Minggu, 23 November 2008

Materi Pertemuan IV Adven 2008

Pertemuan 4
KEGELISAHAN HIDUP KELUARGA MENANTANG KITA UNTUK BERHARAP KEPADA TUHAN
(Luk 1:26-38)

PEMBUKAAN
Lagu Pembukaan
Pertemuan bisa diawali dengan Lagu Pembukaan yang telah dipilih dan disesuaikan dengan tema pertemuan yang akan dibahas, jika hal itu di-pandang perlu.

Doa Pembukaan
Untuk Doa Pembukaan, pemandu atau peserta yang telah ditunjuk se-belumnya dapat menyiapkan dan membawakannya sesuai dengan situ-asi konkrit umat dalam kelompok. Dengan singkat mohon penerangan Roh Kudus, agar dalam kebersamaan dapat mengolah pengalaman ma-nusiawi dan merefleksikan dalam terang Kitab Suci, dan mampu mem-buat keputusan iman dalam rangka masa adven ini.

PENGALAMAN MANUSIAWI

Kata Pengantar
Dimaksudkan agar pemandu dengan kata-kata sendiri dapat mengantar peserta masuk ke dalam pergumulan pengalaman manusiawi melalui kisah atau cerita yang tersedia.
Pemandu juga mengingatkan kembali butir-butir pokok pertemuan se-belumnya (1, 2 dan 3) serta kaitannya dalam rangka adven 2008 ini.

Pemaparan cerita/kisah
Cerita/kisah berikut dibacakan oleh pemandu atau peserta secara jelas dan pada saatnya didalami bersama-sama.

