Rabu, 26 November 2008

Materi Pendalaman Iman APP 2009

PERTEMUAN I

TEMA: Menjadi murid Kristus itu belajar untuk mengosongkan diri

TUJUAN: Agar umat beriman mengerti arti “mengosongkan diri” dan menyadari pribadinya apakah sudah “mengosongkan diri”, atau malah tahu tapi acuh tak acuh, atau tidak pernah terpikirikan?

PENGALAMAN MANUSIAWI

A. ILUSTRASI:

Di saat ikan mudah ditangkap di pinggir pantai Jepang, ikan-ikan itu bisa dijual di pasaran Jepang dalam kondisi segar bugar sehingga harganya pun mahal. Sebagai pecinta ikan mentah, rakyat Jepang amat menghargai kesegaran ikan. Namun, lama kelamaan, ikan makin sulit di dapat di pinggiran, sehingga nelayan mesti ke tengah laut untuk mendapatkannya. Sayang, makin jauh ke laut, makin jauh pula jarak pulang, sehingga ikan sudah tidak segar lagi ketika sampai ke pasar. Harga ikan pun jatuh.

Para nelayan mesti putar otak untuk menyiasatinya. Maka dilengkapilah kapal dengan pendingin agar ikan tetap segar. Tapi ternyata orang Jepang tak suka ikan beku. Harga jual tetap jatuh. Tak kehabisan akal, kapal mereka dilengkapi dengan tangki besar agar ikan tetap hidup sampai di pasar. Namun, karena tangkapan yang dimasukkan ke tangki banyak, ikan berdesak-desakan sehingga kurang gerak. Ternyata, daging ikan yang kurang gerak tidak seenak daging ikan lincah yang hidup di alam bebas. Maka, meski harga lebih bagus ketimbang ikan beku, tetaplah tidak semahal ikan tangkapan di tepi pantai.

Setelah putar otak, bingo! mereka dapat ide: Masukkan hiu-hiu kecil ke dalam tangki tersebut. Memang, hiu kecil itu akan memakan sebagian ikan. Namun, kehadiran ikan pemakan ikan itu menimbulkan kekalutan di dalam tangki, ikan-ikan berlarian sekuat tenaga menghindari sergapan hiu kecil. Akibatnya, sesampai di pantai, ikan dalam kondisi segar, karena mereka terus bergerak lincah sepanjang perjalanan. Harga jual ikan pun kembali semahal harga ikan yang ditangkap di pinggir pantai. (SUMBER: http://www.sudutpandang.com/inspirasi/undanglah-hiu-hiu-kecil-dalam-hidup-anda)

B. PERTANYAAN untuk memperdalam cerita:

1. Bagaimanakah cara para nelayan membuat ikan-ikan hasil tangkapannya tetap segar dan dagingnya juga tetap enak?

2. Bagaimanakah caranya hidup kita tetap “segaaar”: bergairah dan penuh harapan?

3. Apakah “hiu-hiu kecil” yang perlu kita cari agar membuat hidup kita itu tetap segar dan penuh gairah?

4. Maukah Anda diberi “hiu-hiu kecil” dalam hidup Anda? Mengapa?

5. Jadi “hiu-hiu kecil” itu dihindari, dibiarkan atau malahan Anda mau mencari “hiu-hiu kecil” itu?

C. RANGKUMAN untuk mengantar pada pembacaan dan pendalaman Sabda Tuhan.

Saudara-Saudari, betapa kita sering menghindari “hiu-hiu kecil” dalam hidup ini, meski kita berkeinginan untuk hidup penuh kesegaran dan penuh gairah dan harapan. Akan tetapi kita malah menghindari dan tidak mau diberi “hiu-hiu kecil itu.” Hiu-hiu kecil itu bisa jadi berupa kritik yang pedas dan membodoh-bodohkan kita, atau fitnah dan tuduhan yang tidak beralasan, penilaian dan komentar yang “sekarepe inyong” atas tulisan, perkataan, pikiran dan perbuatan yang kita lakukan. “Hiu-hiu itu membuat harga diri kita ini sepertinya dipermalukan, direndahkan dan dilecehkan.” Pada saat-saat merasa “dipermalukan, direndahkan dan dilecehkan” kita merasa tidak lagi punya harapan karena kita mau mempertahankan HARGA DIRI kita agar TIDAK TERJATUH!

