Rabu, 26 November 2008

Materi Pertemuan II Pendalaman Iman APP 2009

PERTEMUAN II
GEREJA SEBAGAI “PAGUYUBAN” TERPANGGIL UNTUK TERLIBAT

TEMA: Gereja sebagai paguyuban terpanggil untuk terlibat dalam kesulitan hidup sesamanya sehingga Gereja dapat dipercaya jatidirinya di tengah dunia

TUJUAN: Agar umat beriman sampai kepada kesadaran letak “hidup paguyuban yang keliru” sampai tahu bagaimana mengubah kekeliruan itu

A. PENGALAMAN MANUSIAWI
“Komunitas Dokar” Pak Trembel
Pak Trembel memiliki dokar sebagai mata pencahariannya setiap hari untuk menghidupi 1 isteri dan 3 anaknya. Ia menetapkan tarif naik dokar dari Desa Gemah Ripah sampai Pasar Artomoro (sekitara 10 km) dengan tarif kelas I: 10.000, tapi kalau roda rusak, tidak perlu turun dan ikut memperbaiki, tarif kelas II: 7.500 kalau kereta rusak, harus turun tetapi boleh lihat saja, kelas III: 5000, harus ikut turun, harus ikut memperbaiki dan harus mendorong. Panurata pilih tarif kelas VIP, Jerawati kelas II, dan Trimbil kelas III.

Pertanyaan pendalaman cerita:
1. Kalau Bapak, Ibu dan Saudara-Saudari mau naik dokar Pak Trembel, kira kira mau naik kelas I, kelas II atau kelas III? Mengapa?
2. Apakah masih ada sifat, perilaku dan gaya hidup yang diperankan ketiga penumpang tadi: Panurata, Jerawati dan Trimbil? Manakah peran yang paling sering bermunculan dalam hidup bersama di keluarga, di lingkungan dan di paroki?
3. Apakah “komunitas dokar” itu dapat menjadi “cermin” kehidupan bersama kita dalam keluarga, lingkungan dan paroki?
4. Apakah komunitas dokar itu terbuka untuk saling mengasih?
5. Bagaimanakah Anda mengubah “komunitas dokar” tadi menjadi “komunitas Dokar” yang diwarnai kasih?

B. PENGANTAR UNTUK MENDALAMI SABDA TUHAN
Saudara saudari terkasih, “komunitas dokar” tadi mencerminkan sebuah komunitas yang dibentuk oleh tarif, meski ada kepentingan bersama, akan tetapi mereka sudah berada dalam kelas masing-masing dan memiliki “hak” yang jelas berdasarkan “tarif yang sudah dibayar”. Terbukalah kemungkinan Panurata, yang sudah membayar kelas 1 tidak peduli lagi, kalau dokar nanti rusak, apalagi memikirkan nasib kesejahteran kusirnya, Pak Trembel. Demikian juga kelas 2, Jerawati, juga tidak ambil pusing, karena sudah bayar, ya tinggal nonton saja kalau rusak. Sementara itu, Trimbil, penumpang kelas 3 merasa terpaksa harus menolong Pak Kusir karena bisanya bayar cuma kelas III. Panurata dan Jerawati bisa jadi mewakili orang kelas menengah ke atas, sementara Trembel mewakili golongan ekonomi kelas menengah kebawah, akan tetapi Trembel dapat juga belum bebas dari “keterpaksaan karena kondisi kesejahteraannya” yang terbatas .

Dengan lain kata, “komunitas dokar pak Trembel” menutup kemungkinan untuk saling memperhatikan baik antar penumpang maupun antara penumpang dengan kusirnya. Komunitas Dokar Pak Trembel tidak dapat dapat dipercaya bahwa mereka mau peduli dan terlibat dalam kesulitan hidup orang miskin. Bagaimanakah kita membentuk komunitas dokar yang “dapat dipercaya” bahwa mereka mampu terlibat dalam hidup orang miskin. Jadi, bagaimana kita mengubah komunitas dokar pak Trembel itu menjadi komunitas dokar yang “ditentukan oleh kasih”? Untuk kepentingan itu, marilah kita membaca perikop di bawah ini

Bacaan Luk 10:25-38.
10:25 Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
10:26 Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?"
10:27 Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
10:28 Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup."
10:29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?"
10:30 Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.
10:31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.
10:32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.
10:33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.
10:34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.
10:35 Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
10:36 Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?"
10:37 Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!"

