Sabtu, 22 November 2008

Kotbah Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam 23 Nov 2008

Saudara-Saudari terkasih,
Saya mau mengawali kotbah pada hari Raya Kristus Raja semesta alam dengan bercerita tentang "Dokar Pak Trembel".

Pak Trembel memiliki dokar sebagai mata pencahariannya setiap hari untuk menghidupi 1 isteri dan 3 anaknya. Ia menetapkan tarif naik dokar dari Desa Gemah Ripah sampai Pasar Artomoro (sekitara 10 km) dengan tarif kelas VIP: 10.000, tapi kalau roda rusak, tidak perlu turun dan ikut memperbaiki, tarif kelas II: 7.500 kalau kereta rusak, harus turun tetapi boleh lihat saja, kelas III: 5000, harus ikut turun, harus ikut memperbaiki dan harus mendorong. Panurata pilih tarif kelas VIP, Jerawati kelas II, dan Trimbil kelas III.

Kira-kira, apakah Bapak Ibu, anak-anak, mau memilih kelas III? Pasti rasanya kita enggan memilih kelas III, kita lebih suka kelas I, meski mahal, tapi nggak masalah, jadi nggak kerepotan. Masak sudah bayar masih mau disuruh ikut memperbaiki, enak aja!!

Saudara-Saudariku terkasih, mungkinkah dalam "kelompok para penumpang dokar" tadi ada getaran hati untuk saling menolong antara penumpang dan kusir dokar, Pak Trembel? Trimbil mungkin terpaksa harus ikut menolong, karena ya bagaimanapun juga dia orang pas-pasan dari segi keuangan. Ataukah kita mau berperan sebagai Jerawati, yang pinter jadi "pengamat" saja, toh memang sudah membayar sebagaimana tawar menawar dengan kusir. Apalagi Panurata, ia mengatakan tidak akan menolong, kan dia sudah menepati janji sebelum naik, mau naik kelas 1 dengan syarat tidak usah turun dan memperbaiki kalau kereta rusak. Diri kita mau pilih berperan sebagai Panurata, Jerawati atau Trimbil?

Saudara-Saudara terkasih, kelompok penumpang tadi yang tercipta karena "ketentuan tarif kelas utama, kelas II dan kelas III", menutup kemungkinan untuk mendengarkan jeritan kusir yang butuh pertolongan, meski kusir itu ada di depan matanya. Orang seperti Trimbil, membantu karena terpaksa, dan sikap macam begitu juga sikap "terbelenggu", kalau punya uang, ia pun barangkali tidak akan memilih kelas III.

Janganlah heran, barangkali komunitas kita kerap kali dibentuk dan dihidupi berdasarkan aturan-aturan yang menghambat "hadirnya cinta Tuhan" yang memberi kesegaran hidup. Aturan itu kita buat sedemikian rupa seolah-olah itu benar adanya. Cobalah perhatikan ungkapan ini, "Jangan berharap yang misa banyak yang datang, kalau dia sendiri tidak mau aktif di lingkungan! Jangan harap ada pertolongan kalau dia sakit, padahal waktu mereka sehat, tidak juga pernah mau terlibat pendalaman iman di lingkungan! Jangan harap, aku mengampunimu kalau kamu tidak mengampuni aku lebih dulu! Kalau kamu mau dihargai, ya hargai dong orang lain dulu, aku juga menghargai kamu kalau kamu mau menghargai aku!" Hukum balas jasa macam begitu, amat mewarnai bahasa pergaulan di lingkungan, paroki dan masyarakat. Padahal banyak orang miskin, banyak orang lemah dan tersingkir tidak akan pernah bisa membalas kebaikan bapak ibu dan saudara-saudari.

Justru karena orang miskin tidak bisa membalas kebaikan kita itulah, mereka memanggil kita, untuk menjadi tanda kehadiran Tuhan dalam diri orang miskin, lemah dan tersingkir. Mereka memanggil kita agar kita terlibat, sehingga kehadiran kita pun, apapun bentuknya, menjadi "sahabat dalam derita". Dalam bacaan hari ini, Yesus mengidentikkan diri-Nya dengan orang yang hina. "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Mat 25:40).