Kalau kita sekarang bercermin kepada Yesuss, apakah Yesus mau bersikukuh dan berkeras hati untuk mempertahankan HARGA DIRI-NYA sebagai pribadi yang SETARA DENGAN ALLAH? Marilah kita membaca Flp 2:5-11

D. BACAAN SABDA ALLAH

Bacaan diambil dari Surat Rasul Paulus kepada umat di Jemaat Filipi (2:5-11)

2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,

2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,

2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

2:9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,

2:10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,

2:11 dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa

Pengantar dan pertanyaan panduan untuk memahami Sabda Tuhan

Saudara-Saudari, Kristus Yesus walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Apakah yang terjadi “dengan pengosongan diri”? Yesus tidak menuntut hak-Nya sebagai Anak Allah untuk membela diri bahwa Ia benar. Dia juga tidak menggunakan “daya kekuatan keilahian-Nya untuk menyelamatkan diri dari kejaran, penangkapan sampai pada penyaliban-Nya”. Bagaimana kita bisa membayangkan, Yesus yang sadar diri sebagai Anak Allah membiarkan diri-Nya dipermalukan oleh bangsa-Nya sendiri: bahkan oleh para imam, ahli Taurat, tokoh agama Yahudi dan rakyat Yahudi sebagai orang yang tertuduh menghojat Allah. Itulah sebabnya tidak mengherankan Yesus berdoa di taman Getsmani, sampai keringat menetes bagaikan darah: Dia ketakutan luar biasa karena HARGA DIRINYA akan dijatuhkan dengan cara sengsara dan mati disalib!! "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. … "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.(Mat 26:38-39). Akhirnya Yesus memutuskan untuk taat kepada kehendak Bapa. Yesus “menyerahkan diri” untuk taat sampai mati bahkan mati di salib dengan bertindak sebagai manusia dalam rupa seorang hamba.

Dengan ketaatan sampai mati disalib Yesus kehilangan 3 kesempatan untuk MENAIKKAN HARGA DIRINYA:

(1) Yesus kehilangan kesempatan untuk mencari KENIKMATAN dalam mencapai tujuan, tetapi Ia memilih JALAN PENDERITAAN untuk menanggung beban dosa manusia (bdk. Godaan Yesus di padang gurun,untuk mengubah batu menjadi roti, pada saat Yesus kelaparan setelah puasa 40 hari 40 malam)

(2) Yesus kehilangan kesempatan untuk DIPUJI dan DIISTIMEWAKAN, POPULARITASNYA bukan karena kehebatan-Nya, namun dengan disalib, Yesus menjadi POPULER karena DITUDUH MENGHOJAT ALLAH. (bdk. Godaan Yesus untuk jatuh dari bubungan Bait Allah karena pastilah para malaikat akan menatangnya)

(3) Yesus kehilangan kesempatan untuk BERTINDAK & BERKUASA MENURUT KEHENDAK BEBASNYA SECARA MUTLAK, AGAR MEMILIKI BUMI dan SEGALA ISINYA, melainkan Ia menjadi pribadi yang mengambil rupa seorang hamba, yang harus menyerahkan kehendak bebasnya!

Setelah menyerahkan diri sampai taat dan mati disalib, Yesus ditinggikan oleh Bapa, dengan membangkitkan-Nya dari antara orang mati. Karena itu Kebangkitan Yesus memberikan (1) MAKNA BARU terhadap KEMATIAN. Kematian tidak lagi menjadi akhir segala-galanya, melainkan justru hidup baru, kalau kita setia memikul salib. Maka Yesus yang sudah mendahului memikul salib-Nya selalu mengajak kita untuk menyangkal diri dan memikul salib kita masing-masing. JANGAN RAGU-RAGU MEMANGGUL SALIB! KRISTUS, SANG PUTRA SULUNG SUDAH MENDAHULUI, DAN AKHIRNYA DIBANGKITKAN OLEH ALLAH BAPA!

Kebangkitan Yesus juga memberikan (2) MAKNA PENGHARAPAN AKAN KEHIDUPAN KEKAL bagi semua orang sepanjang masa, baik sebelum Yesus maupun sesudahnya dan sampai selama manusia masih di muka bumi ini. Harapan akan kehidupan kekal itu lahir karena kematian manusia telah dipersatukan dengan kematian Kristus, Sang Anak Allah. Justru karena wafat Kristus itulah, kematian manusia diangkat dalam keilahian-Nya sehingga kematian bukan lagi malapetaka melainkan “AWAL HIDUP BARU” bersama dengan Kristus yang telah bangkit.