INILAH CINTA YANG SESUNGGUHNYA
Para penumpang bus memandang penuh simpati ketika wanita muda berpenampilan menarik dan bertongkat putih itu dengan hati-hati menaiki tangga. Dia membayar sopir bus, lalu dengan tangan meraba-raba kursi, dia berjalan menyusuri lorong sampai menemukan kursi yang tadi dikatakan kosong oleh si sopir. Wanita itu kemudian duduk, meletakkan tasnya di pangkuan dan menyandarkan tongkatnya pada tungkainya.
Setahun sudah lewat sejak Susan (yang berusia 34 tahun) menja-di buta. Gara-gara salah diagnosa dia kehilangan penglihatannya dan terlempar ke dunia yang gelap gulita, rasa penuh amarah, frustrasi dan juga rasa kasihan pada diri sendiri. Sebagai wanita yang independen, Susan merasa terkutuk oleh nasib mengerikan yang membuatnya ke-hilangan kemampuan, merasa tak berdaya dan menjadi beban bagi semua orang di sekelilingnya. "Bagaimana mungkin ini bisa terjadi padaku?" dia bertanya-tanya, hatinya mengeras karena marah. Tetapi betapapun seringnya ia menangis atau menggerutu atau berdoa, dia mengerti kenyataan yang menyakitkan itu --penglihatannya takkan per-nah pulih lagi-- Depresi mematahkan semangat Susan yang tadinya se-lalu optimis. Mengisi waktu seharian kini merupakan perjuangan berat yang menguras tenaga dan membuatnya frustrasi. Dia menjadi sangat bergantung pada Mark, suaminya. Mark seorang perwira Angkatan Udara. Dia mencintai Susan dengan tulus.
Ketika istrinya baru kehilangan penglihatannya, dia melihat ba-gaimana Susan tenggelam dalam keputusasaan. Mark bertekad untuk membantunya menemukan kembali kekuatan dan rasa percaya diri yang dibutuhkan Susan untuk menjadi mandiri lagi. Latar belakang militer Mark membuatnya terlatih untuk menghadapi berbagai situasi darurat, tetapi dia tahu, ini adalah pertempuran yang paling sulit yang pernah dihadapinya.
Akhirnya Susan merasa siap bekerja lagi. Tetapi, bagaimana dia akan bisa ke kantornya? Dulu Susan biasa naik bus, tetapi sekarang ter-lalu takut untuk pergi ke kota sendirian. Mark menawarkan untuk mengantarkannya setiap hari, meskipun tempat kerja mereka terletak dipinggir kota yang berseberangan.
Mula-mula, kesepakatan itu membuat Susan nyaman dan Mark puas karena bisa melindungi istrinya yang buta, yang tidak yakin akan bisa melakukan hal-hal paling sederhana sekalipun. Tetapi, Mark se-gera menyadari bahwa pengaturan itu keliru, membuat mereka ter-buru-buru, dan terlalu mahal. Susan harus belajar naik bus lagi, Mark menyimpulkan dalam hati, tetapi baru berpikir untuk menyampaikan rencana itu kepada Susan telah membuatnya merasa tidak enak.
Susan masih sangat rapuh, masih sangat marah. Bagaimana reak-sinya nanti? Persis seperti dugaan Mark, Susan ngeri mendengar ga-gasan untuk naik bus lagi. "Aku buta!" sergahnya dengan pahit. "Ba-gaimana aku bisa tahu kemana aku pergi? Aku merasa kau akan meninggalkanku". Mark sedih mendengar kata-kata itu, tetapi ia tahu apa yang harus dilakukan.
Dia berjanji bahwa setiap pagi dan sore, ia akan naik bus bersama Susan, selama masih diperlukan, sampai Susan hafal dan bisa pergi sendiri. Dan itulah yang terjadi. Selama 2 minggu penuh Mark, meng-gunakan seragam militer lengkap, mengawal Susan ke dan dari tempat kerja, setiap hari. Dia mengajari Susan bagimana menggantungkan diri pada indranya yang lain, terutama pendengarannya, untuk menemu-kan dimana ia berada dan bagaimana beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Dia menolong Susan berkenalan dan berkawan dengan sopir-sopir bus dan menyisakan 1 kursi kosong untuknya. Dia membuat Susan tertawa, bahkan pada hari-hari yang tidak terlalu menyenangkan ketika Susan tersandung dari bus, atau menjatuhkan tasnya yang pe-nuh berkas di lorong bus.
Setiap pagi mereka berangkat bersama-sama, setelah itu Mark akan naik taksi ke kantornya. Meskipun pengaturan itu lebih mahal dan melelahkan daripada yang pertama. Mark yakin bahwa hanya soal waktu sebelum Susan mampu naik bus tanpa dikawal. Mark percaya kepadanya yakni kepada Susan yang dulu dikenalnya sebelum wanita itu kehilangan penglihatannya; dia wanita yang tidak pernah takut menghadapi tantangan apapun dan tidak akan pernah menyerah. Akhirnya, Susan memutuskan bahwa dia siap untuk melakukan perja-lanan itu seorang diri. Tibalah hari senin. Sebelum berangkat, Susan memeluk Mark yang pernah menjadi kawannya 1 bus dan sahabatnya yang terbaik.
Matanya berkaca-kaca, penuh air mata syukur karena kesetiaan, kesabaran dan cinta Mark. Dia mengucapkan selamat berpisah. Untuk pertama kalinya mereka pergi ke arah yang berlawanan. Senin, Selasa, Rabu, Kamis... Setiap hari dijalaninya dengan sempurna. Belum pernah Susan merasa sepuas itu. Dia berhasil! Dia mampu berangkat kerja tanpa dikawal. Pada hari Jum'at pagi, seperti biasa Susan naik bus ke tempat kerja. Ketika dia membayar ongkos bus sebelum turun, sopir bus itu berkata: "Wah, aku iri padamu".
Susan tidak yakin apakah sopir itu bicara kepadanya atau tidak. Lagipula, siapa yang bisa iri pada seorang wanita buta yang sepanjang tahun lalu berusaha menemukan keberanian untuk menjalani hidup? Dengan penasaran, dia berkata kepada sopir, "Kenapa kau bilang kau iri kepadaku?" Sopir itu menjawab, "Kau pasti senang selalu dilindungi dan dijagai seperti itu". Susan tidak mengerti apa maksud sopir itu.
Sekali lagi dia bertanya, "Apa maksudmu?" Kau tahu minggu ke-marin, setiap pagi ada seorang pria tampan berseragam militer berdiri di sudut jalan dan mengawasimu waktu kau turun dari bus. Dia memas-tikan bahwa kau menyeberang dengan selamat dan dia mengawasimu terus sampai kau masuk ke kantormu. Setelah itu dia meniupkan ci-uman, memberi hormat ala militer, lalu pergi. Kau wanita yang ber-untung", kata sopir itu.
Air mata bahagia membasahi pipi Susan. Karena meskipun secara fisik tidak dapat melihat Mark, dia selalu bisa memastikan kehadiran-nya. Dia beruntung, sangat beruntung, karena Mark memberikannya hadiah yang jauh lebih berharga daripada penglihatan, hadiah yang tak perlu dilihatnya dengan matanya untuk meyakinkan diri --hadiah cinta yang bisa menjadi penerang dimanapun ada kegelapan—