PERTANYAAN PENDALAMAN SABDA TUHAN
1. Siapa sajakah yang TIDAK BERBUAT APAPUN SAAT MEREKA MELIHAT dan MELEWATI “seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho tetapi ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.”? Mengapa kira-kira mereka tidak berbuat?
2. Siapakah yang ambil tindakan saat MELIHAT orang yang menjadi korban penyamun itu? Apakah yang ia perbuat?
3. Manakah peran yang akan Anda ambil, sebagai imam, kaum Lewi atau orang Samaria? Mengapa Anda mengambil peran itu?
4. Dari sudut pandang orang samaria yang menolong, siapakah sesamaku? Dari sudut pandang “orang yang jatuh dan jadi korban penyamun”, siapakah sesamanya?
5. Apakah “orang miskin” itu sesamamu? Mengapa? Jadi, siapakah orang miskin?
6. Kalau kita sebagai anggota Gereja, namun tidak peduli dengan orang miskin yang kurang memiliki jaringan untuk memperoleh berbagai kesempatan mengembangkan diri, apakah kita dapat dipercaya sebagai Gereja yang hadir untuk menjadi tanda dan sarana keselamatan bagi dunia? Mengapa?


C. PENEGUHAN untuk membangun niat bertobat!
1. Sikap Acuh tak acuh dari para imam dan kaum Lewi terhadap orang yang jelas kelihatan kasat mata menderita seperti dikisahkan dalam perumpaan “Orang Samaria yang Baik Hati”, bisa jadi menggambarkan salah satu aspek relasi antar manusia jaman sekarang. “Acuh tak Acuh” membuat relasi antar manusia “rusak” karena orang berpikir untuk diri sendiri. Akar dari gaya hidup “acuh tak acuh” adalah minimnya kualitas relasi manusia dengan Allah.

2. Relasi dengan Allah dapat ditingkatkan dengan belajar “berdoa”, belajar “mengalami salib” dan “belajar berani menjadi saksi iman” dengan segala macam resiko. Belajar berdoa itu bukan sekedar “basa basi” karena berdoa adalah SEBUAH TINDAKAN untuk berjumpa dengan ALLAh, karena kita anak-anak Allah dan ahli waris-Nya. Dalam doa kita akan mampu mengenal siapa ALLah yang mencintaiku dan mengenal siapakah sesamaku (cfr. Tom Jacobs, “Teologi Doa”, 2005). Orang yang mengenal Allah, adalah Bapanya yang mencintai, mengampuni dan menyertainya, akan tergerak hidup dalam pengharapan, akhirnya akan tergerak pula untuk menyangkal dirinya: mengosongkan diri, agar mampu membagikan “pengalaman dikasihinya” dengan sesama yang membutuhkan (kesaksian iman). Karena itu, semakin akrab kita berelasi dengan Tuhan, akhirnya siapakah sesamaku itu dikenal, yakni siapapun yang menjadi ciptaan-Nya, juga kalau orang itu jatuh miskin, korban penindasan, korban bencana, dsb. Mereka adalah satu dalam saudara karena diciptakan oleh satu Allah yang sama.

3. Jadi siapakah orang miskin? Orang miskin tidak lain adalah orang yang kurang memiliki BERBAGAI KESEMPATAN UNTUK MENGEMBANGKAN DIRINYA SEBAGAI MANUSIA YANG UTUH: yakni sebagai manusia yang memiliki otonomi dunia dan sebagai anak Allah yang makin sempurna. Kesempatan itu antara lain: kesempatan untuk memperoleh kebutuhan pokok hidupnya (sandang, pangan, papan), kesempatan pelayanan kesehatan yang memadai, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar, kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan kesempatan untuk menentukan dirinya sendiri, dan kesempatan untuk bekerja dan menghidupi dirinya sendiri, kesempatan minta tolong kepada orang lain. Akhirnya mereka kurang memiliki “JARINGAN LUAS” untuk mendapatkan berbagai kesempatan berkembang.

4. Namun siapakah yang membuat orang miskin tidak memiliki jaringan itu? Pertama-tama kita tidak akan menyalahkan orang miskin itu. Akan tetapi bahwa orang miskin kerapkali “kurang diajak untuk berdialog” dari pihak yang lebih kuat (pencipta kesempatan). Bagaimanakah kita akan menciptakan dialog dengan orang miskin kalau kita belum memiliki paradigma baru bahwa mereka itu “satu saudara” sebagai sesama ciptaan Allah yang satu dan esa!