PERTANYAAN PENDALAMAN

1. Apakah Saudara semua mau KEHILANGAN HARGA DIRI karena sering dikritik, dicela, disalah-salahkan, difitnah, jabatan dihambat? Mengapa?

2. Kalau kita tidak mau KEHILANGAN HARGA DIRI dalam berbagai macam peristiwa, masih layakkah kita menjadi pengikut Kristus, padahal kita rajin berdoa, rajin bekerja, rajin pendalaman iman, aktif berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat?

3. Apakah Saudara semua pernah DENGAN SENGAJA membiarkan HARGA DIRI Anda dijatuhkan oleh orang lain? Kapan? Bagaimana rasanya: SAAT TERJADI PERISTIWANYA, dan SESUDAHNYA? Adakah KEDAMAIAN setelah rela dipermalukan? Mengapa?

4. Apakah tindakan konkret yang dapat menunjukkan sikap orang mau “MEMBIARKAN HARGA DIRINYA JATUH?”

BUTIR-BUTIR REFLEKSI

1. Kehilangan harga diri tidak lain adalah INTI “SEMANGAT PENGOSONGAN DIRI”,itulah SALIB TUHAN yang dipercayakan kepada kita. Karena itu NON SENSE- OMONG KOSONG, kalau kita rajin berdoa, melayani, aktif di lingkungan dan masyarakat tapi kita begitu kukuh untuk MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI bila menghadapi tantangan dikritik, dicurigai, dicela, difitnah atau dituduh dst.

2. Kehilangan harga diri tidak membuat kita jatuh terpuruk di hadapan Allah, meski di hadapan manusia terpuruk! Karena kita semua sudah memiliki MARTABAT SEBAGAI ANAK ALLAH DAN AHLI WARISNYA!!

3. Pengalaman akan KEDAMAIAN akan terjadi setelah kita rela mengalami pengalaman pahit: membiarkan HARGA DIRI KITA JATUH: dengan berterima kasih kalau dikritik, berilah muka tersenyum ketika difitnah dan dicurigai, mintalah untuk dinilai setelah pekerjaan selesai, dst.

MEMBUAT NIAT PRIBADI ATAU KELOMPOK:

1. Apakah yang akan kuperbuat setelah pulang pendalaman iman: adakah sikap perbuatan yang mau dilakukan dalam keluargamu secara konkret selama seminggu ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buah Retret 2008: Memahami Kembali Sakramen Imamat bagi Hidupku

Sahabat-sahabatku,

Setelah mengikuti retret para imam bersama Fr. Fio Mascarenhas SJ dari India, 10-14 Nov 2008 di Purwokerto, saya tergugah untuk mengolah kembali pemahamanku tentang sakramen imamat. Setelah aku ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr Julianus Sunarka SJ, waktu itu, 18 Juli 2001, ternyata tidak otomatis membuat aku dapat menghayati hidup sebagai imamat secara penuh. Tidak otomatis itu letaknya bukan pada "pencurahan Roh Kudus", melainkan pada "aspek penghayatan."

Roh Kudus itu dicurahkan kepadaku oleh Allah melalui penumpangan tangan Uskup yang dipercaya oleh Gereja sebagai penerus para Rasul. Roh itu dicurahkan secara sempurna. Akan tetapi karya Roh Kudus itu "belum lengkap", karena dibutuhkan "keterlibatanku" untuk mengambil keputusan : berkomitmen terus menerus bekerjasama dengan Kristus, sang Imam Agung. Komitmen kerjasama itu hanya mungkin terjadi kalau saya hidup dalam "persekutuan dengan Roh Kudus". Bagaimana saya bersekutu dengan Roh Kudus, karena hidupku lebih suka menghindari "salib" daripada memikul salib.

"Memikul salib" itu bukan pertama-tama penderitaan fisik yang luar biasa akibat penganiayaan. Memikul salib, sebagaimana dipahami oleh Paulus dalam Flp 2:6-11, artinya, kesediaan diri untuk "dipermalukan": membiarkan diri kehilangan berbagai hak asasi sebagai manusia: hak atas masa depan, hak untuk membela diri, hak untuk mengatakan kebenaran, hak untuk berkuasa. Akan tetapi lebih dari itu, Yesus membiarkan dirinya "tidak meminta haknya sebagai Anak Allah" bahkan mengambil rupa seorang hamba " yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:6-7) Itulah inti salib: pengosongan diri.