Panduan Pertanyaan:
a. Dari kisah tersebut, perubahan Susan menjadi buta dampaknya juga dialami oleh suaminya. Menyimak kisah pasangan suami istri (pasutri) itu dalam menghadapi dan mengatasi persoalan-nya, nilai-nilai positip apa saja yang dapat membuat hidup me-reka menjadi tegar.
b. Jika di dalam berkeluarga sedang dirundung persoalan, kege-lisahan, ataupun ketidakpastian, sikap dan semangat macam apa yang semestinya dihindari sehingga tidak semakin menam-bah beban?

PENGALAMAN IMAN
Pengantar sebelum bacaan Kitab Suci
Diusahakan agar pemandu merangkum hasil Panduan pertanyaan no. 1 dan 2 dilanjutkan ajakan untuk bersama-sama menggumuli teks Kitab Suci agar mendapatkan terang atau menangkap pesan yang terkandung di dalamnya.
Jika dipandang perlu pemandu juga dapat menjelaskan sekitar perikopa Kitab Suci yang akan dibaca dan digumuli bersama.

Bacaan Kitab Suci
Teks Kitab Suci berikut dibacakan oleh pemandu atau peserta secara jelas dan pada saatnya didalami bersama-sama.

Pemberitahuan tentang kelahiran Yesus Luk 1:26-38
26 Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret,
27 kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang ber-nama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria.
28 Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau."
29 Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu.
30 Kata malaikat itu kepadanya: "Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.
31 Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus.
32 Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Maha-tinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya,
33 dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai se-lama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan."
34 Kata Maria kepada malaikat itu: "Bagaimana hal itu mungkin ter-jadi, karena aku belum bersuami?"
35 Jawab malaikat itu kepadanya: "Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Al-lah.
36 Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, ia pun sedang me-ngandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu.
37 Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil."
38 Kata Maria: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Lalu malaikat itu mening-galkan dia.
Panduan Pertanyaan:
a. Hal-hal apa saja yang dialami Maria dalam perjumpaannya dengan malaikat Gabriel?
b. Apa yang mendasari dan memampukan Maria sehingga dapat menjawab seperti pada ayat 38?
c. Belajar dari keteladanan Maria, sikap dan semangat iman ma-cam apa yang diperlukan jika dalam keluarga menghadapi per-soalan dan ketidak pastian (kegelisahan)?

REFLEKSI DAN KEPUTUSAN IMAN (AKSI NYATA)

Rangkuman dan refleksi

Pemandu merangkum butir-butir pokok dalam pertemuan ini.Pemandu selanjutnya mengajak peserta untuk refleksi.Butir-butir refleksi berikut dapat dikembangkan lebih lanjut oleh pe-mandu bertolak dari situasi konkrit peserta:

Walaupun Maria belum tahu persis apa jaminan tentang keselamatan itu, dia tetap berani berharap dan tetap percaya kepada Allah.
Apakah dalam keraguan dan ketidakpastian yang sering dihadapi dalam keluarga, kita masih berani berharap? Masih berani pasrah kepada Allah?
Apakah kita masih berani mendampingi dan memberdayakan anggota keluargaku yang lemah dan tak berdaya?

