bukan pertama-tama penderitaan fisik yang luar biasa akibat penganiayaan. Memikul salib, sebagaimana dipahami oleh Paulus dalam Flp 2:6-11, artinya, kesediaan diri untuk "dipermalukan": membiarkan diri kehilangan berbagai hak asasi sebagai manusia: hak atas masa depan, hak untuk membela diri, hak untuk mengatakan kebenaran, hak untuk berkuasa. Akan tetapi lebih dari itu, Yesus membiarkan dirinya "tidak meminta haknya sebagai Anak Allah" bahkan mengambil rupa seorang hamba " yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:6-7) Itulah inti salib: pengosongan diri.

Bagaimana saya memikul salib, padahal salib itu menjungkirbalikkan "jalan pikiran" manusia yang lebih suka menjadi anak anak dunia. Jalan pikiran dunia adalah gerak naik, yakni meraih ambisi hidup serba nikmat, ambisi diistimewakan, dipuji, populer, menjadi hebat. Sementara jalan salib adalah jalan yang menurun: jalan pengosongan diri, di mana tidak lagi mencari kesempatan untuk hidup nikmat, tidak mencari pujian, popularitas, dan menjadi hebat, serta tidak ambisi berkuasa untuk menjadi memiliki segalanya. Karena itu, saya tidak mungkin mengandalkan kekuatan diri sendiri.

Salib Tuhan yang harus kupikul itu menantang diriku untuk mengakui "keterpecahan yang ada dalam diriku": di satu sisi memiliki niat untuk memanggul salib, namun di sisi lain ada kekuatan yang menarikku untuk menghindari salib. Tegangan itu tidak lain adalah "pertempuran antara Kuasa Roh yang menghidupkan, dan kuasa roh yang mematikan". Pertempuran itu sudah dimenangkan oleh Kuasa Roh Allah sendiri yang telah membangkitkan Kristus, setelah Ia mengalami kematian bersama dengan manusia yang berdosa. Kematian Kristus di salib menjadi "persembahan kemanusiaan yang abadi di hadapan Allah Bapa". Yesus yang wafat itu hadir di hadapan Bapa sebagai pribadi yang merepresentasi manusia yang telah berdosa. Allah menerima persembahan Kristus itu dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Karena itu berkat kematian Kristus semua orang yang mati terhadap dosa, entah dari bangsa manapun, dan dari jaman kapanpun, dianugerahi harapan akan keselamatan.

Kemenangan Kristus atas pertempuran itu terjadi karena peranan Roh Kudus dalam diri-Nya, karena Roh itu tidak lain adalah Roh Allah. Maka dalam persekutuan dengan Bapa dalam Roh Kudus, Kristus menang atas maut. Kalau Kristus, Sang Imam Agung. dan sebagai Anak Sulung, telah mendahului kita memenangkan pertempuran dengan roh jahat, mengapa saya sebagai imam, kerap kali masih ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus memberiku kekuatan untuk mengatasi "keterpecahan pribadiku" sehingga aku mampu konsisten untuk memanggul salib.

Keragu-raguan itu sebenarnya tanda bahwa aku tidak sungguh sungguh percaya kepata Allah Bapa, apakah Ia sungguh mau menganugerahkan Roh-Nya. Tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, adalah sebuah sikap yang sebenarnya curiga kepada Allah. Belum memohon pun,saya sudah meragukan, apakah Allah memang mau menganugerahkan Roh Kudus itu. Dalam Lukas 11:13 Yesus menyakinkan kita, "Jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Sabda Yesus ini meneguhkan dan memberikan kemantapan: Jangan ragu ragu untuk meminta karunia Roh!"

Dengan komitmen "terbuka untuk meminta", Sakramen tidak lagi dipahami sebagai "keran air yang siap mengucurkan rahmat ilahi", melainkan Sakramen adalah sebuah tanda kehadiran kasih Allah yang menantangku untuk menjawab: buat keputusan untuk meminta Roh agar hidupku mampu memikul salib. Membuat keputusan menjadi hal yang sulit bukan main kalau ada keterikatan emosional dengan kepentingan diri, fasilitas, dan jabatan. Di situlah letaknya penghayatan imamatku ditantang: mau menjadi pribadi yang hidup untuk mempersembahkan dirinya khusus bagi Allah dan sesama, atau menjadi pribadi yang hidup bagi dirinya sendiri.

Akhirnya menjadi imam itu bukanlah sikap "menggengam tangan". Karena "menggenggam" itu berarti ada "sesuatu yang istimewa dan kupertahankan mati-matian, jangan sampai lepas dan tidak bisa kupegang lagi". Karena itu menjadi imam bagiku sekarang adalah komitmen untuk belajar membuka genggaman tanganku agar terbukalah telapak tanganku, sehingga apapun yang kugenggam boleh diambil siapapun. Dengan cara hidup seperti itu, terbukalah kesempatan untuk selalu meminta Roh Kudus agar terlibat dalam hidupku.

yang lagi belajar berproses
bslametlasmunadipr