5. Dengan segala kondisi yang terbatas itu, orang miskin selalu memanggil kita untuk menjadi sesamanya agar kita terlibat dalam hidupnya. Namun bagaimanakah kita mau mendengar panggilan orang miskin itu kalau kita masih selalu “mendengarkan” suara-suara “yang menyenangkan, membuat nyaman dan membuat nikmat, serta memuaskan batin”. “Suara-suara” itu bisa jadi adalah “keinginan-keinginan diri kita” yang tidak teratur. Keinginan itu terasa makin “mendesak” untuk dipenuhi kalau kita tidak belajar untuk ‘MENGOSONGKAN DIRI”. Dalam PENGOSONGAN DIRI, kita menjadi murid yang belajar untuk menahan keinginan itu dan malahan melepaskannya apalagi kalau keinginan itu sampai “memabokkan” kita. Misalnya kalau kita sudah marah kalau tidak merokok sehari saja, “siapakah yang jadi tuhan” sebenarnya? Kalau seorang anak ditampar karena memecahkan gelas, siapakah yang lebih berharga: anak atau gelas? Kalau seorang ayah atau ibu marah-marah, karenan nilai ujian anaknya di bawah standar, sebenarnya anak itu dianugerahkan untuk dicintai atau diperlakukan sebagai sarana untuk “memuaskan hati orang tuanya”?

6. Pengosongan diri itulah yang memungkinkan orang “mampu saling mendengarkan” dalam sebuah paguyuban. Maka, manakah “KLANGENAN”, sesuatu yang istimewa dan membuat kita tidak bisa tidak harus menikmati tiap hari? KLANGENAN itulah yang harus dilepaskan, agar kita mampu mendengarkan jeritan orang minta tolong.

7. Manakah perbuatan konkret yang harus kujalani agar aku mampu melepaskan berbagai “KLANGENAN” yang menghambat relasiku dengan Tuhan dan sesama?

D. MEMBANGUN NIAT ATAU KEPUTUSAN UNTUK BERTOBAT
Tulislah niat Anda dalam potongan kertas ¼ folio, lalu tempelkan di tempat yang paling sering Anda kunjungi di rumah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buah Retret 2008: Memahami Kembali Sakramen Imamat bagi Hidupku

Sahabat-sahabatku,

Setelah mengikuti retret para imam bersama Fr. Fio Mascarenhas SJ dari India, 10-14 Nov 2008 di Purwokerto, saya tergugah untuk mengolah kembali pemahamanku tentang sakramen imamat. Setelah aku ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr Julianus Sunarka SJ, waktu itu, 18 Juli 2001, ternyata tidak otomatis membuat aku dapat menghayati hidup sebagai imamat secara penuh. Tidak otomatis itu letaknya bukan pada "pencurahan Roh Kudus", melainkan pada "aspek penghayatan."

Roh Kudus itu dicurahkan kepadaku oleh Allah melalui penumpangan tangan Uskup yang dipercaya oleh Gereja sebagai penerus para Rasul. Roh itu dicurahkan secara sempurna. Akan tetapi karya Roh Kudus itu "belum lengkap", karena dibutuhkan "keterlibatanku" untuk mengambil keputusan : berkomitmen terus menerus bekerjasama dengan Kristus, sang Imam Agung. Komitmen kerjasama itu hanya mungkin terjadi kalau saya hidup dalam "persekutuan dengan Roh Kudus". Bagaimana saya bersekutu dengan Roh Kudus, karena hidupku lebih suka menghindari "salib" daripada memikul salib.

"Memikul salib" itu bukan pertama-tama penderitaan fisik yang luar biasa akibat penganiayaan. Memikul salib, sebagaimana dipahami oleh Paulus dalam Flp 2:6-11, artinya, kesediaan diri untuk "dipermalukan": membiarkan diri kehilangan berbagai hak asasi sebagai manusia: hak atas masa depan, hak untuk membela diri, hak untuk mengatakan kebenaran, hak untuk berkuasa. Akan tetapi lebih dari itu, Yesus membiarkan dirinya "tidak meminta haknya sebagai Anak Allah" bahkan mengambil rupa seorang hamba " yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:6-7) Itulah inti salib: pengosongan diri.