Membuat Aksi nyata
Aksi nyata pribadi (perorangan); pemandu menjelaskan dan mengajak peserta untuk membuat rencana aksi nyata sebagai salah satu bentuk pertobatan dan akan dikerjakannya secara pribadi.
Aksi nyata bersama: seusai menggumuli tema ke 4 ini yang merupakan puncak pendalaman iman, pemandu selanjutnya menjelaskan dan mengajak peserta untuk membuat rencana aksi nyata sebagai salah satu bentuk pertobatan dan akan dikerjakannya dalam kebersamaan.

PENUTUP
Doa Penutup
Untuk Doa Penutup, pemandu atau peserta yang telah ditunjuk se-belumnya dapat menyiapkan dan membawakannya sesuai dengan situ-asi konkrit umat dalam kelompok.

Lagu Penutup
Seluruh pertemuan bisa diakhiri dengan Lagu Penutup yang telah di-pilih dan disesuaikan dengan tema pertemuan yang dibahas, jika hal itu dipandang perlu.



oyso

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buah Retret 2008: Memahami Kembali Sakramen Imamat bagi Hidupku

Sahabat-sahabatku,

Setelah mengikuti retret para imam bersama Fr. Fio Mascarenhas SJ dari India, 10-14 Nov 2008 di Purwokerto, saya tergugah untuk mengolah kembali pemahamanku tentang sakramen imamat. Setelah aku ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr Julianus Sunarka SJ, waktu itu, 18 Juli 2001, ternyata tidak otomatis membuat aku dapat menghayati hidup sebagai imamat secara penuh. Tidak otomatis itu letaknya bukan pada "pencurahan Roh Kudus", melainkan pada "aspek penghayatan."

Roh Kudus itu dicurahkan kepadaku oleh Allah melalui penumpangan tangan Uskup yang dipercaya oleh Gereja sebagai penerus para Rasul. Roh itu dicurahkan secara sempurna. Akan tetapi karya Roh Kudus itu "belum lengkap", karena dibutuhkan "keterlibatanku" untuk mengambil keputusan : berkomitmen terus menerus bekerjasama dengan Kristus, sang Imam Agung. Komitmen kerjasama itu hanya mungkin terjadi kalau saya hidup dalam "persekutuan dengan Roh Kudus". Bagaimana saya bersekutu dengan Roh Kudus, karena hidupku lebih suka menghindari "salib" daripada memikul salib.

"Memikul salib" itu bukan pertama-tama penderitaan fisik yang luar biasa akibat penganiayaan. Memikul salib, sebagaimana dipahami oleh Paulus dalam Flp 2:6-11, artinya, kesediaan diri untuk "dipermalukan": membiarkan diri kehilangan berbagai hak asasi sebagai manusia: hak atas masa depan, hak untuk membela diri, hak untuk mengatakan kebenaran, hak untuk berkuasa. Akan tetapi lebih dari itu, Yesus membiarkan dirinya "tidak meminta haknya sebagai Anak Allah" bahkan mengambil rupa seorang hamba " yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:6-7) Itulah inti salib: pengosongan diri.

Bagaimana saya memikul salib, padahal salib itu menjungkirbalikkan "jalan pikiran" manusia yang lebih suka menjadi anak anak dunia. Jalan pikiran dunia adalah gerak naik, yakni meraih ambisi hidup serba nikmat, ambisi diistimewakan, dipuji, populer, menjadi hebat. Sementara jalan salib adalah jalan yang menurun: jalan pengosongan diri, di mana tidak lagi mencari kesempatan untuk hidup nikmat, tidak mencari pujian, popularitas, dan menjadi hebat, serta tidak ambisi berkuasa untuk menjadi memiliki segalanya. Karena itu, saya tidak mungkin mengandalkan kekuatan diri sendiri.