Bagaimana saya memikul salib, padahal salib itu menjungkirbalikkan "jalan pikiran" manusia yang lebih suka menjadi anak anak dunia. Jalan pikiran dunia adalah gerak naik, yakni meraih ambisi hidup serba nikmat, ambisi diistimewakan, dipuji, populer, menjadi hebat. Sementara jalan salib adalah jalan yang menurun: jalan pengosongan diri, di mana tidak lagi mencari kesempatan untuk hidup nikmat, tidak mencari pujian, popularitas, dan menjadi hebat, serta tidak ambisi berkuasa untuk menjadi memiliki segalanya. Karena itu, saya tidak mungkin mengandalkan kekuatan diri sendiri.

Salib Tuhan yang harus kupikul itu menantang diriku untuk mengakui "keterpecahan yang ada dalam diriku": di satu sisi memiliki niat untuk memanggul salib, namun di sisi lain ada kekuatan yang menarikku untuk menghindari salib. Tegangan itu tidak lain adalah "pertempuran antara Kuasa Roh yang menghidupkan, dan kuasa roh yang mematikan". Pertempuran itu sudah dimenangkan oleh Kuasa Roh Allah sendiri yang telah membangkitkan Kristus, setelah Ia mengalami kematian bersama dengan manusia yang berdosa. Kematian Kristus di salib menjadi "persembahan kemanusiaan yang abadi di hadapan Allah Bapa". Yesus yang wafat itu hadir di hadapan Bapa sebagai pribadi yang merepresentasi manusia yang telah berdosa. Allah menerima persembahan Kristus itu dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Karena itu berkat kematian Kristus semua orang yang mati terhadap dosa, entah dari bangsa manapun, dan dari jaman kapanpun, dianugerahi harapan akan keselamatan.

Kemenangan Kristus atas pertempuran itu terjadi karena peranan Roh Kudus dalam diri-Nya, karena Roh itu tidak lain adalah Roh Allah. Maka dalam persekutuan dengan Bapa dalam Roh Kudus, Kristus menang atas maut. Kalau Kristus, Sang Imam Agung. dan sebagai Anak Sulung, telah mendahului kita memenangkan pertempuran dengan roh jahat, mengapa saya sebagai imam, kerap kali masih ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus memberiku kekuatan untuk mengatasi "keterpecahan pribadiku" sehingga aku mampu konsisten untuk memanggul salib.

Keragu-raguan itu sebenarnya tanda bahwa aku tidak sungguh sungguh percaya kepata Allah Bapa, apakah Ia sungguh mau menganugerahkan Roh-Nya. Tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, adalah sebuah sikap yang sebenarnya curiga kepada Allah. Belum memohon pun,saya sudah meragukan, apakah Allah memang mau menganugerahkan Roh Kudus itu. Dalam Lukas 11:13 Yesus menyakinkan kita, "Jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Sabda Yesus ini meneguhkan dan memberikan kemantapan: Jangan ragu ragu untuk meminta karunia Roh!"

Dengan komitmen "terbuka untuk meminta", Sakramen tidak lagi dipahami sebagai "keran air yang siap mengucurkan rahmat ilahi", melainkan Sakramen adalah sebuah tanda kehadiran kasih Allah yang menantangku untuk menjawab: buat keputusan untuk meminta Roh agar hidupku mampu memikul salib. Membuat keputusan menjadi hal yang sulit bukan main kalau ada keterikatan emosional dengan kepentingan diri, fasilitas, dan jabatan. Di situlah letaknya penghayatan imamatku ditantang: mau menjadi pribadi yang hidup untuk mempersembahkan dirinya khusus bagi Allah dan sesama, atau menjadi pribadi yang hidup bagi dirinya sendiri.

Akhirnya menjadi imam itu bukanlah sikap "menggengam tangan". Karena "menggenggam" itu berarti ada "sesuatu yang istimewa dan kupertahankan mati-matian, jangan sampai lepas dan tidak bisa kupegang lagi". Karena itu menjadi imam bagiku sekarang adalah komitmen untuk belajar membuka genggaman tanganku agar terbukalah telapak tanganku, sehingga apapun yang kugenggam boleh diambil siapapun. Dengan cara hidup seperti itu, terbukalah kesempatan untuk selalu meminta Roh Kudus agar terlibat dalam hidupku.

yang lagi belajar berproses
bslametlasmunadipr