Bagaimana saya memikul salib, padahal salib itu menjungkirbalikkan "jalan pikiran" manusia yang lebih suka menjadi anak anak dunia. Jalan pikiran dunia adalah gerak naik, yakni meraih ambisi hidup serba nikmat, ambisi diistimewakan, dipuji, populer, menjadi hebat. Sementara jalan salib adalah jalan yang menurun: jalan pengosongan diri, di mana tidak lagi mencari kesempatan untuk hidup nikmat, tidak mencari pujian, popularitas, dan menjadi hebat, serta tidak ambisi berkuasa untuk menjadi memiliki segalanya. Karena itu, saya tidak mungkin mengandalkan kekuatan diri sendiri.

Salib Tuhan yang harus kupikul itu menantang diriku untuk mengakui "keterpecahan yang ada dalam diriku": di satu sisi memiliki niat untuk memanggul salib, namun di sisi lain ada kekuatan yang menarikku untuk menghindari salib. Tegangan itu tidak lain adalah "pertempuran antara Kuasa Roh yang menghidupkan, dan kuasa roh yang mematikan". Pertempuran itu sudah dimenangkan oleh Kuasa Roh Allah sendiri yang telah membangkitkan Kristus, setelah Ia mengalami kematian bersama dengan manusia yang berdosa. Kematian Kristus di salib menjadi "persembahan kemanusiaan yang abadi di hadapan Allah Bapa". Yesus yang wafat itu hadir di hadapan Bapa sebagai pribadi yang merepresentasi manusia yang telah berdosa. Allah menerima persembahan Kristus itu dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Karena itu berkat kematian Kristus semua orang yang mati terhadap dosa, entah dari bangsa manapun, dan dari jaman kapanpun, dianugerahi harapan akan keselamatan.

Kemenangan Kristus atas pertempuran itu terjadi karena peranan Roh Kudus dalam diri-Nya, karena Roh itu tidak lain adalah Roh Allah. Maka dalam persekutuan dengan Bapa dalam Roh Kudus, Kristus menang atas maut. Kalau Kristus, Sang Imam Agung. dan sebagai Anak Sulung, telah mendahului kita memenangkan pertempuran dengan roh jahat, mengapa saya sebagai imam, kerap kali masih ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus memberiku kekuatan untuk mengatasi "keterpecahan pribadiku" sehingga aku mampu konsisten untuk memanggul salib.

Keragu-raguan itu sebenarnya tanda bahwa aku tidak sungguh sungguh percaya kepata Allah Bapa, apakah Ia sungguh mau menganugerahkan Roh-Nya. Tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, adalah sebuah sikap yang sebenarnya curiga kepada Allah. Belum memohon pun,saya sudah meragukan, apakah Allah memang mau menganugerahkan Roh Kudus itu. Dalam Lukas 11:13 Yesus menyakinkan kita, "Jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Sabda Yesus ini meneguhkan dan memberikan kemantapan: Jangan ragu ragu untuk meminta karunia Roh!"

Dengan komitmen "terbuka untuk meminta", Sakramen tidak lagi dipahami sebagai "keran air yang siap mengucurkan rahmat ilahi", melainkan Sakramen adalah sebuah tanda kehadiran kasih Allah yang menantangku untuk menjawab: buat keputusan untuk meminta Roh agar hidupku mampu memikul salib. Membuat keputusan menjadi hal yang sulit bukan main kalau ada keterikatan emosional dengan kepentingan diri, fasilitas, dan jabatan. Di situlah letaknya penghayatan imamatku ditantang: mau menjadi pribadi yang hidup untuk mempersembahkan dirinya khusus bagi Allah dan sesama, atau menjadi pribadi yang hidup bagi dirinya sendiri.

Akhirnya menjadi imam itu bukanlah sikap "menggengam tangan". Karena "menggenggam" itu berarti ada "sesuatu yang istimewa dan kupertahankan mati-matian, jangan sampai lepas dan tidak bisa kupegang lagi". Karena itu menjadi imam bagiku sekarang adalah komitmen untuk belajar membuka genggaman tanganku agar terbukalah telapak tanganku, sehingga apapun yang kugenggam boleh diambil siapapun. Dengan cara hidup seperti itu, terbukalah kesempatan untuk selalu meminta Roh Kudus agar terlibat dalam hidupku.

yang lagi belajar berproses
bslametlasmunadipr