Salib Tuhan yang harus kupikul itu menantang diriku untuk mengakui "keterpecahan yang ada dalam diriku": di satu sisi memiliki niat untuk memanggul salib, namun di sisi lain ada kekuatan yang menarikku untuk menghindari salib. Tegangan itu tidak lain adalah "pertempuran antara Kuasa Roh yang menghidupkan, dan kuasa roh yang mematikan". Pertempuran itu sudah dimenangkan oleh Kuasa Roh Allah sendiri yang telah membangkitkan Kristus, setelah Ia mengalami kematian bersama dengan manusia yang berdosa. Kematian Kristus di salib menjadi "persembahan kemanusiaan yang abadi di hadapan Allah Bapa". Yesus yang wafat itu hadir di hadapan Bapa sebagai pribadi yang merepresentasi manusia yang telah berdosa. Allah menerima persembahan Kristus itu dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Karena itu berkat kematian Kristus semua orang yang mati terhadap dosa, entah dari bangsa manapun, dan dari jaman kapanpun, dianugerahi harapan akan keselamatan.

Kemenangan Kristus atas pertempuran itu terjadi karena peranan Roh Kudus dalam diri-Nya, karena Roh itu tidak lain adalah Roh Allah. Maka dalam persekutuan dengan Bapa dalam Roh Kudus, Kristus menang atas maut. Kalau Kristus, Sang Imam Agung. dan sebagai Anak Sulung, telah mendahului kita memenangkan pertempuran dengan roh jahat, mengapa saya sebagai imam, kerap kali masih ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus memberiku kekuatan untuk mengatasi "keterpecahan pribadiku" sehingga aku mampu konsisten untuk memanggul salib.

Keragu-raguan itu sebenarnya tanda bahwa aku tidak sungguh sungguh percaya kepata Allah Bapa, apakah Ia sungguh mau menganugerahkan Roh-Nya. Tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, adalah sebuah sikap yang sebenarnya curiga kepada Allah. Belum memohon pun,saya sudah meragukan, apakah Allah memang mau menganugerahkan Roh Kudus itu. Dalam Lukas 11:13 Yesus menyakinkan kita, "Jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Sabda Yesus ini meneguhkan dan memberikan kemantapan: Jangan ragu ragu untuk meminta karunia Roh!"

Dengan komitmen "terbuka untuk meminta", Sakramen tidak lagi dipahami sebagai "keran air yang siap mengucurkan rahmat ilahi", melainkan Sakramen adalah sebuah tanda kehadiran kasih Allah yang menantangku untuk menjawab: buat keputusan untuk meminta Roh agar hidupku mampu memikul salib. Membuat keputusan menjadi hal yang sulit bukan main kalau ada keterikatan emosional dengan kepentingan diri, fasilitas, dan jabatan. Di situlah letaknya penghayatan imamatku ditantang: mau menjadi pribadi yang hidup untuk mempersembahkan dirinya khusus bagi Allah dan sesama, atau menjadi pribadi yang hidup bagi dirinya sendiri.

Akhirnya menjadi imam itu bukanlah sikap "menggengam tangan". Karena "menggenggam" itu berarti ada "sesuatu yang istimewa dan kupertahankan mati-matian, jangan sampai lepas dan tidak bisa kupegang lagi". Karena itu menjadi imam bagiku sekarang adalah komitmen untuk belajar membuka genggaman tanganku agar terbukalah telapak tanganku, sehingga apapun yang kugenggam boleh diambil siapapun. Dengan cara hidup seperti itu, terbukalah kesempatan untuk selalu meminta Roh Kudus agar terlibat dalam hidupku.

yang lagi belajar berproses
bslametlasmunadipr