Di lain sisi, "keterbatasan" orang miskin untuk membalas kebaikan kita, sebenarnya tidak hanya sekedar panggilan untuk menghadirkan kasih Tuhan, melainkan juga mereka memberikan berkat berlimpah, yakni : Tuhan juga hadir dalam diri kita untuk mengalami pemurnian diri, yakni Tuhan mencabuti akar akar egoisme yang mencari kepuasan batin dalam perbuatan baik dan saleh sekalipun. Dengan kehilangan kepuasan batin, kita belajar untuk memiliki motivasi murni dalam menolong orang lain karena apalah artinya kita terlibat dalam penderitaan sesama, kalau hati kita "penuh dengan egoisme rohani"! Kalau masih mencari kepuasan rohani, sebenarnya kita masih merasa berhak untuk menguasai diri kita sendiri. Kita masih ingin menjadi raja bagi hidup kita. Akibatnya, kita belum memberi kesempatan Kristus menjadi raja atas hidup kita.

Marilah kita belajar untuk mempercepat hadirnya Kristus Sang Raja Semesta Alam dengan "mengubah kelompok dokar Trembel" menjadi "komunitas dokar Trembel". Artinya, kita tidak sekedar membangun kelompok orang berdasarkan minat, status, jabatan yang selevel, melainkan membangun sebuah kelompok orang yang dibangun karena sadar, bahwa kita ini adalah anggota Tubuh Mistik, dan Kristus Sang Kepala. Dalam Tubuh-Nya, kita bisa menjadi "satu saudara". Dengan "persaudaraan" itu, akan tercipta banyak kesempatan yang membuat orang kecil, lemah dan tersingkir menjadi pribadi yang dapat hidup layak: punya penghasilan, kebutuhan pokok terpenuhi, terlayani kesehatan dan pendidikan mereka, serta diberi kesempatan pula untuk menentukan hidupnya sendiri.

Kalau kenyataan itu terjadi, semakin nyatalah hanya Kristus yang menjadi raja semesta alam bagi kita, bukan diriku, bukan juga manusia lain.

Sabtu, 22 Nov 2008
Hari Raya Kristus Raja



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buah Retret 2008: Memahami Kembali Sakramen Imamat bagi Hidupku

Sahabat-sahabatku,

Setelah mengikuti retret para imam bersama Fr. Fio Mascarenhas SJ dari India, 10-14 Nov 2008 di Purwokerto, saya tergugah untuk mengolah kembali pemahamanku tentang sakramen imamat. Setelah aku ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr Julianus Sunarka SJ, waktu itu, 18 Juli 2001, ternyata tidak otomatis membuat aku dapat menghayati hidup sebagai imamat secara penuh. Tidak otomatis itu letaknya bukan pada "pencurahan Roh Kudus", melainkan pada "aspek penghayatan."

Roh Kudus itu dicurahkan kepadaku oleh Allah melalui penumpangan tangan Uskup yang dipercaya oleh Gereja sebagai penerus para Rasul. Roh itu dicurahkan secara sempurna. Akan tetapi karya Roh Kudus itu "belum lengkap", karena dibutuhkan "keterlibatanku" untuk mengambil keputusan : berkomitmen terus menerus bekerjasama dengan Kristus, sang Imam Agung. Komitmen kerjasama itu hanya mungkin terjadi kalau saya hidup dalam "persekutuan dengan Roh Kudus". Bagaimana saya bersekutu dengan Roh Kudus, karena hidupku lebih suka menghindari "salib" daripada memikul salib.

"Memikul salib" itu bukan pertama-tama penderitaan fisik yang luar biasa akibat penganiayaan. Memikul salib, sebagaimana dipahami oleh Paulus dalam Flp 2:6-11, artinya, kesediaan diri untuk "dipermalukan": membiarkan diri kehilangan berbagai hak asasi sebagai manusia: hak atas masa depan, hak untuk membela diri, hak untuk mengatakan kebenaran, hak untuk berkuasa. Akan tetapi lebih dari itu, Yesus membiarkan dirinya "tidak meminta haknya sebagai Anak Allah" bahkan mengambil rupa seorang hamba " yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:6-7) Itulah inti salib: pengosongan diri.

Bagaimana saya memikul salib, padahal salib itu menjungkirbalikkan "jalan pikiran" manusia yang lebih suka menjadi anak anak dunia. Jalan pikiran dunia adalah gerak naik, yakni meraih ambisi hidup serba nikmat, ambisi diistimewakan, dipuji, populer, menjadi hebat. Sementara jalan salib adalah jalan yang menurun: jalan pengosongan diri, di mana tidak lagi mencari kesempatan untuk hidup nikmat, tidak mencari pujian, popularitas, dan menjadi hebat, serta tidak ambisi berkuasa untuk menjadi memiliki segalanya. Karena itu, saya tidak mungkin mengandalkan kekuatan diri sendiri.

Salib Tuhan yang harus kupikul itu menantang diriku untuk mengakui "keterpecahan yang ada dalam diriku": di satu sisi memiliki niat untuk memanggul salib, namun di sisi lain ada kekuatan yang menarikku untuk menghindari salib. Tegangan itu tidak lain adalah "pertempuran antara Kuasa Roh yang menghidupkan, dan kuasa roh yang mematikan". Pertempuran itu sudah dimenangkan oleh Kuasa Roh Allah sendiri yang telah membangkitkan Kristus, setelah Ia mengalami kematian bersama dengan manusia yang berdosa. Kematian Kristus di salib menjadi "persembahan kemanusiaan yang abadi di hadapan Allah Bapa". Yesus yang wafat itu hadir di hadapan Bapa sebagai pribadi yang merepresentasi manusia yang telah berdosa. Allah menerima persembahan Kristus itu dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Karena itu berkat kematian Kristus semua orang yang mati terhadap dosa, entah dari bangsa manapun, dan dari jaman kapanpun, dianugerahi harapan akan keselamatan.

Kemenangan Kristus atas pertempuran itu terjadi karena peranan Roh Kudus dalam diri-Nya, karena Roh itu tidak lain adalah Roh Allah. Maka dalam persekutuan dengan Bapa dalam Roh Kudus, Kristus menang atas maut. Kalau Kristus, Sang Imam Agung. dan sebagai Anak Sulung, telah mendahului kita memenangkan pertempuran dengan roh jahat, mengapa saya sebagai imam, kerap kali masih ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus memberiku kekuatan untuk mengatasi "keterpecahan pribadiku" sehingga aku mampu konsisten untuk memanggul salib.

Keragu-raguan itu sebenarnya tanda bahwa aku tidak sungguh sungguh percaya kepata Allah Bapa, apakah Ia sungguh mau menganugerahkan Roh-Nya. Tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, adalah sebuah sikap yang sebenarnya curiga kepada Allah. Belum memohon pun,saya sudah meragukan, apakah Allah memang mau menganugerahkan Roh Kudus itu. Dalam Lukas 11:13 Yesus menyakinkan kita, "Jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Sabda Yesus ini meneguhkan dan memberikan kemantapan: Jangan ragu ragu untuk meminta karunia Roh!"

Dengan komitmen "terbuka untuk meminta", Sakramen tidak lagi dipahami sebagai "keran air yang siap mengucurkan rahmat ilahi", melainkan Sakramen adalah sebuah tanda kehadiran kasih Allah yang menantangku untuk menjawab: buat keputusan untuk meminta Roh agar hidupku mampu memikul salib. Membuat keputusan menjadi hal yang sulit bukan main kalau ada keterikatan emosional dengan kepentingan diri, fasilitas, dan jabatan. Di situlah letaknya penghayatan imamatku ditantang: mau menjadi pribadi yang hidup untuk mempersembahkan dirinya khusus bagi Allah dan sesama, atau menjadi pribadi yang hidup bagi dirinya sendiri.

Akhirnya menjadi imam itu bukanlah sikap "menggengam tangan". Karena "menggenggam" itu berarti ada "sesuatu yang istimewa dan kupertahankan mati-matian, jangan sampai lepas dan tidak bisa kupegang lagi". Karena itu menjadi imam bagiku sekarang adalah komitmen untuk belajar membuka genggaman tanganku agar terbukalah telapak tanganku, sehingga apapun yang kugenggam boleh diambil siapapun. Dengan cara hidup seperti itu, terbukalah kesempatan untuk selalu meminta Roh Kudus agar terlibat dalam hidupku.

yang lagi belajar berproses
bslametlasmunadipr